Seperti apa ciri-ciri keluarga yang disfungsional berdasarkan pengalamanmu?

Di ambil dari Wikipedia, definisi dari keluarga disfungsional adalah keluarga yang di dalamnya terdapat banyak konflik, perilaku buruk, dan bahkan pelecehan di antara anggotanya. Anak-anak yang tumbuh di keluarga disfungsional menganggap hal-hal buruk yang ada di dalam keluarga sebagai hal yang normal. Keluarga disfungsional terjadi akibat kecanduan alkohol, obat terlarang penyakit jiwa, gangguan kepribadian orang tua, atau orang tua yang tumbuh di keluarga disfungsional juga.

Apabila kamu berasal dari keluarga yang disfungsional atau mengetahui kisah tentang orang lain dari keluarga disfunsional, seperti apa ciri-ciri keluarga tersebut yang jarang diketahui oleh orang lain?

Saya punya seorang teman dekat yang keluarganya sangat toxic. Saya menduga orang tuanya memiliki gangguan kepribadian. Sepertinya tidak pernah ada hari yang dilalui tanpa kemarahan-kemarahan dan teriakan dari orang tuanya. Setelah teman saya cukup dewasa, dia berusaha untuk tidak terpengaruh dengan emosi buruk orang tuanya, tapi tetap saja hal itu sulit dilakukan. Dia mencoba untuk tidak peduli tapi tetap saja dia terluka. Bedanya, dulu dia melampiaskan kemarahannya ke luar, tapi sekarang dia berusaha untuk mengendalikan diri. Dari cerita-ceritanya saya melihat ada banyak sekali drama dalam keluarganya. Dan sering kali drama itu muncul dari hal yang paling sepele yang bagi orang lain tidak perlu dipermasalahkan.

Dari sini saya menyadari bahwa dalam keluarga disfungsional terdapat kurangnya kedewasaan dan kemampuan pemecahan masalah seperti manusia dewasa pada umumnya. Hal ini menyebabkan adanya kecenderungan untuk bereaksi terhadap semua impuls dan emosi. Padahal bagi manusia dewasa pada umumnya hal ini tidak diperlukan.

Dari yang saya lihat, teman saya terpengaruh secara mental dan emosional. Kabar baiknya teman saya menyadari hal ini dan berusaha memutus siklus ini sampai di dirinya saja. Tapi saya yakin ada banyak orang lain di luar sana yang belum menyadari dampak keluarga disfungsional ini terhadap dirinya dan akhirnya malah menurunkannya ke keluarganya sendiri, sehingga siklus yang sama kembali lagi.

Supaya siklus setan ini berhenti memang ada baiknya pastikan kita sudah selesai dengan luka masa lalu sebelum memulai lembaran baru. Karena anak-anak kita nanti tidak berhutang apapun pada masa lalu kita.

Saya dibesarkan dalam keluarga yang sangat disfungsional. Tetapi satu hal yang harus saya tekankan sebelumnya adalah bahwa seringkali, anda tidak bisa melihat sisi disfungsional sebuah keluarga. Anda tidak bisa melihatnya karena jenis keluarga ini bisa membuat diri mereka tampak normal seperti keluarga lain dan mereka menyembunyikan ketoksikan mereka di balik pintu yang ditutup rapat.

Sebagian besar keluarga yang disfungsional akan tampak normal bagi orang luar dan anda tidak akan dapat menebaknya. Contohnya dalam keluarga saya, di mana orang tua saya sudah menikah selama 25 tahun dan tidak ada perceraian. Keluarga disfungsional bisa juga memiliki rumah yang bagus, mobil yang bagus dan tampak seperti orang normal yang sudah menikah. Bagi kebanyakan orang luar, mereka tampak seperti pasangan menikah pada umumnya, tetapi mereka tidak seperti itu. Mereka hanya tetap menikah karena mereka punya anak dan mereka telah memberi tahu saya bahwa mereka “tetap bersama untuk anak-anak”. Padahal kebersamaan yang dipaksakan ini cuma akan jadi pernikahan yang buruk dan masa kecil yang suram untuk anak-anak. Mereka dulunya ahli berpura-pura di depan umum sebagai orang normal, tetapi seiring waktu, mereka akhirnya sampai pada titik di mana mereka benar-benar tidak bisa berpura-pura lagi. Pertemuan keluarga jadi selalu canggung karena mereka tidak bisa benar-benar bersikap baik pada satu sama lain dan berusaha keras untuk terlihat normal.

Contoh yang bagus tentang berpura-pura adalah misalnya anda punya teman yang datang ke rumah, lalu orang tua anda tiba-tiba mulai bergaul dan bersikap baik di depan teman anda. Teman anda ini mungkin bisa merasakan kalau tindakan orang tua anda dipaksakan. Biasanya anak dari keluarga disfungsional bisa langsung mendeteksi tindakan-tindakan yang dipaksakan ini. Kepura-puraan ini ditunjukkan karena keluarga disfungsional tidak suka apabila orang luar tau apa yang sebenarnya terjadi di dalam rumah mereka.

Realitas palsu yang diciptakan ini membuat orang luar sulit percaya dengan fakta yang terjadi dalam keluarga. Saya pernah menceritakan kejadian yang ada di rumah kepada tante saya. Saya bercertia kalau orang tua saya terus-terusan bertengkar dan ayah marah seperti orang gila. Saya yakin kalau mengetahui hal ini ayah pasti marah. Tapi ternyata tidak hanya ayah yang marah, ibu juga marah, dan seperti biasa hukuman fisik yang diberikan tidak tanggung-tanggung. Setelah itu saya paham kalau mereka tidak mau orang lain tau dan saya tidak boleh membicarakan apapun yang terjadi di dalam rumah kepada orang lain.

Baru setelah dewasa saya paham kalau yang terjadi selama ini adalah saya tinggal dalam keluarga yang disfungsional.

Pada dasarnya ada keluarga sehat yang bermasalah, tetapi keluarga disfungsional adalah keluarga dengan masalah yang cukup serius sehingga disebut tidak bekerja (disfungsional). Mereka tidak berfungsi sebagaimana seharusnya keluarga: mereka tidak merawat dan melindungi yang rentan, saling mendukung, dan menyediakan tempat berlindung yang aman bagi satu sama lain dan terutama bagi anak-anak.

Ciri keluarga yang disfungsional adalah ketidakjujuran, terutama berpura-pura bahwa masalah serius pelecehan seksual, fisik, verbal, atau emosional tidak terjadi. Hal-hal tersebut dinormalisasi dengan ungkapan seperti “Dad being dad” atau “Ibu sedang mengalami kesulitan” atau “Begitu memang cara ayah untuk menunjukkan kasih sayang”. Anak-anak seringkali diperintah untuk menyimpan rahasia dan orang dewasa melakukan gaslighting sehingga mereka yang merasa bersalah.

Sebuah keluarga yang menolak untuk menghadapi kecanduan, penyakit mental, atau pelecehan adalah disfungsional. Semua anggota diharapkan untuk berpartisipasi dalam kebohongan. Ini menimbulkan disosiasi pada anak-anak karena mereka tahu betul bahwa ada sesuatu yang salah, namun semua orang dewasa berpura-pura semuanya baik-baik saja.

Dalam keluarga normal berlaku semboyan

“Unus pro omnibus, omnes pro uno”
“Satu untuk semua, semuan untuk satu”

Keluarga yang normal mungkin bertengkar dan saling tidak setuju, tetapi pada akhirnya mereka ada untuk satu sama lain. Sementara itu yang terjadi pada keluarga disfungsional adalah hal sebaliknya. Keluarga disfungsiona tidak memiliki kehangatan atau pusat. Sehingga saat berada di sana seseorang merasa terpisah dan tidak terhubung.

Keluarga disfungsional memiliki kesenjangan komunikasi yang bermula dari egoisme. Kesenjangan ini menghasilkan rasa tidak saling percaya antar anggota keluarga. Biasanya tidak ada hal yang bisa dibicarakan secara terbuka antar anggota keluarga karena ada pesan yang kontradiktif. Misalnya Ibu meminta pendapat jujur dari anaknya, namun ia marah dan menghina ketika mendengar sesuatu yang tidak disukainya. Perilaku tidak terduga ini menyebabkan rasa tidak percaya muncul.

Berdasarkan pengamatan saya, terdapat beberapa ciri yang bisa dilihat. Pertama, karena kurangnya kepercayaan, biasanya keluarga ini akan mengalami kesulitan untuk bersatu dalam sebuah agenda. Kedua, anggota keluarga lebih suka mendengarkan orang asing dibandingkan keluarganya sendiri. Ketiga, orang tua bisa berbicara hal buruk tentang anak mereka kepada orang luar tanpa merasa bersalah. Keempat, sering kali hal normal seperti jadwal belajar dikacaukan karena ambisi untuk membuat sesuatu sempurna atau sangat baik.

Dalam keluarga disfungsional, tidak ada konsep quality time bersama keluarga. Karena antar anggotanya lebih memilih untuk menghindari menghabiskan waktu bersama. Misalkan mereka mengadakan liburan, biasanya agenda ini hanya untuk melayani keinginan kepala keluarga atau orang tua. Ketika liburannya berakhir, kepala keluarga akan kesal karena anggota lain dirasa tidak cukup menyenangkan dan kooperatif.

Kalau kamu menduga jangan-jangan keluargamu adalah keluarga disfungsional, coba tanyakan pada dirimu sendiri beberapa pertanyaan yang akan mengantarkan kamu pada jawabannya : Kenapa kamu merasa tidak ingin pulang saat berada di luar? Apakah kamu tidak nyaman dengan rumahmu sendiri? Apakah kamu merasa lelah mencoba dimengerti di rumah? Apakah kamu mau anakmu mendapatkan lingkungan yang sama denganmu? dsb

Semoga membantu.

Tanda pertama dan terpenting adalah ketakutan untuk mengekspresikan diri. Dalam keluarga yang disfungsional, seorang individu akan selalu dinilai oleh orang lain. Dia selalu harus berpikir berkali-kali sebelum meminta sesuatu atau mengekspresikan emosi.

Tanda kedua adalah anggota keluarga tidak merasa aman dan bahagia di rumah. Meskipun di luar ia orang yang senang bergaul dengan teman ataupun kerabat. Hal ini bisa disebabkan karena di rumah orang tuanya berperilaku seperti menanggung beban dunia dan tidak bahagia juga.

Ketiga, mereka akan merusak peristiwa terpenting masa kecil anaknya dengan sikap dan perillaku mereka. Anak merasa seolah tidak bisa menikmati apapun karena orangtuanya merusak momen yang ia miliki. Sebagai contoh misalnya kamu sedang berada dalam karnaval bersama teman-temanmu, sementara kamu lupa membawa uang dan belum sarapan. Ayahmu diminta ibumu datang menjemputmu. Tapi karena karnaval sangat ramai dan dia kesulitan untuk mencarimu, dia membuat keributan dan ketika menemukan kamu, dia memarahimu habis-habisan.

Terakhir, kamu tidak akan pernah bisa mengharapkan dukungan emosional dari mereka. Kamu tidak bisa mengharapkan mereka memeluk, menghargai pencapaian, atau bahkan sekedar menepuk pundakmu. Mereka akan membuatmu menangis dan merasa tidak berharga. Mereka akan selalu membandingkanmu dengan orang lain. Kamu tidak pernah menjadi anak yang idela untuk mereka. Merkea akan membuatmu merasa bersalah dan masa kecilmu akan hilang dengan perasaan tidak dicintai dan tidak aman.

Hal terbaik yang bisa dilakukan oleh seorang anak yang tumbuh dalam keluarga disfungsional adalah dengan menyibukkan diri dalam aktivitas lain. Bekerja keras untuk bisa menghidupi diri sendiri dan meninggalkan keluarga itu.