Apa saja macam-macam hadist dalam Islam ?

Jika suatu perkara tidak dijelaskan di dalam Al–Qur’an, maka umat Islam akan menggunakan sumber yang kedua yaitu Hadits. Hadist juga memiliki berbagai macam atau jenis. Apa saja macam-macam hadist dalam Islam ?

Berikut ini adalah macam-macam hadist :

  1. Hadis Mutawattir
    Hadis mutawattir adalah hadis yang diriwayatkan oleh banyak perawi, baik dari kalangan para sahabat maupun generasi sesudahnya dan dipastikan di antara mereka tidak bersepakat dusta.

  2. Hadis Masyhur
    Hadis masyhur adalah hadis yang diriwayatkan oleh dua orang sahabat atau lebih yang tidak mencapai derajat mutawattir, namun setelah itu tersebar dan diriwayatkan oleh sekian banyak tabi’in sehingga tidak mungkin bersepakat dusta. Contoh hadis jenis ini adalah hadis yang artinya,

    Orang Islam adalah orang-orang yang tidak mengganggu orang lain dengan lidah dan tangannya.” (H.R. Bukhari, Muslim dan Tirmizi)

  3. Hadis Ahad
    Hadis aḥad adalah hadis yang hanya diriwayatkan oleh satu atau dua orang perawi, sehingga tidak mencapai derajat mutawattir. Dilihat dari segi kualitas orang yang meriwayatkannya (perawi), hadis dibagi ke dalam tiga bagian, yaitu :

    • Hadis Saḥiḥ adalah hadis yang diriwayatkan oleh perawi yang adil, kuat hafalannya, tajam penelitiannya, sanadnya bersambung kepada Rasulullah saw., tidak tercela, dan tidak bertentangan dengan riwayat orang yang lebih terpercaya. Hadis ini dijadikan sebagai sumber hukum dalam beribadah (hujjah).

    • Hadis Ḥasan, adalah hadis yang diriwayatkan oleh perawi yang adil, tetapi kurang kuat hafalannya, sanadnya bersambung, tidak cacat, dan tidak bertentangan. Sama seperti hadis śaḥiḥ, hadis ini dijadikan sebagai landasan mengerjakan amal ibadah.

    • Hadis da’īf, yaitu hadis yang tidak memenuhi kualitas hadis śaḥīiḥ dan hadis Ḥasan. Para ulama mengatakan bahwa hadis ini tidak dapat dijadikan sebagai hujjah, tetapi dapat dijadikan sebagai motivasi dalam beribadah.

    • Hadis Maudu’, yaitu hadis yang bukan bersumber kepada Rasulullah saw. atau hadis palsu. Dikatakan hadis padahal sama sekali bukan hadis. Hadis ini jelas tidak dapat dijadikan landasan hukum, hadis ini tertolak.

Referensi :

Menurut Mahmud ath-Thahhan (Guru besar Hadis di Fakultas Syari‟ah dan Dirasah Islamiyah di Universitas Kuwait), Hadis adalah sesuatu yang datang dari Nabi Saw baik berupa perkataan, perbuatan dan persetujua

Sedangkan para Ulama ushul memberikan pengertian hadis adalah: “Segala perkataan Nabi Saw, perbuatan, dan taqrirnya yang berkaitan dengan hukum syara‟ dan ketetapannya”.

Sebagian muhadditsin lain juga berpendapat bahwa pengertian hadis di atas merupakan pengertian yang sempit. Menurut mereka, hadis mempunyai cakupan pengertian yang lebih luas, tidak terbatas pada apa yang disandarkan kepada Nabi Saw (hadits marfu) saja, melainkan termasuk juga yang disandarkan kepada para Sahabat (hadits mauquuf) dan Tabi’in (hadits maqtu’), sebagaimana disebutkan oleh
at-Tarmidzi:

“Bahwasannya hadis itu bukan hanya untuk sesuatu yang marfu’, yaitu sesuatu yang disandarkan kepada nabi Saw, melainkan bisa juga untuk sesuatu yang mauquf, yaitu yang disandarkan kepada sahabat dan maqtub yaitu yang disandarkan kepada tabi‟in.”

Pembagian Hadis


Dari Aspek Kuantitasnya

Hadis dilihat dari segi kuantitasnya ada dua yaitu:

1. Hadis Mutawatir

Mutawatir dalam segi bahasa memiliki arti yang sama dengan kata “mutataabi” artinya beruntun atau beriring-iringan, maksudnya beriring-iringan antara satu dengan yang lain tanpa ada jaraknya”. sedang menurut istilah ialah:

Hadis mutawatir ialah hadits yang diriwayatkan oleh sejumlah besar perawi yang menurut adat, mustahil mereka bersepakat lebih dahulu untuk berdusta”.

Dalam hadis mutawatir, para ahli berbeda-beda dalam memberikan tanggapan, sesuai dengan latar belakang disiplin ilmu yang dimiliki mereka masing-masing, diantaranya ialah:

  1. Ahli hadis mutaqaddimin, tidak terlalu mendalam dalam memberikan bahasan, sebab hadis mutawatir itu pada hakikatnya tidak dimasukkan ke dalam pembahasan masalah-masalah:

    • Ilmu isnad yaitu ilmu mata rantai sanad, artinya sebuah disiplin ilmu yang hanya membahas masalah shahih tidaknya, diamalkan dan tidaknya.

    • Ilmu rijal al-hadist, artinya semua pihak yang terkait dalam soal periwayatan hadis dan metode penyampaian hadis.

    Ahli hadits mutaqaddimin ialah gelar yang diberikan untuk Ulama hadis pada abad kedua dan ketiga yang mengumpulkan hadis, semata-mata berpegang kepada usaha sendiri, dengan menemui para penghafal yang tersebar disetiap peloso, Negara Persi dan lain-lain

    Oleh sebab itu, jika status hadis itu mutawatir, maka kebenaran didalamnya wajib di yakini dan semua isi yang terkandung didalamnya wajib diamalkan.

  2. Ahli hadis mutaakhirin dan ahli Ushul berkomentar bahwa hadis dapat disebut dengan mutawatir jika memiliki kriteria-kriterianya, sebagai berikut:

    • Diriwayatkan oleh sejumlah besar perawi
      Maksudnya hadis itu diriwayatkan oleh banyak perawi, dimana jumlah banyak ini menjadikan mereka mustahil sepakat untuk berdusta. Ulama berbeda pendapat tentang berapa jumlah perawi yang banyak tersebut, sebagai batasan minimal perawi hadis mutawatir.

    • Adanya kesinambungan antara perawi pada thabaqat (generasi) pertama dengan thabaqat (generasi) berikutnya.
      Maksudnya jumlah perawi generasi pertama dan berikutnya harus berkisinambungan atau seimbang, artinya jika pada generasi pertama berjumlah 20 orang, maka pada generasi berikutnya juga harus 20 orang atau lebih. Akan tetapi jika generasi pertama berjumlah 20 orang, lalu pada generasi kedua 12 atau 10 orang, kemudian pada generasi berikutnya 5 atau kurang, maka tidak dapat dikatakan seimbang.

    Ahli hadits mutaakhirin ialah gelar yang diberikan untuk Ulama hadis pada abad keempat dan seterusnya, kebanyakan hadis yang mereka kumpulkan adalah petikan (kutipan)dari kitab-kitab mutaqaddimin, sedikitnya mereka mengumpulkan sendiri,

    Sekalipun demikian, sebagian ulama berpendapat bahwa keseimbangan jumlah pada tiap-tiap generasi tidak menjadi persoalan penting yang sangat serius untuk diperhatikan, sebab tujuan utama adanya keseimbangan itu supaya dapat tehindar dari kemungkinan terjadinya kebohongan dalam menyampaika hadis9.

  3. Berdasarkan Tanggapan Panca Indra
    Maksudnya hadis yang sudah mereka sampaikan itu harus benar hasil dari pendengaran atau penglihatan mereka sendiri. Bukan dari mimpi atau mereka buat sendiri, kemudian menjadikan hadisnya.

Adapun contoh hadis mutawatir yaitu:

“Barang siapa yang berbuat dusta pada diriku, hendaklah ia menempati neraka” Menurut Abu Bakar al-Sairi, bahwa hadis ini diriwayatkan secara marfu‟ oleh 60 Sahabat. Menurut Ibnu al-Shalah hadis ini diriwayatkan oleh 62 Sahabat, termasuk 10 Sahabat yang masuk surga. Hadis ini terdapat pada shahih Bukhari, Muslim, Tirmidzi, Musnad Ahmad dan lain-lain.

2) Hadis Ahad

Ahad adalah bahasa arab yang berasal dari kata dasar ahad , artinya satu, atau wahid artinya khabar wahid, jadi artinya suatu kabar yang diriwayatkan oleh satu orang. Sedangkan yang dimaksud dengan hadis ahad menurut istilah yaitu:

”Hadis yang diriwayatkan oleh satu, dua orang atau lebih, yang jumlahnya tidak memenuhi persyaratan hadis masyhur dan hadis mutawatir”.

Hadis ahad dibagi menjadi tiga yaitu:

  1. Hadis Ahad Masyhur, yaitu hadis yang diriwayatkan tiga orang atau lebih (dalam suatu thabaqahnya) namun tidak mencapai derajat mutawatir. Hadis masyhur disebut juga hadis mustafidh walaupun terdapat perbedaan, yaitu hadis mustafidh jumlah rawinya tiga orang atau lebih, mulai dari thabaqat pertama hinggah thabaqat akhir. Sedangkan hadis masyhur jumlah rawinya untuk tiap thabaqat tidak harus tiga orang, bahkan sebuah hadis yang diriwayatkan seorang rawi pada awalnya tetapi pada thabaqat selanjutnya diriwayatkan banyak orang, juga termasuk hadis masyhur.

    Hadis masyhur ada yang shahih dan ada yang dha‟if karena keshahihan sebuah hadis masyhur tidaklah identik dengan kemasyhurannya tetapi keshahihan hadis ditentukan oleh rawi, sanad dan matannya.

  2. Hadis Ahad 'Aziz, yaitu hadis yang diriwayatkan dua orang pada setiap thabaqat rawinya, atau hadis yang diriwayatkan oleh kurang dari dua orang dari dua orang perawi pertama. Bahkan, jika ada sebuah hadis dimana pada salah satu thabaqat sanadnya terdapat di dalamnya dua orang perawi maka hadis tersebut dapat dinamakan hadis 'aziz.

  3. Hadis Ahad Gharib, yaitu hadis yang terdapat di antara mata rantai perawinya satu orang (penyendirian). Hadis gharib terbagi dua yaitu :

    1. Hadis Gharib Mutlak, yaitu hadis yang terdapat penyendirian sanad menurut jumlah personilnya.

    2. Hadis Gharib Nisbi, yaitu hadis yang terdapat penyendirian dalam sifat, tempat tinggal, atau golongan tertentu misalnya antara Ayah dan Anak.

Hadis ahad dari segi kualitasnya juga dibagi tiga bagian yaitu hadis shahih, hadis hasan dan hadis dha’if.

Dari Aspek Kualitasnya

Sebagiamana telah dikemukakan bahwa hadis muatawatir memberikan pengertian yang yaqin bi alqath, artinya Nabi Muhammad benar-benar bersabda, berbuat atau menyatakan taqrir (persetujuan) dihadapan para Sahabat berdasarkan sumber-sumber yang banyak dan mustahil mereka sepakat berdusta kepada Nabi. Karena kebenarannya sumbernya sungguh telah meyakinkan, maka dia harus diterima dan diamalkan tanpa perlu diteliti lagi, baik terhadap sanadnya maupun matannya.

Berbeda dengan hadits ahad yang hanya memberikan faedah zhanni (dugaan yang kuat akan kebenarannya), mengharuskan kita untuk mengadakan penyelidikan, baik terhadap matan maupun sanadnya, sehingga status hadis tersebut menjadi jelas, apakah diterima sebagai hujjah atau ditolak.

Sehubungan dengan itu, para Ulama ahli hadis membagi hadis dilihat dari segi kualitasnya, menjadi tiga bagian, yaitu hadis shahih, hadis hasan, dan hadis dhaif.

1. Hadis Shahih

Kata shahih dalam bahasa diartikan orang sehat antonim dari orang yang sakit, jadi maksudnya hadis shahih adalah hadis yang sehat dan benar tidak terdapat penyakit dan cacat. Sedangkan secara istilah menurut Ulama hadis, misalnya Ibn ash-Shalah yaitu:

”Hadis yang muttashil (bersambung) sanadnya (sampai kepada Nabi), diriwayatkan oleh orang adil dan dhobith (kuat daya ingatannya) sempurna dari sesamanya, selamat dari kejanggalan (syadz) dan cacat ('illat).

Dari defenisi di atas dapat dipahami bahwa syarat-syarat hadits shahih adalah:

  1. sanadnya bersambung,
  2. perawinya bersifat adil,
  3. perawinya bersifat dhabith,
  4. matannya tidak syazdz, dan
  5. matannya tidak mengandung 'illat.

2. Hadis Hasan

Dari segi bahasa, hasan berasal dari kata al-husnu bermakna al-jamal yang artinya keindahan. Menurut istilah para Ulama memberikan definisi hadis hasan secara beragam. Namun, yang lebih kuat sebagaimana yang dikemukakan oleh Ibnu Hajar al-Asqalani dalam an-Nukhbah yaitu:

“Hadis hasan adalah bersambung sanadnya, diriwayatkan oleh orang adil, kurang
sedikit kedhobithannya, tidak ada keganjilan (syadz), dan tidak ada 'illat.

Kriteria hadits hasan hampir sama dengan hadis shahih. Perbedaannya hanya terletak pada sisi ke-dhabith-annya. Hadis shahih ke-dhabith-annya seluruh perawinya harus zamm (sempurna), sedangkan dalam hadis hasan, kurang sedikit ke-dhabith-annya jika dibanding dengan hadis shahih.

Hadis hasan terbagi menjadi dua macam, yaitu hasan lidzatih dan hasan lighayriy.

  • Hasan lidzatih adalah hasan dengan sendirinya, karena memenuhi kriteria dan persyaratan yang ditentukan.

  • Hasan lighayrih ada beberapa pendapat diantaranya adalah:

    adalah hadits dha‟if jika diriwayatkan melalui jalan (sanad) lain yang sama atau lebih kuat”.

    “adalah hadits dha‟if jika berbilangan jalan sanadnya dan sebab kedha‟ifan bukan karena fasik atau dustanya perawi”.

Dari dua definisi tersebut di atas dapat dipahami bahwa hadis dho’if bisa naik menjadi hasan lighayrih dengan dua syarat yaitu:

  1. Harus ditemukan periwayatan sanad lain yang seimbang atau lebih kuat

  2. Sebab kedho’ifannya hadis tidak berat seperti dusta dan fasik, tetapi ringan seperti hafalannya yang kurang atau terputus sanadnya atau tidak diketahui dengan jelas (majhul) identitas perawinya.

Dari penjelasan hadis di atas, hadis hasan dapat dijadikan hujjah walaupun kualitasnya di bawah hadis shahih. Semua Fuqaha, sebagian Muhadditsin dan Ushuliyyin mengamalkannya kecuali sedikit dari kalangan orang yang sangat ketat dalam mempersyaratkan penerimaan hadis (musyaddidin). Bahkan sebagian Muhaddisin yang mempermudah dalam persyaratan shahih (mutasahhilin) memasukannya ke dalam hadis shahih, seperti al-Hakim, Ibnu Hibban dan Ibnu Khuzaimah.

3. Hadis Dho’if

Hadits dha’if bagian dari hadits mardud. Dari segi bahasa dha’if berarti lemah lawan dari al-Qawi yang berarti kuat. Kelemahan hadis dha’if ini karena sanad dan matannya tidak memenuhi kriteria hadis kuat yang diterima sebagian hujjah. Dalam pengertian hadits dha’if secara istilah adalah :

“Adalah hadis yang tidak menghimpun sifat hadis hasan sebab satu dari beberapa syarat yang tidak terpenuhi”.

Atau definisi lain yang biasa diungkapkan oleh mayoritas Ulama:

“Hadis yang tidak menghimpun sifat hadis shahih dan hasan”.

Kriteria hadis dha’if adalah hadis yang tidak memenuhi sebagain atau semua persyaratan hadis hasan dan shahih, misalnya sanadnya tidak bersambung (muttasshil), Para perawinya tidak adil dan tidak dhabith, terjadi keganjilan baik dalam sanad atau matan (syadz) dan terjadinya cacat yang tersembunyi („Illat) pada sanad atau matan.

Sedangkan hukum periwayatan hadis dho’if tidak identik dengan hadis mawdhu (hadis palsu), diantaranya terdapat kecacatan para perawinya yang tidak terlalu parah, seperti daya hafalan yang kurang kuat tetapi adil dan jujur. Sedangkan apabila hadis mawdhu perawinya seorang pendusta, maka para Ulama memperbolehkan meriwayatkan hadis dha’if dengan dua syarat yaitu:

  1. Tidak berkaitan dengan aqidah seperti sifat-sifat Allah.

  2. Tidak berkaitan dengan hukum syara’ yang berkaitan dengan halal dan haram, tetapi berkaitan dengan masalah mau’izhah, targhib wa tarhib (hadis-hadis tentang ancaman dan janji), kisah-kisah dan lain-lain.

Referensi :

  • Abdul Majid Khon, Ulumul Hadis, Sinar Grafika Offset, Jakarta, 2010
  • Munzier Suparta, Ilmu Hadis, PT. Raja Grafindo Persada, Jakarta, 2002.
  • Totok Jumantoro, Kamus Ilmu Hadis, Bumi Aksara, Jakarta, 1997.