Salat Spiritual Dan Salat Formal

Taman Surga

Rasulullah Saw. duduk bersama para shahabat. Beberapa orang kafir datang dan mulai berkata serta menggurui mereka. Nabi hanya berkata:

“Baiklah, kalian semua sudah sepakat bahwa ada satu orang di dunia ini yang menerima wahyu. Wahyu diturunkan kepadanya dan bukan pada yang lain. Orang itu memiliki tanda dan isyarat khusus dalam setiap perbuatan, ucapan dan gerak-geriknya yang mungkin akan tampak dari anggota tubuhnya. Sekarang, saat kamu bersamanya, arahkan wajahmu pada orang itu dan berpeganglah kepadanya erat-erat agar dia bisa menjadi pelindungmu.”

Mereka (orang-orang kafir) bingung dengan pernyataan Nabi dan tidak bisa berkata apa-apa. Mereka pun mengepalkan tangan, menggenggam pedang dan terus menghina, mencela dan menyakiti para shahabat. Rasulullah Saw. bersabda:

“Bersabarlah agar mereka tidak bisa berkata bahwa mereka sudah mampu mengalahkan kita. Mereka ingin membuat agama ini terwujud dengan paksaan. Allah akan mewujudkan agama ini.”

Untuk beberapa saat, para shahabat terus melaksanakan salat secara diam-diam dan menyebut nama Muhammad dalam hati. Tidak berselang lama, turunlah wahyu:

“Kalian juga, hunuskan pedang dan berperanglah!”

Julukan sebagai ‘Ummi’ yang disematkan kepada Rasulullah Saw. tidak berarti bahwa beliau tidak bisa menulis dan tidak memiliki pengetahuan. Rasulullah dipanggil demikian karena tulisan, segala pengetahuan, dan hikmah sudah menjadi fitrah beliau. Dengan kata lain, semua itu lahir bersamaan dengan lahirnya beliau dari rahim ibu Aminah, dan bukan dengan jalan usaha.

Mungkinkah orang yang menorehkan sifat-sifatnya di wajah rembulan tidak bisa menulis? Apa yang tidak dia ketahui di dunia ini, ketika semua orang belajar darinya? Adakah sesuatu yang dimiliki oleh akal parsial namun tidak dimiliki oleh akal universal? Akal parsial tidak akan mampu menciptakan sesuatu yang belum pernah dilihatnya. Segala jenis karya manusia bukanlah sebuah karya yang baru, mereka sudah melihat yang serupa sebelumnya lalu menirunya. Akal universallah yang menciptakan hal-hal baru itu. Akal parsial siap belajar dan membutuhkan pendidikan. Sementara akal universal adalah pendidik yang tidak membutuhkan pendidikan. Oleh karena itu, jika kamu amati dengan perenungan seksama setiap profesi dan pekerjaan, akan kamu dapati bahwa asal dari semuanya adalah wahyu. Manusia sudah mempelajarinya dari akal universal, yakni para Nabi.

Terdapat hikayat seekor burung gagak. Setelah Qabil membunuh Habil dan tidak tahu apa yang harus dia lakukan selanjutnya, ia melihat seekor burung gagak yang membunuh gagak lainnya lalu menggali tanah dan mengubur bangkai itu dan menutupi kepalanya dengan tanah. Dari gagak itu, Qabil belajar bagaimana menggali kuburan dan menguburkan orang yang mati. Demikian pula dengan pekerjaan-pekerjaan lainnya. Setiap orang yang memiliki akal parsial butuh belajar, dan akal universal adalah sumber yang mereka cari. Para Nabi dan para wali telah menyatukan akal parsial dengan akal universal sehingga keduanya menjadi satu.

Sebagai contoh, tangan, kaki, mata, telinga dan pancaindra lainnya bisa belajar dari akal dan hati. Kaki belajar dari akal bagaimana ia berjalan, tangan belajar dari akal dan hati bagaimana ia memegang, mata dan telinga belajar melihat dan mendengar. Jika hati dan akal tidak pernah ada, bagaimana seluruh pancaindra bisa bekerja dan beraktivitas?

Materi tubuh kita ini kasar jika dibandingkan dengan hati dan akal yang sama-sama tipis. Karenanya, yang bermateri kasar akan tegak di atas yang tipis. Meskipun tubuh memiliki unsur kelembutan dan keindahan, itu karena ia bersandar pada sesuatu yang tipis. Tanpanya, jasad akan menjadi rusak, tebal dan buruk. Begitu juga dengan akal parsial jika dibandingkan dengan akal universal. Akal parsial belajar dan mengambil manfaat dari akal universal, dan di hadapannya, ia tampak kasar dan tebal.

Seseorang berkata:

“Ingatlah kami dalam niatmu karena niat adalah akar materi. Jika di sana tidak ada percakapan, maka biarkan tetap demikian karena percakapan hanyalah cabang.”

Maulana Rumi berkata:

“Benar, pertama-tama niat ini berada di alam arwah sebelum ia pindah ke alam jasmani. Jadi, jika ia didatangkan bersama kita ke alam jasmani tanpa membawa maslahat, maka itu hal yang mustahil, sebab perkataan memiliki pekerjaan yang diliputi oleh banyak kemanfaatan.”

Jika kamu menanam biji buah aprikot, maka ia tak akan tumbuh. Tapi jika kamu menanam dengan kulitnya, niscaya ia akan tumbuh. Dari sini kita tahu bahwa bentuk juga punya fungsi. Salat juga merupakan pekerjaan hati: “Tidak ada salat tanpa kehadiran hati.” Meski pekerjaan hati itu penting, tapi kamu juga harus menghadirkan bentuknya dengan melakukan rukuk dan sujud. Dengan semua itu, kamu akan mendapatkan keuntungan dan bisa mencapai tujuanmu.

“Mereka yang tetap mengerjakan salatnya.” (QS. al-Ma’arij: 23)

Ayat di atas menjelaskan tentang salatnya hati. Karena shalatnya raga terbatas oleh waktu dan tidak berlangsung selamanya. Jasmani adalah pantai, sebuah tanah basah yang terbatas dan terukur. Jadi, tidak ada salat yang abadi selain salatnya hati. Hari juga punya gerakan rukuk dan sujud,namun bentuk rukuk dan sujud harus ditampakkan dalam bentuk yang konkret. Karena setiap makna selalu melekat pada bentuk, maka salat kita tidak akan ada manfaatnya jika keduanya tidak ada.

Ketika kamu berkata:

“Sesungguhnya bentuk adalah cabang dari makna. Bentuk adalah rakyat, sedangkan hati adalah rajanya,”

Ini hanyalah penyebutan istilah-istilah nisbi dan subjektif saja. Di saat kamu berkata: “Benda ini adalah cabang dari benda itu,” sementara cabang itu sendiri tidak ada, maka bagaimana kita akan menyematkan predikat asal kepada yang lainnya? Sesuatu bisa dikatakan asal karena adanya cabang. Jika cabang tidak tercipta, maka tidak akan ada predikat apa pun di sana. Ketika kamu menyebut ‘perempuan,’ maka harus ada ‘laki-laki.’ Ketika kamu menyebut ‘Yang Maha Mengatur,’ maka harus ada yang di atur. Ketika kamu memanggil “hakim,” maka kamu harus menemukan orang yang dihakimi.

Sumber : Jalaluddin Rumi, 2014, Fihi Ma Fihi, F Forum