Seberapa jauh penggunaan sistem pengukuran kinerja organisasi atau Measureable Organizational Values(MOV) di dalam Perusahaan?

Seperti yang kita tahu bahwa dalam organisasi bisnis,tentu kita mengenal namanya Measureable Organizational Values (MOV) sebagai suatu alat ukur dari keberhasilan organisasi tersebut,lalu seberapa jauhkah penggunaannya dalam organisasi tersebut?Apakah semua Organisasi bisnis saat ini telah menerapkan hal tersebut?

Pengukuran kinerja masih belum sepenuhnya dilakukan secara cermat oleh kebanyakan organisasi publik (Hatry dkk. 1990; Perrin 1998). Padahal, apabila pengukuran kinerja digunakan secara tepat, maka akan mendukung pembuatan keputusan yang lebih baik. Terbatasnya organisasi publik untuk mengukur kinerjanya bisa dipahami karena ini bukan perkara yang mudah. Diantaranya karena sedemikian kompleksnya lingkungan internal maupun eksternal organisasi publik. Katakanlah misalnya, ketidakpastian dukungan stakeholder dan ketidakcukupan kemampuan teknis untuk mengumpulkan dan menganalisa data kinerja (Radin 1998; Theurer 1998).

Para manajer publik terkadang memiliki keterbatasan untuk menetapkan tujuan dan ukuran-ukuran kinerja, serta minim informasi yang membedakan outcome dan output. Tantangan di atas sekaligus merupakan problem yang sering mengganggu perbaikan atau reformasi manajemen. Juga rendahnya kapasitas stakeholder (kapasitas politik) untuk memberikan dukungan terhadap proses pengukuran kinerja. Sementara, dukungan para elected officials sangat penting karena akan membuka ruang dan memberikan legitimasi bagi segenap perubahan dan harapan kinerja.

Kinerja organisasi merupakan fenomena sosial yang subyektif, kompleks, dan sulit untuk diukur dalam sektor publik (Au 1996; Anspach 1991). Boschken (1994) berpendapat bahwa para agen publik memiliki beragam kontituen yang menuntut penekanan yang berbeda. Sementara para sarjana administrasi publik cenderung menentukan satu standar tunggal, padahal pelayanan publik ada dalam sebuah masyarakat yang plural dan interdependen. Bahkan berbagai penelitian sebelumnya cenderung berfokus pada ukuran-ukuran yang berkaitan dengan efisiensi dan mengabaikan nilai-nilai seperti kesetaraan (equity) dan keadilan (fairness). Ukuran-ukuran yang sempit tersebut bisa menghasilkan konklusi yang menyesatkan tentang efektivitas organisasi (Kaplan and Norton 1992; Judge 1994).

Banyak pakar menganjurkan bahwa sebaiknya para manajer publik dan organisasi publik hendaknya mengembangkan ukuran-ukuran kinerja yang lebih valid, reliable, dan mudah dipahami (Hatry dkkl. 1992; Ammons 1995). Ukuran-ukuran ini lebih didasarkan pada kegiatan operasional, dan data lebih siap dikumpulkan manakala teknologi informasi dapat digunakan secara baik. Ukuran-ukuran outcome mensyaratkan adanya survey pelanggan atau masyarakat, namun terkadang tidak ada kemampuan (capacity) untuk mengumpulkan data tersebut dalam cara-cara yang valid secara keilmuan. Leithe (1997) juga menambahkan bahwa seringkali ketiadaan “cost-accounting systems” yang diperlukan untuk mengetahui biaya tiap-tiap unit. Kurangnya kompetensi teknis akan pengukuran kinerja dapat dipahami, meskipun aspek ini sering ditemui dalam berbagai literatur tradisional.

Konseptualisasi Kinerja Organisasi

Organisasi berkinerja tinggi diartikan sebagai kelompok pekerja yang mampu menghasilkan barang atau jasa yang diinginkan pada kualitas yang tinggi dengan menggunakan risorsis yang seminimal mungkin. Produktivitas dan peningkatan kualitasnya berlangsung secara kontinyu menuju kepada tercapainya misi organisasi (Popovich, 1998). Organisasi yang berkinerja tinggi adalah organisasi yang memiliki misi yang jelas, mengetahui outcome-nya, dan berfokus pada hasil (result), memberdayakan pekerjanya, memotivasi dan mendorong pegawai untuk sukses, fleksibel terhadap situasi baru, kompetitif dalam hal kinerja, merestrukturkan proses kerja untuk memenuhi kebutuhan pelanggan, dan menjaga komunikasinya dengan para pemangku kepentingan.

Kinerja organisasi dapat dipahami dengan berfokus pada faktor-faktor internal maupun eksternal organisasi. Penekanan pada faktor-faktor internal untuk menentukan kriteria kinerja, diantaranya adalah tujuan (goal) organisasi atau prosedur untuk mencapai tujuan. Menurut model “rational goal” atau “purposive-rational”, organisasi didisain untuk mencapai tujuan tertentu, yang secara formal bersifat implisit dan specified. Model ini berfokus pada tingkatan tertentu dimana yang kriteria kinerja organisasi adalah bagaimana organisasi dapat mencapai tujuannya (Etzioni 1964; Pfeffer 1982; Price 1972). Sementara pakar lain menekankan ukuran internal seperti derajat kesehatan organisasi (organizational health) (Argyris 1964; Bennis 1966; Likert 1967). Pakar lain lebih berfokus pada sistem komunikasi yang kuat dan kebijakan dan prosedur yang stabil. Juga ukuran-ukuran hubungan manusia (human relation), seperti misalnya kohesi tenaga kerja, dan pengembangan sumber daya manusia (human resources development).

Secara eksternal, kinerja organisasi diukur dari relasi antara organisasi dengan lingkungannya. Model system resource yang dikembangkan oleh Seashore dan Yuchtman (1967) merumuskan kinerja sebagai kemampuan untuk mengeksploitasi lingkungan untuk mendapatkan risorsis yang terbatas dan bernilai demi mempertahankan fungsinya. Oleh karenanya, dalam konsepsi ini, input ke dalam suatu organisasi dianggap lebih penting ketimbang output karena kemampuan sebuah organisasi untuk mempertahankan risorsis yang cukup demi keberlangsungan organisasi tersebut merupakan indikator yang paling penting.

Pendekatan yang lain berfokus pada relasi yang dibangun sebuah organisasi dengan aktor-aktor eksternal kunci. Ecological model atau participation satisfaction model merumuskan kinerja sebagai kemampuan sebuah organisasi untuk memuaskan para konstituen kunci dalam lingkungannya (Boshcken 1999; Conolly, Conlon and Deutch 1980; Keeley 1978; Miles 1980; Zammuto 1984).

Selden dan Sowa (2004) mengatakan bahwa karena setiap organisasi jelas berbeda, maka kriteria yang tepat untuk menilai kinerja bisa saja beragam. Organisasi dengan tujuan yang jelas dan mudah diukur cenderung menggunakan the rational goal model. Sebaliknya, organisasi yang memiliki tujuan yang lebih ambisius cenderung menggunakan faktor-faktor lain, seperti fiscal health, kemampuan untuk menarik dan mempertahankan risorsis, atau kemampuan untuk memuaskan stakeholder kunci.

Pengukuran Kinerja

Pengukuran kinerja merupakan suatu sarana yang digunakan untuk meningkatkan akuntabilitas. Dalam dekade lalu, para manajer telah belajar banyak mengenai reformasi manajemen. Perhatian telah bergeser dari strategi inovasi manajemen baru (what is performance measurement?) ke arah strategi yang dibutuhkan untuk melaksanakan perubahan (langkah apa yang harus diambil?). Saat ini, perlu pembelajaran untuk mengetahui secara lebih baik mengenai kondisi yang dibutuhkan untuk melaksanakan perubahan (apakah kondisi yang dibutuhkan telah sebagi prasyarat untuk mencapai sukses?) dan mengelola kondisi tersebut (apakah kita tahu dengan jeli kondisi yang disyaratkan tersebut?).

Dalam konteks ini, istilah kapasitas (capacity) mengacu kepada kemampuan organisasi untuk mencapai tujuan-tujuannya (Honadle 1980). Adanya jaminan akan dukungan stakeholder dan kemampuan teknis menjadi kapasitas utama untuk melaksanakan reformasi manajemen. Kemampuan teknis merupakan kemampuan untuk menetapkan tujuan dan ukuran-ukuran maupun kemampuan untuk dapat mengatasi berbagai hambatan konseptual seperti kemampuan untuk membedakan outcomes dari output, dan sebagainya. Banyak pakar yang menganjurkan bahwa sebaiknya mengembangkan ukuran-ukuran kinerja yang valid, reliable, dan mudah dipahami (Hatry et al. 1992; Ammons 1995).

Seringkali, ukuran-ukuran ini didasarkan pada kegiatan operasional, dan data lebih siap dikumpulkan manakala teknologi informasi dapat digunakan secara luas (Stokes and Monaco 1997; Grizzle 1982). Ukuran-ukuran outcome mensyaratkan adanya survey pelanggan atau masyarakat, namun seringkali tidak ada kemampuan (capacity) untuk mengumpulkan data-data tersebut dalam cara-cara yang lebih valid secara keilmuan. Leithe (1997) juga menambahkan bahwa seringkali ketiadaanya “cost-accounting systems”, yang diperlukan untuk mengetahui “unit costs”. Juga literatur yang mendiskusikan kompetensi teknis yang spesifik akan pengukuran kinerja sangatlah terbatas, meskipun aspek ini telah disebutkan dalam berbagai literatur lama (Pressman and Wildsavsky 1973; Sabatier and Mazmanian 1979).

Kapasitas stakeholder (kapasitas politik) berkaitan dengan adanya dukungan untuk pengukuran kinerja (Jones and McCaffery 1997; Cope 1997). Tidak diragukan lagi bahwa reformasi manajemen membutuhkan dukungan dari manajemen puncak (top management). Dukungan dari para “elected officials” sangat penting karena akan membuka channel, dan memberikan legitimasi bagi segenap perubahan dan harapan kinerja baru, dan memberikan jaminan pendanaan akan upaya-upaya baru.

Pengukuran kinerja bukanlah “an end in itself”. Lantas, mengapa para manajer publik mengukur kinerja? Karena dengan beberapa ukuran akan membantu dalam pencapaian delapan tujuan manajerial. Pengukuran kinerja sangat penting untuk menilai derajat akuntabilitas pemerintah terhadap para stakeholder. Juga, pengukuran kinerja dianggap merupakan isu yang paling hangat dibicarakan dalam setiap level pemerintah saat ini. Fokus terhadap pengukuran kinerja merupakan gambaran tuntutan masyarakat akan bukti terkait dengan efektivitas program yang telah dibuat oleh pemerintah. Sistem monitoring kinerja mulai digunakan dalam formulasi anggaran dan alokasi sumber daya, motivasi pekerja, kontrak kinerja, peningkatan pelayanan pemerintah dan peningkatan komunikasi diantara masyarakat dan pemerintah. Sistem monitoring kinerja juga digunakan untuk tujuan akuntabilitas eksternal. pengukuran kinerja dapat dilakukan secara annual untuk meningkatkan akuntabilitas publik dan pembuatan keputusan kebijakan, atau dapat dilakukan sesering mungkin untuk meningkatkan manajemen dan efektivitas program.

The Governmental Accounting and Standards Board (GASB) mengatakan bahwa ukuran-ukuran kinerja dibutuhkan untuk menetapkan tujuan dan sasaran, merencanakan aktivitas program untuk mencapai tujuan tersebut, mengalokasikan sumber daya untuk program tersebut, memonitor dan mengevaluasi “result” untuk menentukan apakah ada kemajuan dalam mencapai tujuan dan sasaran yang telah ditetapkan sebelumnya, dan membentuk rencana program untuk meningkatkan kinerja (Hatry et.al 1990, dalam Behn, 2003).

David Ammons mengatakan bahwa pengukuran yang sophisticade akan undergird proses manajemen, memberikan informasi yang lebih baik menyangkut alokasi sumber daya, meningkatkan pengawasan dari legislatif, dan meningkatkan akuntabilitas. Menurut Osborne and Platrik dalam The Reinventor’s Fieldbook, pengukuran kinerja digunakan agar organisasi lebih akuntabel dan memberikan konsekuensi atas kinerja. Pengukuran akan membantu masyarakat dan customer untuk menilai “the value” yang dihasilkan oleh pemerintah bagi mereka. Pengukuran juga akan memberikan para manajer data yang dibutuhkannya untuk meningkatkan kinerja.

Menurut Robert Kravchuk, ada beberapa tujuan pengukuran kinerja. Tujuan tersebut meliputi: tujuan perencanaan, evaluasi, pembelajaran organisasi, mendorong perbaikan usaha-usaha, pembuatan keputusan, alokasi sumber daya, kontrol, memfasilitasi devolusi kewenangan kepada tingkatan hirarki yang lebih rendah, dan membantu meningkatkan kinerja (Kravchuck and Schack 1996).

Mengukur kinerja dapat digunakan untuk beragam tujuan. Lebih lanjut, menurut Behn, individu yang berbeda memiliki tujuan yang berbeda. Legislator memiliki tujuan yang berbeda dari jurnalils. Stakeholder memiliki tujuan yang berbeda pula dibandingkan dengan manajer publik. Sebagai bagian dari keseluruhan strategi manajemen, manajer publik dapat menggunakan ukuran-ukuran kinerja untuk mengevaluasi (evaluate), mengontrol (control), menganggarkan (budget), memotivasi (motivate), mempromosi (promote), selebrasi (celebrate), pembelajaran (learn), dan perbaikan (improve). Sayangnya, tidak ada satu ukuran kinerja yang tepat untuk kedelapan tujuan diatas. Konsekuensinya, para manajer publik tidak mencari satu ukuran kinerja yang tepat untuk kesemua tujuan diatas.

Menurut Robert Kravchuk, ada beberapa tujuan pengukuran kinerja. Tujuan tersebut meliputi: tujuan perencanaan, evaluasi, pembelajaran organisasi, mendorong perbaikan usaha-usaha, pembuatan keputusan, alokasi sumber daya, kontrol, memfasilitasi devolusi kewenangan kepada tingkatan hirarki yang lebih rendah, dan membantu meningkatkan kinerja (Kravchuck and Schack 1996). Menurut Behn, individu yang berbeda memiliki tujuan yang berbeda. Legislator memiliki tujuan yang berbeda dari jurnalils. Stakeholder memiliki tujuan yang berbeda pula dibandingkan dengan manajer publik. Sebagai bagian dari keseluruhan strategi manajemen, manajer publik dapat menggunakan ukuran-ukuran kinerja untuk mengevaluasi (evaluate), mengontrol (control), menganggarkan (budget), memotivasi (motivate), mempromosi (promote), selebrasi (celebrate), pembelajaran (learn), dan perbaikan (improve). Sayangnya, tidak ada satu ukuran kinerja yang tepat untuk kedelapan tujuan diatas. Konsekuensinya, para manajer publik tidak mencari satu ukuran kinerja yang tepat untuk kesemua tujuan diatas.

Kebanyakan kajian tentang pengukuran kinerja (performance measurement) mengulas tentang hal-hal seputar input, output, outcome, dan benchmark (Ammons 1995; 2001a; Berman 1998; Hatry et al. 1999; Heinrich and Lynn 2000; Kearney and Berman 1999; Sims 1998; Williams, Webb, and Philips 1991). Umumnya berbagai buku teks di atas mengajukan tesis bahwa pemerintah perlu merefleksikan kembali apakah dan bagaimana upayanya untuk mencapai sasaran-sasaran publik, bagaimana pemerintah dapat memanfaatkan risorsis yang ada demi kepentingan publik, dan bagaimana proses pemenuhan sasaran tersebut dilakukan dalam cara-cara yang lebih produktif (Williams, 2003).

Terkait dengan hal tersebut, maka pengukuran kinerja ada baiknya tidak hanya menekankan pada input, atau input dan output saja. Pengukuran kinerja juga harus berdasarkan pada outcome serta kepuasan masyarakat. Terkadang pengukuran kinerja dianggap sebagai alat mengukur produktifitas, yang bertujuan untuk mendapatkan efek terbaik dengan sumber daya yang tersedia. Terkadang pula, penekanan justru pada aspek akuntabilitas kepada publik, meyakinkan bahwa pemerintah memang berupaya memenuhi tuntutan dan keinginan publik.

Menurut Williams, ada empat hal yang perlu diperhatikan terkait dengan pengukuran. Pertama, pengukuran harus ditujukan untuk tujuan praktis, bukanlah sebagai “an end in itself”. Kedua, suatu sistem pengukuran yang efektif mensyaratkan adanya perhatian akan efisiensi dan efektivitas. Ketiga, pengukuran efisiensi membutuhkan perhatian tidak hanya kepada output atau outcome saja, tetapi juga input. Keempat, pengukuran muncul dalam sebuah konteks sosial dan politik, dimana baik konteks sosial maupun politik akan memungkinkan batas-batas pengukuran bagaimana pengukuran tersebut dapat dibangun. Para penganjur pengukuran kinerja hendaknya membangun dukungan politik demi keberlangsungan jangka panjang. Untuk menghindari salah-guna pelaporan kinerja, para pengguna hendaknya menyadari akan adanya hambatan-hambatan politis yang menentukan apa dan bagaimana informasi dilaporkan.

Tujuan Praktis Pengukuran

Biro tidak mengukur pemerintah sebagai “an end in itself”. Ia membantu pemerintah untuk melihat kedalam dirinya, sehingga diharapkan pemerintah dapat (1) akuntabel terkait dengan penggunaan sejumlah risorsis untuk memenuhi tujuan-tujuan publik (reporting); (2) mengalokasikan risorsis untuk tujuan-tujuan publik (budgeting); (3) menjadi lebih baik saat menggunakan risorsis untuk tujuan-tujuan publik (productivity improvement).

Berdasarkan “The Government Accounting Standards Board’s Web site”, informasi kinerja dibutuhkan untuk a) menetapkan tujuan (goal) dan sasaran (objective); b) merencanakan kegiatan program untuk mencapai tujuan dan sasaran tersebut; c) mengalokasikan risorsis untuk program; d) memonitor dan mengevaluasi hasil untuk menentukan apakah kemajuan yang dialami akan menuju kepada tercapainya tujuan dan sasaran tersebut, dan membentuk rencana-rencana program untuk meningkatkan kinerja (GASB, 2001).

Ada tiga macam pengukuran, yaitu penilaian kebutuhan (need assessment), pengukuran outcome (outcomes measurement), dan pengukuran produktivitas (productivity measurement). Namun dalam berbagai literatur terkini lebih menekankan pada pengukuran outcome, ketimbang pada need assessment dan productivity measurement.

Outcome merupakan sebuah konsep politik. Selain memberikan perhatian kepada outcome, manajemen juga memberikan perhatian kepada lembaga eksekutif, legislatif, dan publik. Pengukuran dampak (outcome) terkait dengan pencapaian sasaran-sasaran sosial. Pelaporan mengenai dampak harus dapat diakses oleh berbagai pihak dan hendaknya berkaitan dengan persoalan-persoalan yang menyangkut masyarakat pada umumnya.

Produktivitas, dilain pihak, merupakan sebuah konsep manajemen. Pengukuran produktivitas berkaitan dengan penggunaan risorsis untuk menghasilkan output langsung – yaitu produk dan jasa – dari setiap proses pemerintahan. Pengukuran produktivitas bisa saja dilakukan melalui sejumlah pelaporan, dimana pemahaman akan hal tersebut tidak begitu jelas bagi pihak-pihak di luar organisasi. Tentunya para partisipan politik juga memberikan perhatian pada produktivitas, tetapi tidak memberikan perhatian jangka panjang kepada produktivitas (Down and Larkey 1986). Produktivitas tentunya memiliki keterkaitan dengan outcome.

Sebuah organisasi yang produktif – yang secara efisien mengubah risorsis menjadi output – dapat dikatakan berkinerja buruk (lemah) jika output yang dihasilkannya tidak memberikan kontribusi bagi pencapaian sasaran-sasaran sosial yang bernilai. Hal ini menjadi pusat perbedaan di antara sektor publik dan swasta. Dalam sektor swasta, sejumlah output yang dinilai buruk adalah sesuatu yang tidak menguntungkan. Dan para manajer sektor publik tidak bisa sebebasnya mengubah output mereka, karena sesuai dengan sejumlah ekspektasi dari pejabat yang berada di atasnya. Dengan demikian, para manajer publik akan lebih suka mengukur produktivitas, atau bahkan akses kepada risorsis, ketimbang mengukur kinerja (Beresford, 2000).

Dimensi Strategi Bisnis

Strategi bisnis, kadang disebut strategi persaingan atau strategi saja adalah ditentukan oleh enam dimensi, keempat dari yang pertama mengupas tentang bisnis dan unsur pentingnya. Sedang dua unsur lainnya menunjukkan keberadaan bisnis dalam suatu sistem yang berkaitan dengan kesatuan bisnis yang lain.

Sebuah strategi bisnis mengandung spesifikasi dari sebuah faktor yang menentukan dari:

  1. Produk yang dipasarkan sebagai alat bersaing dalam suatu bisnis.
    Suatu bisnis dibatasi oleh hasil yang ditawarkan dan pilihan yang tidak akan ditawarkan ke pasar produk, serta usaha untuk menyediakan atau tidak menyediakan produk, dalam suatu persaingan bisnis dari suatu kesatuan yang mengikat.

  2. Tingkat investasi yang terjadi, dimana hal ini menyangkut :

    • Investasi untuk pertumbuhan
    • Investasi untuk mempertahankan posisi yang menguntungkan
    • Perolehan dana segar melalui minimisasi investasi
    • Perolehan uang kembali sebanyak mungkin dari aset yang ada apabila dilakukan likuidasi atau penarikan kembali modal yang disertakan.
  3. Strategi fungsional area yang dibutuhkan dalam persaingan.
    Hal ini meliputi langkah spesifik dalam bersaing diantaranya :

    • Strategi lini produk
    • Strategi posisioning
    • Strategi harga
    • Strategi distribusi
    • Strategi manufacturing
    • Strategi logistik
  4. Strategi dalam hal aset atau skil yang mendasari perolehan keunggulan kompetitif yang berkelanjutan (Sustainable Competitive Advantage [SCA]).

  5. Alokasi sumber daya ke dalam seluruh unit bisnis.
    Sumberdaya tersebut baik yang finansial maupun non-finansial, seperti pabrik, perlengkapan, tenaga kerja baik dari intern maupun ektern perusahaan.

  6. Pengembangan efektivitas sinergi dalam bisnis sebagai upaya penciptaan nilai yang mendukung kemampuan bersaing

Keenam dimensi strategi tersebut dapat digabungkan menjadi 3 bagian penting sebagai berikut :

  1. Keputusan investasi produk yang dipasarkan yang meliputi produk-pasar dari lingkungan strategi bisnis, intensitas investasi (uang), dan menetapkan sumber dari bermacam-macam bisnis.

  2. Langkah strategis dari fungsional area.

  3. Dasar untuk keunggulan kompetitif yang berkelanjutan untuk bersaing di pasar; hal ini meliputi aset, kecakapan, dan sinergi yang tepat dari dengan strategi fungsional area.

Strategi diferensiasi adalah suatu usaha di mana suatu produk yang ditawarkan pada konsumen, dibedakan dari persaingan melalui perolehan nilai tertentu, bisa dari tampilannya (performance), kualitas, prestise, features, pelayanannya, reliabilitasnya atau juga dari konvingiensi produk. Seringkali diferensiasi diartikan sebagai penentuan harga yang lebih tinggi, karena biasanya akan berakibat membuat sikap kritis konsumen terhadap harga berkurang.

Sebaliknya, strategi biaya rendah adalah suatu usaha yang didasarkan pada pencapaian keunggulan biaya yang berkelanjutan pada beberapa elemen penting dari produk. Kebanyakan posisi kepemimpinan biaya dapat diciptakan melalui luasnya pangsa pasar atau suatu keunggulan lain seperti kekuatan hubungan

Referensi

Penggunaan sistem pengukuran kinerja organisasi dalam perusahaan menurut survey banyak yang menerapkan sistem MOV utnuk sebagai alternatid yang memudahaka jalannya suatu proses organisasi bisnis tersebut berjalan lancar.

Didalam mengembangkan Measurable Organizational Value terutama sebagai alternatif penggunaan ROI (Return of Investment). Tidak seperti ROI, yang mengevaluasi keberhasilan sebuah proyek dengan membandingkan keuntungannya dengan biayanya, MOV mengukur keberhasilan atau kegagalan sebuah proyek dalam hal dampak yang diinginkan proyek, yang dapat dinyatakan dalam persyaratan finansial atau non finansial.

Setiap MOV adalah ukuran yang disepakati dan diverifikasi yang mencerminkan nilai hasil proyek berdasarkan tujuan organisasi. Misalnya, dampak yang diinginkan proyek mungkin untuk menembus pasar baru, memberikan layanan pelanggan yang lebih efisien atau meningkatkan margin produk. Dengan menggunakan MOV, sebuah organisasi dapat memastikan proyek memaksimalkan penggunaan sumber daya perusahaan untuk menghasilkan manfaat strategis, pelanggan, operasional, sosial atau finansial.

Mendefinisikan MOV (measurable organisational value)

Proyek teknologi informasi yang berjalan harus sesuai dengan & mendukung visi, misi dan tujuan organisasi.
Syarat MOV haruslah : dapat diukur, mempunyai nilai bagi organisasi, disetujui, dapat diverifikasi

Bagaimana proses untuk menyusun MOV :

  • Pertama : Identifikasi area pengaruh yang diinginkan. Terdapat beberapa area yang berpotensi antara lain strategi, customer, finansial, operasional, atau sosial

  • Kedua : Identifikasi nilai yang diinginkan bagi organiasi, apakah ia lebih baik (meningkatkan kualitas atau efektivitas), lebih cepat (meningkatkan kecepatan atau mengurangi waktu siklus), lebih murah (mengurangi biaya), melakukan lebih (perkembangan atau ekspansi).

  • Ketiga : Menentukan metric / ukuran yang tepat apakah akan bertambah atau berkurang (dalam satuan uang, persentase, atau angka numerik)

  • Keempat : Menentukan target waktu untuk mencapai MOV

  • Kelima : Verifikasi dan mendapatkan persetujuan dari stakeholder proyek karena PM dan tim proyek hanya dapat memandu proses ini.

  • Keenam : Meringkas MOV dalam statement atau tabel yang jelas misal : Proyek ini akan memberikan 20% Return on Investment 500 pelanggan baru dalam tahun pertamanya beroperasi

Suatu hal yang pasti apabila pertanggungjawaban suatu organisasi akan diambil ketika sebuah proyek gagal dalam menyampaikan masalah yang sulit dalam bisnis. Akibatnya, beberapa perusahaan mungkin memberikan bonus tunai kepada karyawan meskipun mereka gagal untuk mencapai tujuan. Motivasi di balik rencana bonus ini mungkin bukan altruisme, melainkan kurangnya nilai organisasi terukur yang terdefinisi dengan baik yang menentukan kapan tujuan tercapai dan kapan tidak.

Nilai Organisasi Terukur

Jack Marchewk, seorang profesor sistem informasi manajemen di Northern Illinois University, mengembangkan metode nilai organisasi terukur terutama sebagai alternatif untuk penggunaan laba atas investasi. Tidak seperti ROI, yang mengevaluasi keberhasilan sebuah proyek dengan membandingkan keuntungannya dengan biayanya, MOV mengukur keberhasilan atau kegagalan sebuah proyek dalam hal dampak yang diinginkan proyek, yang dapat dinyatakan dalam persyaratan finansial atau non finansial. Setiap MOV adalah ukuran yang disepakati dan diverifikasi yang mencerminkan nilai hasil proyek berdasarkan tujuan organisasi. Misalnya, dampak yang diinginkan proyek mungkin untuk menembus pasar baru, memberikan layanan pelanggan yang lebih efisien atau meningkatkan margin produk. Dengan menggunakan MOV, sebuah organisasi dapat memastikan proyek memaksimalkan penggunaan sumber daya perusahaan untuk menghasilkan manfaat strategis, pelanggan, operasional, sosial atau finansial.

Kriteria Nilai Organisasi Terukur

Setiap keputusan proyek harus dibuat setelah mempertimbangkan pengaruhnya terhadap nilai organisasi yang dapat diverifikasi dan terukur. Misalnya, jika penambahan fitur situs web baru sedang dipertimbangkan, sebaiknya ditambahkan hanya jika fitur tersebut meningkatkan nilai organisasi terukur. Pembuat keputusan mungkin bertanya apakah fitur tersebut meningkatkan pengalaman pengguna. Dia mungkin juga mempertimbangkan apakah fitur tersebut meningkatkan efisiensi penggunaan situs atau mengurangi biaya pembaruan katalog situs web. Setiap keputusan proyek harus membuat produk akhir lebih baik, lebih cepat, lebih murah atau lebih fungsional.

Menambahkan Nilai

Tidak seperti mengevaluasi sebuah proyek berdasarkan perkiraan pengembalian investasi, nilai organisasi terukur digunakan untuk mengevaluasi sebuah proyek dalam hal nilai bisnisnya. Misalnya, fitur yang meningkatkan katalog produk yang membuat pembelian pelanggan lebih efisien dapat menyebabkan peningkatan pendapatan. Selain itu, jika fitur mengarah ke pertumbuhan pasar atau jumlah pelanggan yang lebih banyak, hal itu dapat menyebabkan peningkatan penjualan.

Datang ke Konsensus

Pemangku kepentingan harus menyetujui nilai organisasi yang terukur selama proses perencanaan proyek sehingga mereka dapat fokus pada hasil yang dibutuhkan selama siklus hidup proyek. Setiap pemangku kepentingan akan memiliki kepentingan dalam menetapkan satu atau lebih MOV yang paling sesuai dengan tujuannya. Misalnya, anggota tim teknis mungkin lebih suka mengatur beberapa MOV, memberi mereka kesempatan terbaik untuk menyelesaikan semua persyaratan produk akhir. Pada gilirannya, pemangku kepentingan yang mewakili fungsi bisnis dapat memilih lebih banyak MOV untuk mencapai sebanyak mungkin tujuan bisnis. Misalnya, pemangku kepentingan bisnis menginginkan sebuah proyek meningkatkan keuntungan, memperbaiki rantai pasokan dan menurunkan biaya operasional.

Verifikasi

Semua nilai organisasi terukur harus dapat diverifikasi. Jika kegiatan proyek berkontribusi terhadap hasil yang diinginkan, atau manfaat yang disepakati, proyek dianggap berhasil. Tim memverifikasi MOV pada kesimpulan proyek dan, pada saat itu, mengklasifikasikan proyek tersebut sebagai keberhasilan atau kegagalan.

Referensi :