Selubung Yang Lemah Cocok Untuk Mata Yang Lemah

Taman Surga

Maulana Rumi pernah ditanya tentang tafsir bait berikut:

Ketika hasrat telah mencapai tujuannya, ia akan menjadi kebencian yang sempurna.

Maulana Rumi berkata: Alam kebencian itu amat sempit jika dibandingkan dengan alam cinta, sebab manusia akan melarikan diri dari alam kebencian dan menuju ke alam cinta. Tetapi, alam cinta juga amat sempit jika dibandingkan dengan alam tempat bersemayamnya cinta dan kebencian. Baik cinta dan kebencian maupun kekafiran dan keimanan, keduanya mewajibkan adanya dualisme. Kekafiran adalah sebuah pengingkaran, di mana orang yang ingkar menuntut adanya objek yang diingingkari. Demikian juga dengan seseorang yang mengakui mengharuskan adanya objek yang diakui. Sehingga jelaslah bahwa harmoni dan disharmoni adalah penyebab dari dualisme.

Alam semesta itu berada di balik kekafiran, keimanan, cinta dan kebencian. Karena cinta mewajibkan adanya dualisme sementara alam tidak memiliki dualisme, maka manusia akan keluar dari cinta dan kebencian ketika sampai ke alam tersebut. Di sana tidak ada lagi dua sisi. Demikianlah, manusia akan terbebas dari dualisme ketika sampai di sana. Hal ini dikarenakan alam dualisme yang pertama, tempat cinta dan kerinduan, telah terdegradasi ke alam tempat perpindahan manusia saat ini. Oleh karenanya, ia tidak menginginkannya lagi, dan bahkan akan memusuhinya.

Ketika cinta Mansur al-Hallaj kepada Allah telah mencapai puncaknya, ia menjadi musuh bagi dirinya sendiri dan menganggap dirinya fana. Ketika dia berkata: “Akulah Allah,” maka maksudnya adalah: “Aku adalah fana dan yang kekal hanyalah Allah.” Ungkapan semacam ini adalah puncak ketawadukan dan batas akhir penghambaan, yang mana maksud dari ungkapan itu adalah: “Dia seorang.” Pengakuan dan sifat takabur tampak pada ucapan: “Engkaulah Allah dan aku adalah hamba-Mu.” Karena dengan ucapan itu, kamu juga menetapkan keberadaanmu dan memastikan adanya dualisme. Ketika kamu berkata: “Dialah Allah,” maka dalam perkataanmu ini juga terkandung unsur dualisme, sebab unsur “aku” masih ada dalam perkataan itu sehingga tidak mungkin untuk mengharapkan keberadaan “Dia,” Jadi, yang benar adalah perkataan: “Akulah Allah,” karena selain Dia tidak akan pernah ada. Karena Mansur sudah fana, maka apa yang dilontarkan dari mulutnya adalah ucapan Allah.

Alam imanjinasi itu lebih luas dari alam materi dan indrawi, sebab semua materi terlahir dari imanjiansi. Tetapi alam imajinasi itu juga lebih sempit dibandingkan dengan alam tempat keluarnya eksistensi sebuah imajinasi. Secara lafdziyah, ini adalah puncak pemahaman. Adapun makna hakikinya adalah mustahil diketahui hanya dari kata dan kalimat.

Seseorang bertanya:

“Lantas apa manfaat dari kalimat dan kata-kata?”

Maulana Rumi menjawab:

“Kata-kata akan membangkitkan semangatmu dalam berusaha. Ini tidak berarti bahwa apa yang kamu cari akan diperoleh dengan kata-kata. Sebab jika artinya demikian, maka dirimu tidak mungkin membutuhkan kerja keras dan usaha yang membuat dirimu fana. Keadaan kata-kata itu seperti keadaanmu, saat kamu melihat sesuatu bergerak dari jauh, kamu mengalir di belakangnya agar bisa terus memandanginya. Namun bukan berarti dengan melihatnya, dirimu yang menggerakannya. Ucapan manusia di dalam hatinya juga seperti perumpamaan ini. Ia akan memotivasimu untuk mencari makna, meski secara hakikat, kamu tidak melihatnya.”

Seseorang berkata:

“Aku telah mempelajari berbagai ilmu dan juga menguasai berbagai pemikiran dan makna. Meski demikian, aku masih belum tahu tentang esensi apa dalam diri manusia yang akan kekal selamanya. Aku sudah lama mencarinya, tapi belum aku temukan.”

Maulana Rumi menjawab:

“Jika esensi itu bisa diketahui hanya dengan kata-kata, maka kamu tidak akan menjadikan dirimu fana, apalagi membutuhkan kerja keras. Kamu harus mengerahkan seluruh dayamu agar dapat kamu fanakan dirimu dan mengetahui sesuatu yang tersisa itu.”

Seseorang berkata:

“Aku mendengar bahwa di sana ada Ka’bah, tetapi sekeras apa pun aku berusaha untuk melihatnya, aku tetap tidak bisa melihatnya. Hendaknya aku pergi ke atas loteng agar bisa melihat Ka’bah.” Begitu dia naik ke atas loteng dan memanjangkan lehernya, ia tetap saja tidak bisa melihat ka’bah. Setelah itu, ia pun mengingkari keberadaan Ka’bah.

Untuk melihat Ka’bah tidak cukup hanya dengan berusaha menaiki loteng, sebab manusia tidak bisa melihatnya dari tempat ia berpijak. Seperti saat musim dingin tiba, kamu memburu mantel bulu dengan sepenuh hati. Tetapi ketika musim panas datang, kamu membuang dan melupakan mantel itu. Jadi, karena kamu mencari mantel bulu demi sebuah kehangatan, maka sejatinya kehangatan itulah yang kamu cintai. Di musim dingin kamu tidak bisa menemukan kehangatan dan karenanya kamu membutuhkan perantara mantel itu. Tetapi ketika musim panas panas datang, kamu tidak lagi membutuhkan kehangatan karena sudah ada matahari yang mencegahnya dari kedinginan, dan kamu pun akan membuang mantel itu.

“Apabila langit terbelah.” (QS. al-Insyiqaq: 1)

“Apabila bumi digoncangkan dengan goncangan (yang dahsyat).” (QS. al-Zalzalah: 1)

Ayat di atas adalah sebuah petunjuk untukmu. Artinya “Kamu telah melihat kenikmatan berkumpul bersama, dan akan tiba waktunya di mana kamu akan melihat kenikmatan perpisahan seluruh anggota tubuh. Kamu akan melihat alam yang terbentang luas dan terbebas dari kesempitan. Misalnya, seseorang dibelenggu dengan empat paku, selama beberapa waktu dia merasa nyaman di tempat itu dan melupakan jalan keluar serta kebebasannya. Namun ketika ia terbebas dari empat paku itu, dia baru menyadari penderitaan yang baru saja dialaminya. Demikian juga para bocah yang tumbuh dan bersenang-senang di dalam kandungan ibunya dengan kedua tangannya terlipat. Namun jika dia sudah dewasa dan ditelungkupkan dalam sebuah ayunan, maka tentu ini akan menjadi penyiksaan dan penjara baginya.

Sebagian orang menemukan kenikmatan dalam bunga-bunga yang menebar wewangian, yang kepalanya keluar dari kuncup-kuncupnya. Sebagian lagi menemukan kenikmatan saat melihat kelopak bunga yang terpisah dan tersebar ke berbagai arah lalu kembali ke asalnya. Demikianlah, sebagian dari mereka ingin agar kasih sayang, rindu, cinta, kekufuran, dan lainnya tetap ada, tetapi dalam rangka untuk kembali ke asal-muasal mereka. Karena semua itu adalah tembok penghalang yang menjadi penyebab kesempitan dan dualisme. Berbeda dengan alam di sana yang memastikan keluasan dan kesatuan mutlak.

Kata-kata ini tidak begitu dalam dan tidak memiliki kekuatan. Bagaimana bisa pembahasan ini menjadi begitu dalam jika pada akhirnya ia tetaplah sebuah kata-kata? Meski demikian, esensi dari kata-kata ini bisa melemahkan. Ia juga memengaruhi hakikat dan menguatkannya. Kata-kata ini adalah selubung yang tersingkap. Bagaimana mungkin susunan dari dua atau tiga kata bisa menyebabkan kehidupan dan kegairahan?

Ketika seseorang datang mengunjungimu, lalu kamu menyambutnya dengan penuh hormat dan kamu berkata ‘selamat datang’ padanya, tentu ia akan senang dan merasakan kasih sayang. Sementara jika seseorang yang lain kamu sambut dengan dua atau tiga kata hinaan dan cacian, maka hal itu bisa membuatnya marah dan menderita. Sekarang, apa hubungannya dua atau tiga kata dengan cinta dan kerelaan yang berlipat ganda? Apa kaitannya semua itu dengan pengaruh amarah dan permusuhan? Allah telah membuat beberapa sebab dan selubung sehingga tidak semua manusia bisa memandang keindahan dan kesempurnaannya. Selubung yang lemah cocok untuk mata yang lemah. Demikianlah Allah menjadikan selubung sebagai hukum-hukum dan alasan-alasan.

Roti yang kamu makan ini, hakikatnya bukanlah penyebab kehidupan. Allah-lah yang menjadikannya tampak sebagai penyebab kehidupan dan kekuatan. Pada akhirnya roti itu akan menjadi keras, yang berarti bahwa dalam roti itu tidak terdapat kehidupan sebagaimana yang dimiliki manusia. Bagaimana mungkin ia bisa menjadi sebab bagi bertambahnya kekuatan? Seandainya roti itu memang memiliki kehidupan, tentu ia akan menghidupkan dirinya sendiri.

Sumber : Jalaluddin Rumi, 2014, Fihi Ma Fihi, F Forum