Seperti apa gerakan mahasiswa pada masa kolonial?

Sebelum Negara Republik Indonesia berdiri pada tanggal 17 Agustus 1945 atau tepatnya pada masa penjajahan Belanda di wilayah Hindia Belanda tercatat ada dua gerakan mahasiswa yang sangat populer, unik dan monumental, yaitu:

  1. Gerakan mahasiswa tahun 1908 atau yang dikenal dengan Angkatan 08 yang dimotori oleh Boedi Oetomo

  2. Gerakan mahasiswa tahun 1928 yang terkenal Angkatan 28, yang dimotori oleh Perhimpunan Pelajar Pelajar Indonesia (PPPI) dan para pemuda pelajar dari berbagai perguruan tinggi di Hindia Belanda, seperti Jong Ambon, Jong Batak, Jong Celebes, Jong Islamieten Bond, Jong Java, Jong Sumatranen Bond, Pemuda Kaum Betawi, dan lain-lain.

Gerakan mahasiswa Angkatan 08 dan Angkatan 28 disebut unik, karena meskipun kedua gerakan pemuda pelajar tersebut tidak dapat dipisahkan dari anasir primordialisme; kesukuan, kedaerahan dan agama, namun tetap berbasiskan pada gerakan dengan semangat kemerdekaan untuk sebuah bangsa (nation) dan negara (state) , sehingga sangat kental dengan nuansa nasionalismenya. Begitu uniknya gerakan ini sehingga Angkatan 08 dan Angkatan 28 selalu dan selamanya dilihat oleh para pemuda pelajar sebagai tonggak sejarah persatuan nasional. Juga dianggap paling monumental, karena gerakan-gerakan mahasiswa angkatan- angkatan selanjutnya bukan saja tetap menjadikan nasionalisme sebagai dasar moralnya, tetapi juga selalu menjadikan gerakan kaum terpelajar Angkatan 08 dan Angkatan 28 sebagai rujukannya.

Sebagai gerakan moral, kedua gerakan tersebut selalu dirujuk oleh gerakan- gerakan mahasiswa berikutnya karena dilihat sebagai produk langsung dari perubahan situasi politik akibat gerakan politik. Perubahan sikap politik pemerintah kolonial Hindia Belanda yang menganut politik etis pada tahun 1901 telah mendorong terjadinya perubahan situasi politik. Di satu sisi kedua Angkatan itu merupakan produk dari kebijakan politik etis Belanda, tapi di lain sisi kedua produk itu justru kontra produktif dari gagasan politik etis Belanda. Kontra produktif karena politik etis Belanda berasumsi bahwa ganti rugi atas penderitaan masyarakat selama di bawah pemerintahan kolonial Belanda akan membuat masyarakat diam tanpa perlawanan, sehingga melalui politik etisnya Belanda ingin memperlihatkan diri memerintah atas dasar moral. Kontraproduktif karena ganti rugi penderitaan masyarakat Hindia Belanda telah pula melahirkan legitimasi politik bagi masyarakat untuk menolak dan melawan berbagai bentuk kolonialisme yang dilancarkan oleh Belanda.

Kebijakan pemerintah kolonial Belanda yang memberikan pendidikan bagi anak-anak Hindia Belanda terutama dari kalangan atas membuka kesempatan seluas-luasnya kepada kaum muda pribumi —terutama dari kalangan masyarakat atas (ningrat) dan yang bekerja pada pemerintah kolonial— untuk mengenyam pendidikan di lembaga-lembaga yang semula hanya boleh dimasuki oleh orang- orang Belanda dan warga asing lainnya. Hasilnya adalah dari para mahasiswa pribumi inilah nantinya muncul kesadaran politik tentang kondisi “bangsanya” yang terjajah. Selanjutnya melalui organisasi pergerakan, Boedi Oetomo dan PPPI suasana pemikiran tersebut lalu diorientasikan pada proses penyadaran kemanusiaan dan sosialisasi wacana nasionalisme.

Boedi Oetomo yang didirikan pada tahun 1908 merupakan sebuah wadah perjuangan bagi kaum intelektual Jawa yang pertama kali memiliki struktur pengorganisasian modern. Organisasi ini dimotori oleh para pemuda pelajar dan mahasiswa Jawa yang berasal dari lembaga pendidikan STOVIA, sebuah sekolah kedokteran di Jakarta. Boedi Oetomo juga unik karena meskipun sangat dipengaruhi oleh obsesi kebesaran budaya Jawa dan aksi-aksi atau gerakannya hanya terbatas pada penduduk Jawa dan Pulau Madura saja, tapi kehadirannya merupakan refleksi sikap kritis dan keresahan bagi kaum intelektual khususnya intelektual kampus terhadap lingkungan sosialnya, sehingga isu perjuangannya bersifat universal. Pada kongres pertamanya di Yogyakarta tanggal 5 Oktober 1908, Boedi Oetomo, menetapkan tujuan sebagai sebuah organisasi perkumpulan, yaitu: kemajuan yang selaras buat negeri dan bangsa, terutama dengan memajukan pengajaran, pertanian, peternakan dan dagang, teknik dan industri, serta kebudayaan. Oleh karena itu secara politik tujuan Boedi Oetomo yang dipahami oleh pihak penjajah adalah merumuskan secara samar-samar “kemajuan bagi Hindia Belanda” sebagai bentuk praksis dari kemerdekaan.

Atas pertimbangan isu dan aksi-aksi perjuangannya yang tanpa perdebatan, Boedi Oetomo dengan cepat diterima oleh seluruh intelektual Jawa di hampir seluruh daratan pulau Jawa. Sampai menjelang Kongres Pertama-nya sudah tercatat 8 cabang yang cukup besar, yaitu: Jakarta, Bogor, Bandung, Yogyakarta I, Yogyakarta II, Magelang, Surabaya dan Probolinggo. Boedi Oetomo terlihat maju pesat pada lima tahun permulaan, dimana pada akhir tahun 1909 telah memiliki 40 cabang dengan jumlah anggota kurang lebih 10.000 orang. Telah tampak bahwa Boedi Oetomo bukan hanya sekedar sebagai perkumpulan biasa dan tempat keinginan-keinginan bergerak maju dapat dikeluarkan, tapi juga sebagai tempat kebaktian terhadap bangsa dinyatakan dan mempunyai kedudukan monopoli.

Pada tahun 1908, para mahasiswa Indonesia yang sedang belajar di Belanda juga membentuk sebuah organisasi perhimpunan yang dinamakannya Indische Vereeniging . Semula organisasi ini hanya merupakan pusat kegiatan diskusi bagi para mahasiswa tentang perkembangan situasi tanah airnya, Hindia Belanda. Namun lambat laun kemudian berkembang menjadi wadah yang berorientasi politik, yaitu untuk kemerdekaan Hindia Belanda. Sejalan dengan perubahan orientasinya, dari hanya sekedar sebagai pusat kegiatan diskusi hingga kemudian menjadi wadah perjuangan kemerdekaan, Indische Vereeniging berganti nama menjadi Indonesische Vereeniging pada tahun 1922 dan hingga akhirnya bernama Perhimpoenan Indonesia (PI) pada tahun 1925.

Berdasarkan sejumlah masalah yang diinventarisasikan oleh pengurus Perhimpoenan Indonesia (PI) waktu itu, muncul sikap menentang terhadap penjajah, tidak mau berdamai, serta tidak kenal kerjasama. Semangat itu terlihat dalam pernyataan dasar-dasar Perhimpoenan Indonesia (PI), yang intinya sebagai berikut:

  1. Masa depan bangsa Indonesia semata-mata tergantung pada susunan pemerintahan yang berdasarkan kedaulatan rakyat;
  2. Untuk mencapai itu, setiap orang Indonesia harus berjuang sesuai kemampuan serta bakatnya, dengan tenaga dan kekuatan sendiri;
  3. Untuk mencapai tujuan bersama itu, semua unsur atau lapisan rakyat perlu kerja sama seerat-eratnya.

Selain Indische Vereeniging , berdiri pula sejumlah organisasi-organisasi lain, seperti Indische Partij (IP) yang melontarkan propaganda kemerdekaan Indonesia, Sarekat Islam (SI) yang beraliran nasionalis demokratis dengan dasar agama, Indische Sociaal Democratische Vereeniging (ISDV) yang berhaluan Marxisme. Kelahiran sejumlah organisasi-organisasi pergerakan itu telah menambah pula jumlah haluan dan cita-cita politik. Kehadiran Boedi Oetomo, Indische Vereeniging , Sarekat Islam (SI), Indische Sociaal Democratische Vereeniging (ISDV) dan yang lainnya pada masa itu merupakan suatu episode sejarah yang menandai munculnya sebuah angkatan pembaharu dengan kaum terpelajar sebagai aktor kuncinya. Misi utamanya adalah menumbuhkan kesadaran kebangsaan dan hak-hak kemanusiaan bagi masyarakat Hindia Belanda untuk memperoleh kemerdekaan, serta mendorong semangat perjuangan untuk membebaskan diri dari penindasan melalui penerangan-penerangan pendidikan.

Pada pertengahan tahun 1923, sejumlah mahasiswa yang bergabung dalam Indonesische Vereeniging kembali ke tanah air. Di Hindia Belanda, Indonesische Vereeniging diubah namanya menjadi Perhimpoenan Indonesia. Kecewa dengan perkembangan kekuatan-kekuatan perjuangan di Hindia Belanda, dan melihat situasi politik yang dihadapi, para pelopor Indonesische Vereeniging lalu membentuk kelompok studi yang kemudian amat berpengaruh lantaran keaktifannya dalam diskursus kebangsaan saat itu. Adapun kelompok studi yang mereka bentuk ada dua, yaitu: (1) Kelompok Studi Indonesia (Indonesische Studie Club) ; (2) Kelompok Studi Umum (Algemeene Studie Club) . Kelompok Studi Indonesia (Indonesische Studie Club) dibentuk oleh Soetomo di Surabaya pada tanggal 29 Oktober 1924. Sedangkan Kelompok Studi Umum (Algemeene Studie Club) dibentuk pada tanggal 11 Juli 1925 oleh kaum nasionalis dan bersama mahasiswa Sekolah Tinggi Teknik di Bandung yang dimotori oleh Soekarno.

Sebagai upaya untuk merekatkan berbagai wadah perjuangan yang bercorak kebangsaan maka didirikanlah Perhimpunan Pelajar-Pelajar Indonesia (PPPI) pada tahun 1926. PPPI dibentuk ketika belum ada prototipe organisasi yang menghimpun seluruh elemen organisasi kaum terpelajar yang bersifat kebangsaan, sehingga PPPI dapat dikatakan sebagai organisasi kebangsaan pertama yang bersifat kebangsaan. PPPI kemudian melaksanakan Kongres Pemuda I yang berlangsung pada bulan Mei 1926. Dalam Kongres ini kaum terpelajar berusaha meletakkan dasar komitmen untuk menyisihkan perbedaan-perbedaan primordial diantara mereka dan menciptakan kesatuan bangsa.

Berikutnya PPPI juga menjadi motor pelaksanaan Kongres Pemuda II yang berlangsung di Jakarta pada tanggal 26-28 Oktober 1928. Kongres Pemuda II inilah yang berhasil mencetuskan sebuah gagasan tentang dasar state ; wilayah, penduduk (bangsa) dan bahasa yang dikemasnya ke dalam sebuah ikrar kaum terpelajar yang sekarang amat populer dengan istilah Sumpah Pemuda. Gagasan penyelenggaraan Kongres Pemuda II berasal dari PPPI, sebuah organisasi pemuda yang beranggotakan kaum terpelajar dari seluruh daerah-daerah yang ada di wilayah Hindia Belanda. Adapun Susunan Panitia Kongres sebagai berikut:

Ketua : Sugondo Joyopuspito (dari PPPI) Wakil Ketua : Djoko Marsaid dari Jong Java
Sekretaris : Muhammad Yamin dari Jong Sumatranen Bond
Bendahara : Amir Sjarifuddin dari Jong Bataks Bond
Pembantu I : Djohan Muh. Tjai dari Jong Islamieten Bond
Pembantu II : Kotjosungkono dari Pemuda Indonesia
Pembantu III : Senduk dari Jong Celebes
Pembantu IV : J. Leimena dari Jong Ambon

Atas inisiatif PPPI, kongres dilaksanakan di tiga gedung yang berbeda dan dibagi dalam tiga kali rapat. Rapat pertama berlangsung di Gedung Katholieke Jongenlingen Bond (KJB) Waterlooplein (sekarang Lapangan Banteng) pada hari Sabtu tanggal 27 Oktober 1928. Dalam sambutannya, Ketua PPPI, Sugondo Djojopuspito, berharap Kongres PPPI dapat memperkuat semangat persatuan dalam sanubari para pemuda. Acara dilanjutkan dengan uraian Moehammad Yamin tentang arti dan hubungan persatuan dengan pemuda. Menurut Moehammad Yamin ada lima faktor yang bisa memperkuat persatuan Indonesia yaitu: (1) sejarah; (2) bahasa; (3) hukum adat; (4) pendidikan; (5) kemauan.

Sedangkan rapat kedua berlangsung di Gedung Oost-Java Bioscoop pada hari Minggu tanggal 28 Oktober 1928. Rapat ini membahas masalah pendidikan. Pada rapat kedua ini, dua pembicara, yaitu Poernomowoelan dan Sarmidi Mangoensarkoro yang sama-sama berpendapat bahwa anak-anak harus mendapat pendidikan kebangsaan, harus pula ada keseimbangan antara pendidikan di sekolah dan di rumah. Anak juga harus dididik secara demokratis. Rapat penutup kemudian berlangsung di gedung Indonesische Clubgebouw di Jalan Kramat Raya 106. Pada rapat penutup ini Sunario menjelaskan pentingnya nasionalisme dan demokrasi selain gerakan kepanduan, sedangkan Ramelan mengemukakan bahwa gerakan kepanduan tidak bisa dipisahkan dari pergerakan nasional. Gerakan kepanduan sejak dini mendidik anak-anak disiplin dan mandiri, suatu hal yang sangat dibutuhkan dalam perjuangan.

Sebelum kongres ditutup diperdengarkan lagu “Indonesia Raya” karya Wage Rudolf Soepratman yang dimainkan dengan biola tanpa syair, atas saran Sugondo kepada Wage Rudolf Soepratman. Lagu tersebut disambut dengan sangat meriah oleh peserta kongres. Kongres ditutup dengan mengumumkan rumusan hasil kongres. Oleh para pemuda yang hadir, rumusan itu diucapkan sebagai ikrar setia.

Para peserta Kongres Pemuda II ini berasal dari berbagai wakil organisasi pemuda yang ada pada waktu itu, seperti Jong Java, Jong Ambon, Jong Celebes, Jong Batak, Jong Sumatranen Bond, Jong Islamieten Bond, PPPI, Pemuda Kaum Betawi, dan lain-lain. Selain peserta dari berbagai daerah, juga hadir sejumlah pemuda Tionghoa sebagai pengamat, diantaranya yaitu: Oey Kay Siang, John Lauw Tjoan Hok, Tjio Djien Kwie dan Kwee Thiam Hong yang merupakan wakil dari Jong Sumatranen Bond. Adapun isi Sumpah Pemuda tanggal 28 Oktober 1928, yaitu:
“Pertama, Kami putra dan putri Indonesia, mengaku bertumpah darah yang satu, tanah air Indonesia.
Kedua, Kami putra dan putri Indonesia, mengaku berbangsa yang satu, bangsa Indonesia…Ketiga Kami putra dan putri Indonesia, menjunjung tinggi bahasa persatuan, bahasa Indonesia.”

Dari kebangkitan kaum terpelajar; mahasiswa, intelektual, dan aktivis pemuda itulah kemudian muncul generasi baru Angkatan 1928. Dalam perkembangan berikutnya, dari dinamika pergerakan nasional yang ditandai dengan kehadiran kelompok-kelompok studi, dan akibat pengaruh sikap penguasa Belanda yang menjadi liberal, muncul kebutuhan baru untuk menjadi partai politik, terutama dengan tujuan memperoleh basis massa yang luas. Kelompok Studi Umum (Algemeene Studie Club) menjadi Perserikatan Nasional Indonesia (PNI), sedangkan Kelompok Studi Indonesia (Indonesische Studie Club) berubah menjadi Partai Bangsa Indonesia (PBI).

Akan tetapi pemerintahan kolonial Jepang yang jauh lebih represif dibandingkan dengan kolonial Belanda telah membuat kondisi pendidikan maupun kehidupan politik menjadi vacuum . Pihak kolonial Jepang melarang berbagai bentuk kegiatan yang berbau politik dengan cara membubarkan semua organisasi kaum terpelajar termasuk membubarkan partai politik. Bahkan insiden kecil saja yang terjadi di Sekolah Tinggi Kedokteran Jakarta justru mengakibatkan mahasiswa dipecat dan dipenjarakan. Dengan kondisi kekosongan (vacuum) itu, maka mahasiswa lalu memilih mengarahkan kegiatan dengan berkumpul dan berdiskusi, bersama para pemuda lainnya terutama di asrama-asrama. Ada tiga asrama yang cukup berperan dalam melahirkan sejumlah tokoh, yaitu: (1) Asrama Menteng Raya; (2) Asrama Cikini; (3) Asrama Kebon Sirih. Tokoh-tokoh inilah yang nantinya menjadi cikal bakal generasi 1945 yang menentukan kehidupan bangsa selanjutnya.