Sebutkan apa saja instrumen pendapatan negara pada pemerintahan islam?

Peradaban Isam telah ada selama 13 abad lebih lamanya, bagaimana negara dalam islam mengatur anggaran negara untuk meningkatkan perekonomian dan kesejahteraan masyarakatnya?

ilustrasi-ilmuwan-muslim-saat-mengembangkan-sains-dan-teknologi-pada-120410110951-285-5a2a4086cf78db0e4131daa2
sumber : kompasiana.com

Kejayaan peradaban Islam yang telah dibangun oleh Rasulullah dan dilanjutkan oleh para sahabat serta para khalifah selanjutnya sangat berpengaruh pada sejarah dunia dengan diiringi berbagai jenis ilmu pengetahuan yang sangat maju pada zamannya. Fungsi negara adalah untuk mengatur dan menjembatani interaksi-interaksi manusia yang ada di dalamnya. Negara menjadi partner bagi segenap masyarakatnya dalam mencapai tujuan-tujuan yang diinginkan bersama. Dalam institusi negara tidak lepas dari konsep kolektif yang ada dalam landasan moral dan syariah Islam.

Kesuksesan negara pada peradaban Islam dalam lukisan sejarah telah menjadi bukti nyata dapat membawa kepada kesejahteraan masyarakat secara umum, Muslim maupun non Muslim, tepatnya pada era al-Khulafâ’ al-Râsyidîn, Dawlah ‘Umawiyah di Syam serta Dawlah ‘Abbâsiyah di Baghdag. Ibn Taymiyyah6, sebagaimana para pemikir Islam lainnya, memandang pemerintah sebagai institusi yang sangat penting. Dengan bekal moralitas dan religiusitas manjadi instrumen pokok dalam proses pengambilan kebijakan, “Tujuan terbesar dari negara adalah mengajak penduduknya melaksanakan kebaikan dan mencegah mereka berbuat munkar”.

Amar ma’ruf nahi munkar adalah tujuan yang sangat kompleks. Termasuk tentunya dalam mengajak manusia dalam setiap aktivitas ekonominya. “Kamu adalah umat yang terbaik yang dilahirkan untuk manusia, menyuruh kepada yang makruf, dan mencegah dari yang munkar, dan beriman kepada Allah. sekiranya ahli Kitab beriman, tentulah itu lebih baik bagi mereka, di antara mereka ada yang beriman, dan kebanyakan mereka adalah orang-orang yang fasik”. (Q.s. Âli ‘Imrân [3]: 110).

Fungsi ekonomi dari negara dan berbagai kasus di mana negara berhak melakukan intervensi terhadap hak individu untuk mendapatkan manfaat yang lebih besar. Misalnya, upaya bersama untuk memerangi kemiskinan dan ketertinggalan secara ekonomi, mengatur regulasi kebijakan moneter, perencanaan ekonomi, dll.

Anggaran Pendapatan Pemerintahan Islam

1. Zakat

Zakat sendiri baru disyariatkan pada tahun kedelapan Hijriyah. Pertama, zakat. Pada masa awal-awal Islam, penerimaan pendapatan negara yang bersumber dari zakat berupa uang tunai, hasil pertanian dan hasil peternakan. Zakat merupakan unsur penting karena sistemnya penunaiannya yang bersifat wajib (obligatory zakat system), sedangkan tugas negara adalah sebagai ‘âmil dalam mekanismenya. Zakat merupakan kewajiban bagi golongan kaya untuk memberikan perimbangan harta di antara sesama masyarakat. Dalam negara yang memiliki sistem pemerintahan Islam, maka negara berkewajiban untuk mengawasi pemberlakuan zakat. Negara memiliki hak untuk memaksa bagi mereka yang enggan berzakat jika mereka berada pada taraf wajib untuk mengeluarkan zakat. Apalagi jika mempertimbangkan keadaan masyarakat yang secara umum lemah perekonomiannya.

Mencoba memperbandingkan dengan sistem konvensional, maka pemasukan zakat sangat tergolong kecil. Meskipun demikian, negara Islam tidak berada pada posisi yang terbebani, karena secara mendasar, sistem zakat telah secara langsung dan signifikan telah mengurangi beban negara dari spesifikasi syariat yang ada dalam aturan aplikasinya, yaitu menanggulangi kecenderungan negatif dan pengangguran, kemiskinan dan masalah-masalah sosial lainnya. Di lain sisi, zakat merupakan ujung tombak pertama dari negara yang berfungsi untuk menjamin kebutuhan minimal rakyat.

2. Ghanimah

Ghanîmah merupakan pendatan negara yang didapatkan dari hasil kemenangan dalam peperangan. Distribusi hasil ghanîmah secara khusus diatur langsung dalam Alquran surah al-Anfâl ayat 41. empat perlima dibagi kepada para prajurit yang ikut dalam perang, sedangkan seperlimanya sendiri diberikan kepada Allah, Rasul-Nya, karib kerabat Nabi, anak-anak yatim, kaum miskin dan ibnu sabil. Dalam konteks perekonomian modern, pos penerimaan ini boleh saja menggolongkan barang sitaan akibat pelanggaran hukum antar negara sebagai barang ghanîmah.

3. Khumus

Khumus atau seperlima bagian dari pendapat ghanîmah akibat ekspedisi militer yang dibenarkan oleh syariah, dan kemudian oleh negara dapat digunakan sebagai biaya pembangunan. Meskipun demikian, perlu hatihati dalam penggunaannya karena aturan pembagiannya telah jelas, seperti pada ayat di atas. Khumus, juga bisa diperoleh dari barang temua (harta karun) sebagaimana terjadi pada periode Rasul. Ulama Syiah mengatakan bahwa sumber pendapatan apa pun harus dikenakan khumus sebesar 20%. Sedangkan ulama sunni, beranggapan bahwa ayat ini hanya berlaku untuk harta rampasan perang saja. ‘Uman Abû 'Ubayd menyatakan bahwa yang dimaksud khumus itu bukan hasil perang saja, tapi juga barang temuan dan barang tambang. Dengan demkian, di kalangan ulama sunni ada sedikit perkembangan dan memaknai khumus

4. Fa’i

Fa’i adalah sama dengan ghanîmah. Namun bedanya, ghanîmah diperoleh setelah menang dalam peperangan. Sedangkan, fa’i tidak dengan pertumpahan darah. Menurut Muhammad Nejatullah Siddiqi, harta fa’I adalah pendapatan negara selain dari zakat. Jadi termasuk di dalamnya: kharâj, jizyah, ghanîmah, ‘usyur, dan pendapatan-pendapatan dari usaha komersil pemerintah. Definisi ini lebih mempertimbangkan kondisi ekonomi kontemporer saat ini yang strukturnya cukup berbeda dengan keadaan pada masa Rasulullah.


sumber : dakwatuna.com

5. Jizyah

Jizyah merupakan pajak yang hanya diberlakukan bagi warga negara non-Muslim yang mampu. Bagi yang tidak mampu seperti mereka yang sudah uzur, cacat, dan mereka yang memiliki kendala dalam ekonomi akan terbebas dari kewajiban ini. Bahkan untuk kasus tertentu, negara harus memenuhi kebuhhuhan pendiudik bukan Muslim tersebut akibat ketidak mampuan mereka memenuhi kebutuhan minimalnya, sepanjang penduduk tersebut rela dalam pemerintahan Islam. Hal ini berkaitan erat dengan fungsi pertama dari negara. Jadi pemenuhan kebutuhan tidak terbatas hanya kepada penduduk Muslim saja.

Jizyah ini bisa disebut pula dengan istilah pajak perlindungan. Ketika nonMuslim hidup dengan tenang dan mendapat jaminan perlindungan dari pemerintah Islam, maka dengan jizyah tersebut bisa menjadi imbalannya. Perlindungan yang dimaksud baik dalam maupun gangguan-gangguan dari pihak luar. Dan ini sejalan secara adil dengan penduduk Muslim sendiri, yang telah dibebani beberapa instrumen biaya yang harus dikeluarkan ke negara, seperti zakat.

6. Kharaj

Kharâj merupakan pajak khusus yang diberlakukan Negara atas tanah-tanah yang produktif yang dimiliki rakyat. Pada era awal Islam, kharâj sebagai pajak tanah dipungut dari non-Muslim ketika Khaybar ditaklukkan. Tanahnya diambil alih oleh orang Muslim dan pemilik menawarkan untuk mengolah tanah tersebut sebagai pengganti sewa tanah dan bersedia memberikan sebagian hasil produksi kepada negara. Jumlah dari kharâj bersifat tetap, yaitu setengah dari hasil produksi.

Kharâj adalah pajak terhadap tanah, yang bila dikonversi ke Indonesia, ia dikenal sebagai Pajak Bumi dan Bangunan (PBB). Oleh karena itu, perbedaan mendasar antara sistem kharâj dan sistem PBB adalah kharâj ditentukan berdasarkan tingkat kesuburan produktivitas dari tanah (land productivity), dan bukan berdasarkan zona sebagaimana dalam aturan sistem PBB (zona strategi). Hal ini bisa jadi dalam sistem kharâj, tanah yang bersebelahan, yang satu ditanami buah kurma dan tanah lainnya ditanami buah anggur, mereka harus membayar kharâj yang berbeda.

7. ‘Usyur

‘Usyur merupakan pajak khusus yang dikenakan atas barang niaga yang masuk ke dalam negara Islam (barang impor). Pada masa Rasul, ‘usyur hanya dibayar sekali dalam setahun dan hanya berlaku pada barang yang nilainya lebih dari 200 dirham. Rasulullah berinisiatif mempercepat peningkatan perdagangan, walaupun menjadi beban pendapatan negara. Ia menghapusksan semua bea masuk dan dalam banyak perjanjian dengan berbagai suku menjelaskan hal tersebut. Barang-barang milik utusan dibebaskan dari bea impor di wilayah Muslim, bila sebelumnya telah terjadi tukar-menukar barang.20 Menurut ‘Umar ibn al-Khaththâb, ketentuan ini berlaku sepanjang ekspor negara Islam kepada negara yang sama juga dikenakan pajak ini. Dan jika dikenakan besarnya juga harus sama dengan tarif yang diberlakukan negara lain atas barang Islam yang diekspor.

8. Infak, Sedekah, Wakaf

Infak, sedekah, dan wakaf merupakan pemberian sukarela dasri rakyat demi kepentingan umat untuk mengharapkan ridha Allah Swt. semata. Namun, oleh negara dapat dimanfaatkan untuk melancarkan proyek-proyek pembangunan Negara. Penerimaan ini sangat tergantung pada kondisi spiritual masyarakat secara umum. Diyakini ketika keimanan masyarakat begitu baik, maka penerimaan negara melalui instrumen ini akan besar. Sebaliknya jika keimanan masyarakat buruk, maka penerimaan negara melalui instrumen ini akan relatif kecil.

9. Lain-Lain

Selain diperoleh dari pendapatan primer, ada pula yang didapatkan dari peroleh sekunder. Kebijakan Fiskal pemerintahan masa Rasul, di antaranya: Pertama, uang tebusan untuk para tawanan perang. Pada perang Hunain, enam ribu tawanan dibebaskan tanpa uang tebusan. Kedua, pinjaman-pinjaman (setelah penaklukan kota Mekah) untuk pembayaran uang pembebasan kaum Muslimin dari Judhaimah atau sebelum pertempuran Hawazin 30.000 dirham dari Abdullah bin Rabiah dan meminjam beberapa pakaian dan hewan-hewan tunggangan dari Sofwan bin Umaiyyah (sampai waktu tidak ada perubahan).

Ketiga, nawaib, yaitu pajak yang jumlahnya cukup besar yang dibebankan pada kaum Muslimin yang kaya dalam rangka menutupi pengeluaran negara selama masa darurat. Dan ini pernah terjadi pada masa perang tabuk. Keempat, amwâl fadhlâ, yaitu bersumber dari harta kaum Muslimin yang meninggal tanpa meninggalkan ahli waris. Atau bisa pula bersumber dari kaum muslilmin yang meninggalkan tanah kelahirannya tanpa ada kabar berita maupun wasiat. Kelima, bentuk lain bisa diperoleh dari kurban dan kaffârah.

Penerimaan negara dapat juga bersumber dari variabel seperti warisan yang memiliki ahli waris, hasil sitaan, denda, hibah, atau hadiah dari negara sesama Islam serta bantuan-bantuan lain yang sifatnya tidak mengikat, baik dari negara luar maupun lembaga-lembaga keuangan dunia.

REFERENSI

‘Alî ‘Abd al-Rasûl, Mabâdi’ al-Iqtishâdî fi al-Islâm, (al-Qâhirah: Dâr Fikr al-Arabî, 1980), Cet. II, h. 323.

Pusat Pengkajian dan Pengembangan Ekonomi Islam (P3EI) Univ. Islam Indonesia Yogyakarta-Bank Indonesia, (Jakarta: PT. RajaGrafindo Persada, 2008), Edisi I, h. 489.

Rahman, M Fudhail. (2013). Sumber-sumber Pendapatan dan Pengeluaran Islam. Jurna Al-Iqtishad. 5(2)

Shibli Nomani, Seeratun-Nabi (urdu) Matbee Maarif Azamgarh, 6th print, 1962, Vol. I, h. 573.