Seni lukis abstrak: Manifestasi seni rupa modern Barat

Menurut paham pascamodern, seni rupa modern memiliki dosa besar. Seni abstrak dalam seni rupa modern memang telah mengeksklusi berbagai kecenderungan estetik dan seni lain sebagai bukan-seni, atau seni yang inferior. Dengan prinsip-prinsip Kantian-Hegelian seni rupa modern melakukan penyaringan yang ketat berkenaan dengan seni rupa modern yang “pantas”. Dengan perangkat teori dan wacananya seni rupa modern formalis mampu menjustifikasi keberadaannya dengan mengorbankan kecenderungan dan kelompok lain (seniman perempuan, homoseksual, minoritas, non-Barat). Seni rupa modern mengklaim bahwa seni rupa abstrak adalah seni rupa yang bersifat universal melampaui sekat-sekat etnisitas dan nasionalitas. Pasalnya, yang dianggap berhak menetapkan nilai-nilai keutamaan seni rupa modern adalah kaum laki-laki, kulit putih, elite-terpelajar, yaitu gambaran kaum borjuis Barat. Pada kenyataannya supremasi seni rupa modern Barat memang dibangun oleh kelompok tersebut. Dengan kata lain, modernisme dianggap bersifat universal, namun yang berhak mempraktikkan dan mencari kemungkinan-kemungkinan terobosannya adalah kaum kulit putih terpelajar tersebut. Sedangkan kelompok di luar mereka hanya diminta mengamini. Tentu saja hal ini ada pengaruhnya pada saat para seniman Indonesia mengadopsi seni lukis abstrak.

Terlepas dari segala dosa-dosanya, sesungguhnya seni abstrak adalah manifestasi seni yang dianggap paling mampu menjustifikasi nilai-nilainya sesuai dengan semangat zaman. Bagaimanapun salah satu prinsip seni rupa modern adalah otonomi seni (dengan sendirinya juga otonomi seniman). Dalam kaitan tersebut maka seni rupa modern melalui seni abstrak telah mampu menunjukkan prinsip-prinsip estetik yang baru dan belum pernah ada sebelumnya. Banyak pihak berpendapat bahwa seni abstrak telah sampai pada kebuntuan, namun sebaliknya, bisa pula diasumsikan seni abstrak adalah puncak pencapaian prinsip-prinsip seni rupa modern. Dalam menetapkan “kebenarannya” seni rupa abstrak tidak lepas dari prinsip-prinsip kebentukan (formalisme). Karena itu formalisme adalah pencapaian yang eksepsional dalam seni rupa modern, seperti diutarakan oleh Richard Anderson,

Formalisme memang menjadi jiwa seni rupa modern yang terwujud dalam seni abstrak. Karena itu pengertian modernisme hampir-hampir sebangun dengan pengertian formalisme, seperti diutarakan oleh Terry Barrett, bahwa “‘Modernisme’ dan ‘Formalisme’ kadang dipergunakan sebagai sinonim, dan kedua konsep tersebut saling tumpang tindih” (Why Is That Art?, 107). Penopang utama prinsip formalisme di abad ke-20 adalah teori yang dibangun oleh Clive Bell dan Clement Greenberg.

Dengan menegaskan parameter estetik bahwa bentuk adalah yang paling utama, maka seni rupa abstrak dapat menetapkan dan menjustifikasi “kebenaran” dan “keutamaan”-nya dibandingkan prinsip-prinsip seni yang lain. Pengalaman estetik didapat melalui pencerapan aspek-aspek kebentukan karya seni. Karena itu standar kualitas dan kebenaran ditetapkan berdasarkan teori “significant form” yang disusun oleh Clive Bell pada 1914. Teori tersebut menetapkan yang utama dari karya adalah (susunan) bentuknya. Sedangkan Clement Greenberg pada pertengahan abad ke-20 menetapkan bahwa yang utama dari seni lukis adalah esensi seni lukis itu sendiri: kedataran kanvas dan penerapan cat yang dapat menekankan kedataran kanvas sembari merefleksikan eksistensi sang seniman. Karena itu pokok soal dan ilusi diharamkan oleh Greenberg.

Seniman yang berhasil melakukan penerobosan dan menunjukkan kebaruan dan orisinalitas melalui karya-karya lukisannya kemudian dicatat sebagai nama penting dalam sejarah seni rupa modern. Merekalah yang dianggap sebagai seniman jenius. Itulah yang ditunjukkan oleh para seniman abstrak Barat, dari era kubisme sampai abstrak ekspresionisme. Tentu saja itu semua adalah hal yang dikonstruksikan. Namun konstruksi pemikiran dan nilai tersebut memang hal yang diakui dan disepakati dalam medan seni, yang terangkum dalam wacana, teori dan sejarah seni rupa Barat. Hal itulah yang kemudian menjadi hegemoni seni rupa modern Barat yang tersebar ke seluruh dunia—melalui penetrasi kebudayaan Barat.

Modernisme memang dianggap memiliki dosa. Namun, menurut Baudrillard seni rupa abstrak dianggap lebih jujur dan “masuk akal” dibandingkan seni rupa kontemporer yang dianggap dekaden. Pada 1996 Baudrillard menulis artikel yang menggegerkan seni rupa kontemporer dengan judul “The Conspiracy of Art”, yang pada intinya menihilkan keberadaan seni rupa kontemporer. Pada 2003, dia menulis artikel berjudul “Art. . .Contemporary of Itself”, yang kurang lebih membandingkan seni rupa modern dengan seni rupa kontemporer,

Modernity was the golden age of the deconstruction of reality into its component parts, a minute analysis starting with Impressionism and followed by Abstraction. It was experimentally open on all aspects of perception, sensibility, the structure of the object, and the dismemberment of forms.[2]

Sedangkan bicara mengenai seni rupa kontemporer, Baudrillard berujar,
Contemporary art is only contemporary of itself. It no longer transcends itself into the past or the future. Its only reality is its operation in real time and its confusion with this reality. Nothing differentiates it from technical, advertising, media and digital operations. There is no more transcendence, no more divergence, nothing from another scene: it is a reflective game with the contemporary world as it happens. This is why contemporary art is null and void: it and the world form a zero sum equation (The Conspiracy of Art, 89).