Salah Siapa Sebenarnya?

Malam ini terasa begitu dingin, seperti biasa ku buka laptopku untuk mengerjakan beberapa hal. “Huft, lelah sekali rasanya dari pagi hingga malam bekerja di depan monitor”, keluhku dalam hati. “Aaahhh… harusnya kau bersyukur Rif, masih bisa bekerja di tengah pandemic ini, apa kau tak melihat bagaimana orang-orang di luar sana yang sama sekali terhenti pekerjaannya atau bahkan harus mempertaruhkan nyawanya untuk sesuap nasi di esok hari?”, gumamku segera menampik keluhanku. Yaa… benar aku harus terus bersyukur dan sudah seharusnya bersyukur.

Tak terasa sudah pukul 21.00 WIB, Alhamdulillah sudah selesai, ku tutup laptopku, dan kurapikan berkas-berkas di mejaku.

“Rif, sudah malam. Ayo istirahat,” suara lembut nan merdu di balik tirai itu tiba-tiba mengagetkanku. Dia lah Ibuku. “Iya sebentar bu,” jawabku. Ketika ingin beranjak dari tempat dudukku, tiba-tiba terlintas dalam pikiranku sebuah pertanyaan, yang akhirnya membuatku duduk kembali dan termenung untuk beberapa saat.

“Pak, sebenarnya bagaimana kita bisa memahami sifat egois itu?”, ucap muridku kala itu.

Tentu saja aku telah menjawabnya, dan aku masih ingat betul apa yang aku katakan pada muridku itu.

“Kamu pasti sudah paham kan arti dari egois itu?” tanyaku balik padanya. “Tentu pak, egois itu mengandung arti memikirkan diri sendiri tanpa mempedulikan orang lain.” Jawabnya.

“Yaa… secara arti egois berarti hanya mementingkan diri sendiri. Dia tidak peduli dengan orang-orang di sekitarnya, bahkan terhadap dirinya sendiri,” jawabku.

“Haa, bagaimana bisa pak mementingkan diri sendiri tapi juga tidak peduli dengan dirinya sendiri?” ucapnya dengan wajah kebingungan.

“Banyak sekali sikap egois di sekitar kita yang seolah-olah memberikan kerugian besar untuk orang lain di sekitarnya. Tapi sebenarnya kerugian terbesar itu untuk dirinya sendiri. Contohnya, anak-anak muda usia SMP-SMA bahkan usia remaja sebaya anak kuliahan yang suka duduk-duduk alias nongkrong di warung. Hampir setiap malamnya, dilalui dan dihabiskan untuk sekedar berkumpul bersama (yang katanya sih teman, padahal mereka sendiri belum tentu memahami arti teman yang sebenarnya) ditemani dengan secangkir kopi (biasanya) atau minuman kekinian dan makanan ringan.

“Apa sih sebenarnya yang mereka lakukan? Apa sih yang mereka bincangkan? Apa mereka tahu tujuan mereka sebenarnya? Jangan-jangan mereka belum tahu tujuan hidupnya sehingga habislah masa muda yang notabene masa paling istimewalah, masa paling indah lah, tidak akan diulang 2x dan lain sebagainya… kebanyakan mereka pastinya ngobrol-ngobrol perkara yang tidak jelas arah pembicaraannya dan cenderung tidak membahas masa depan, (jadi ingat sebuah pepatah; small minds discuss people, average minds discuss events, great minds discuss ideas).

“Kemudian, mereka yang suka merokok, asapnya sangat berbahaya untuk orang lain, tentu saja untuk dirinya sendiri. Lalu bagaimana jika asap itu terhisap oleh keluarganya? Bukankah double rugi orang itu. Lalu, orang-orang yang bekerja keras untuk meraih mimpinya tapi lupa menjaga pola hidupnya. Sekilas Nampak bahwa apa yang dilakukan adalah hal positif tetapi lupa menjaga tubuhnya, maka sama saja akan merugikan diri sendiri. Selain itu, di masa-masa pandemic ini pasti juga banyak sekali egoisme yang nampak, seperti menebarkan penyakit tanpa disadari, menimbun karena panic buying dan masih banyak lagi. Masih banyak sekali sebenarnya jika membahas satu contoh bentuk egois yang ini, belum contoh-contoh empiris dari egois yang lainnya”. Jawabku padanya.

“Hmmm, berarti semua orang itu pernah egois dong pak? Lalu salah siapa?”, ucapnya menimpali jawabanku.

“Saya berpikir bahwa semua orang, kita pada suatu saat atau suatu waktu secara sadar ataupun tidak pasti pernah egois. Akan tetapi, seberapa besar porsi ego kita dan bagaimana cara mengatasinya, kita harus selalu belajar, Sin. Tidak perlu mencari siapa yang salah, tapi saling mengingatkan dan intropeksi diri”. Jawabku mengakhiri pembicaraan itu.

Aaahhh aku jadi teringat perkataan kakek saat aku kecil dulu. “Rif, apa kamu tahu perbedaan orang zaman sekarang dengan zaman dulu?”. Tanya kakek sambil menatapku. “Tentu saja zaman sekarang lebih maju dan lebih modern daripada zaman dulu kek, zaman sekarang banyak kemudahan yang kita dapatkan” jawabku.

“Benar Rif, tapi lebih dari itu. Kakek merasakan bahwa zaman sekarang manusia semakin kehilangan rasa tanggung jawabnya. Mereka tidak menyadari bahwa hidup ini bukan untuk diri sendiri, tapi mempunyai tanggung jawab terhadap orang lain, setidaknya jika tidak mampu memberi manfaat kepada orang lain, maka janganlah kita menyebabkan kerusakan”. Ucap kakek sambil mengelus rambutku.

Aaahhh, ingatan itu kini mengusik pikiranku, ku terdiam seribu bahasa tak berkutik sedikitpun. Mataku menatap tajam ke depan, mulai tenggelam dalam lamunan, mengingat seberapa banyak manfaat atau justru kerusakan yang telah ku lakukan. Aku sadar bahwa menebar manfaat ataukah kerusakan sama-sama memiliki tantangan. Yaa…setidaknya aku berpikir bahwa aku harus melakukan perubahan. Perubahan yang dimulai dari diriku sendiri dengan cara belajar berempati, merasakan diri menjadi orang lain, memperlakukan mereka seperti apa yang mereka inginkan, bukan seperti apa yang aku inginkan.

Intinya adalah berbuat dan bertindak yang tidak merugikan orang lain dan diri sendiri. Setidaknya jika belum bisa bermanfaat dan mencegah kerusakan yang disebabkan orang lain, kita tidak menyebabkan lebih banyak kerusakan. Wallahu a’lam bisshowab.

#LombaCeritaMini
#2.0
#dictiocommunity
#EgoismediSekitarKita
#CeritaDiRumahAja
#DiRumahAja