Bagaiaman sakralitas Lebaran untuk Nusa dan Bangsa Indonesia ?

lebaran

Entah dari mana asal usul katanya, istilah “lebaran” begitu populer di Indonesia. Setidaknya ada dua event besar terkait lebaran di negeri ini. Pertama, lebaran saat idul fitri. Kedua, lebaran saat idul adha.

Kedua event keagamaan ini sangat luar biasa. Sangat besar pengaruhnya terhadap kehidupan sosial, budaya, ekonomi, politik, dan tentu juga terhadap agama. Lebaran karenanya menjadi sangat sakral. Semuanya tak bisa melewatkannya begitu saja.

Secara historis dan ideologis, lebaran ini erat kaitannya dengan doktrin agama, yakni agama Islam. Seperti dimaklumi, sebagai agama samawi, yang merujuk pada agama hanifa Nabi Ibrahim AS, ummat Islam punya 5 (lima) rukun (kewajiban). Pertama, kesaksian (syahadah) tentang keesaan Allah SWT serta pengakuan akan kerasulan Muhammad SAW.

Kedua, kewajiban sholat wajib, minimal 5 kali dalam sehari. Ketiga, menjalankan ibadah puasa di bulan ramadhan. Keempat, mengeluarkan zakat, dan Kelima, melaksanakan ibadah haji (tentu saja point 4 dan 5 ini bagi yang mampu atau isthota’a).

Khusus event lebaran ini terkait perintah agama point ke-3 dan point ke-5. Dalam konteks ini, setelah ummat melaksanakan puasa sebulan penuh, mereka akan memasuki babak baru sebagai “hari kemenangan”, kembali menjadi suci. Inilah yang disebut idul fitri.

Ummat Islam yang mampu menjalankan ibadah puasa dengan baik, dia kembali menjadi suci, terbebas dari segala dosa.

Sementara yang terkait dengan point 5, pasca ibadah haji, ummat juga akan memperoleh kemenangan, idul adha.

Sesungguhnya, idul fitri dan idul adha bisa dirayakan masing-masing, di kediaman sendiri-sendiri. Nyatanya secara sosiologis kedua event tersebut berubah berkembang, memunculkan sebuah tradisi baru.

Saat lebaran, hampir semua orang mau kembali ke kampung halaman masing-masing, meski perjalanan yang harus ditempuh tidak dekat dan tidak mudah. Masyarakat rela mengeluarkan biaya yang tidak sedikit untuk itu. Tidak hanya itu, mereka pun rela bercapek-capek untuk melengkapi proses lebaran ini, menempuh perjalanan yang panjang.

Memang, event lebaran yang disertai pulang kampung ini memiliki rentetan acara yang multi kompleks. Selain untuk silaturahim dengan keluarga, tetangga sejak kecil, juga sekaligus mengenang kehidupan kampung yang penuh pesona. Ada makanan khas yang tak ada di kota, permainan khas, kekarabatan yang khas, serta pesona desa yang tak didapat di kota.

Jika ada orang bertahan di kota saat lebaran, sesungguhnya ia akan mrnjafi orang teraniaya. Makan masak sendiri, minum rebus sendiri, pakaian cuci sendiri dan keseharian yang sepi sendiri.

Saat lebaran, kota-kota besar di mana pun akan serba lengang dan sepi. Warung, cafe, toko, dan bahkan mall pun terbatas jam operasionalnya. Beberapa di antaranya malah tutup sama sekali. Pedagang kaki lima pun ikut-ikutan libur. Mereka pun memilih pulang kampung dengan segala cara.

Lebaran akhirnya menjadi moment yang sakral. Siapa yang tidak pulang kampung saat lrbaran, khususnya di idul fitri, sepertinya dia kurang afdhol merayakannya. Tak hanya itu, dia bisa saja di cap telah ber"dosa" karena tidak sowan sama keluarga, khususnya orang tuanya, dan para tetangganya serta kerabatnya.

Sakralitas lebaran telah mengkonstruksi masyarakat nusantara. Seberapa jauh pemahaman ini juga dimaknai dengan nilai yang sama oleh ummat Islam lainnya di berbagai penjuru dunia, nampaknya valuenya ada perbedaan.

Ini tentu menjadi kajian menarik. Sebab dalam persfektif remiten pun berpengaruh. Dampak lebaran ternyata membuat distribusi perekonomian sangat luar biasa. Semangat kekerabatan ummat pun juga demikian.

Persoalannya adakah dampak lebaran ini terhadap peningkatan kualitas SDM nusantara yang selama ini masih buruk. Juga terhadap etos kerja, daya saing, dan HDI bangsa. Nampaknya ini hal yang harus diapresiasi oleh semua kalangan, agar event lebaran positif secara simultan terhadap kehidupan masyarakat luas, bangsa dan negara. Wallahu’alam bissawab …!!!

Lebaran merupakan suatu momen yang ditunggu-tunggu oleh hampir seluruh masyarakat Indonesia, terutama budaya “mudik” ke kampung halaman. Momen lebaran menjadi ajang berkumpulnya seluruh keluarga besar yang biasanya terpisah oleh jarak dan waktu. Segala “dahaga” kerinduan yang selama ini terpendam terpuaskan dengan berkumpulnya seluruh keluarga besar di tempat yang sama.

Bersyukur bangsa ini mempunyai budaya lebaran, yang mana, tidak semua umat muslim di dunia mempunyai budaya lebaran seperti di Indonesia.

Budaya lebaran sendiri, di Indonesia, sudah bukan menjadi budaya “eksklusif” umat Islam di Indoensia, tetapi sudah menjadi budaya masyarakat Indonesia. Hal ini terlihat begitu banyaknya masyarakat non muslim pun yang ikut “merayakannya” dengan berkumpul bersama keluarga besar dan teman-teman di kampung halaman.

Suasana “kebersamaan” begitu kental terasa hampir diseluruh pelosok Indonesia, dimana budaya “kebersamaan” itu sudah mulai luntur di hari-hari biasa. Hal itu terjadi karena gempuran budaya “egoistik” yang merasuk jiwa masyarakat Indonesia.

Semoga budaya lebaran ini tidak luntur untuk masa-masa yang akan datang, seperti lunturnya budaya bangsa Indonesia lainnya…

Selamat ber-lebaran, selamat berbahagia menikmati budaya bangsa yang tersisa…

Lebaran merupakan sebuah budaya Indonesia yang sangat luar biasa, tidak ada budaya lebaran selain di Indonesia. Beberapa kali saya merayakan lebaran di luar negeri, semuanya terasa hambar bila dibandingkan dengan suasana lebaran di Indonesia. Setelah selesai sholat Id, mereka bersalaman di masjid. Setelah itu selesai. Bandingkan dengan di Indonesia, dimana suasana lebaran bisa terasa lebih dari 1 minggu sesudah sholat Idul fitri.

Bangsa Indonesia merupakan negara dengan penduduk beragama Islam terbesar di Dunia, sehingga tidak mengherankan terdapat akulturasi budaya antara agam dengan budaya setempat. Salah satunya adalah perayaan Idul Fitri, mulai dari mudik, halal bihalal hingga kupatan.

Berikut adalah momen lebaran di Indonesia jaman dulu

Beberapa orang tampak meramaikan suasana lebaran di rumah Bupati Bandung, tahun 1932.

Anak-anak turun ke lapangan dengan baju cerah saat perayan lebaran di Garut, tahun 1935.

Sejumlah pria mengenakan kopiah saat suasana lebaran di Garut, yang jatuh di akhir tahun 1935.

Potret salat Idul Fitri di sebuah lapangan di Bangkinang, Kampar, Riau sekitar tahun 1930.

Sejumlah orang merayakan hari raya lebaran dengan menabuh rebana di Muara Manderas, Jambi, sekitar tahun 1912.

Beberapa orang menikmati hari lebaran di Pantai Pangandaran, tahun 1929.

Berfoto bersama di malam hari, menandai masuknya bulan Syawal di Lebong, Bengkulu, tahun 1936.

Berfoto studio menyambut hari raya Idul Fitri, di Kota Palembang, yang jatuh pada tanggal 17 Juni 1920.

Tradisi melepas balon udara dan memotong lupis raksasa di Kota Pekalongan 7 hari setelah Lebaran.