Ruang Privasi Menjadi Konsumsi Publik di Sosial Media, Benarkah Demikian?

Sudah tidak asing lagi bahwa media sosial saat ini menjadi alat penghubung sosial yang sangat penting baik untuk kegiatan sehari-hari ataupun pembelajaran dan pekerjaan.

Dikutip dari media.uad (2020) Masyarakat kini sudah bermigrasi ke dunia digital. Mayoritas penggunanya dari kalangan pelajar dan mahasiswa. Berdasarkan survei dari Asosiasi Penyelenggara Jasa Internet Indonesia (APJII), sebanyak 95,1% pengguna internet menginstal aplikasi media sosial pada gawainya,” terang Dhani Fadhillah, M.A. selaku dosen Program Studi (Prodi) Ilmu Komunikasi, Universitas Ahmad Dahlan (UAD) saat menjadi narasumber di seminar nasional daring “Bijak dalam Bermedia Sosial di Era Digital. pada Sabtu, (10-10-2020).

Akan tetapi kehadiran media sosial menyebabkan ruang privat seseorang menjadi melebur dengan publik, yang menjadikan diri kita suatu konsumsi bagi publik. Dimana seringkali hal tersebut bukan hal yang baik dan tidak berdampak baik.

Dikutip dari Ayun (2015) Para remaja cukup terbuka di media sosial dalam menunjukkan identitas mereka. Hal ini ditunjukkan dengan keterbukaan diri mereka melalui keinginan mereka untuk eksis dengan mengupload kegiatan yang sedang mereka lakukan (baik melalui foto ataupun status) dan mengungkapkan permasalahan pribadi di media sosial, dalam bentuk tersirat.

Kita ambil contoh kasus Adhisty Zara yang menggunggah video ciuman di media sosialnya. Hal tersebut menjadi dampak negatif terhadap pribadi dan karirnya.

Menurut kalian apakah benar media sosial membuat privasi seseorang menjadi konsumsi publik? Bagaimana opini kalian dalam menyikapi fenomena tersebut?

Referensi
  1. (PDF) Fenomena Remaja Menggunakan Media Sosial dalam Membentuk Identitas | Nur Rochim - Academia.edu
  2. Pentingnya Privasi Individu di Tengah Pusaran Media Digital - News Portal of Universitas Ahmad Dahlan

Media media sosial yang dimanfaatkan sebagai sarana pergaulan sosial secara online di internet. Di media sosial, para penggunanya dapat saling berkomunikasi, berinteraksi, berbagi, networking, dan berbagai kegiatan lainnya dengan para pengikutnya.

Memang benar bahwa media sosial adalah ajang pertunjukan eksistensi diri, tetapi kita tidak bisa menyebut media sosial adalah “ruang privasi”. Kembali pada pengertian dan tujan dibuatnya media sosial adalah untuk saling berkomunikasi dan berbagi dengan publik. Sebaiknya, sebelum menggunakan media sosial kita harus mengerti betul bahwa kita bertanggung jawab sepenuhnya terhadap apa yang kita unggah.

Contoh kasus Zara sebaiknya kita jadikan pelajaran untuk bijak dalam menggunakan media sosial. Banyak hal yang tidak bisa kita unggah di sana dan juga, apa yang terlihat di media sosial belum tentu sama dengan yang di kehidupan nyata.

Maksud saya disini adalah, media sosial menyebabkan ruang privasi kita melebur dengan publik. Karena fenomenanya banyak orang mengunggah hal-hal pribadi mereka ke media sosial.

Saya setuju dengan statement aulia mengenai

Sebaiknya, sebelum menggunakan media sosial kita harus mengerti betul bahwa kita bertanggung jawab sepenuhnya terhadap apa yang kita unggah.

Akan tetapi faktanya masih banyak orang yang belum berfikiran seperti itu. Bahkan banyak anak dibawah umur pun dibebaskan oleh orang tuanya untuk menggunakan sosial media.

Menurut Prasetyani (tanpa tahun) media sosial merupakan wadah bagi seorang individu untuk berinteraksi dengan pengguna lain dan menampilkan ‘keeksistensiannya’. Dengan adanya media sosial, terjadi perubahan perilaku di masyarakat akan menampilkan dirinya di berbagai platform media sosial. Entah dalam bentuk foto, video ataupun teks.

Kebutuhan penggunaan instagram akan meningkat diikuti dengan meningkatnya keinginan untuk mengeksistensikan diri. Hal ini juga berkaitan dengan bagaimana seseorang ingin menunjukkan citranya di media sosial. Setiap individu melakukan konstruksi atas mereka dengan cara menampilkan diri, guna memenuhi untuk memenuhi kebutuhan pengakuan sosial.

Summary

https://repository.usm.ac.id/files/journalmhs/G.311.11.0059-20190904052612.pdf#:~:text=Setelah melalukan analisis%2C dapat disimpulkan bahwa penggunaan Instagram,apa yang mampu dilakukan%2C dan bagaimana cara melakukannya.

Ahh baik, berarti fenomena tersebut merupakan bentuk perubahan perilaku masyarakat dalam memenuhi kebutuhan pengakuan sosialnya ya.

Jadi kalau menurut @auliaar09 perubahan perilaku tersebut dengan cara diekspresikan di media sosial. Dapat menyebabkan privasi kita menjadi konsumsi publik atau tidak ?

Saya setuju dengan pernyataan kak Aulia. Memang tidak tepat jika kita menganggap media sosial sebagai sebagai ruang privasi bagi seseorang, karena memang hakikatnya media sosial adalah ruang terbuka yang dapat diakses oleh siapapun. Oleh karena itu, sebaiknya kita lebih bijak dalam memanfaatkan sosial media ini. Kita sebaiknya tidak perlu terlalu mengumbar kehidupan pribadi kita di media sosial, terutama ketika kita sedang ada masalah. Kita juga sebaiknya tidak mengumbar informasi seperti kontak pribadi dan alamat di media sosial. Kita hanya perlu menggunakan sosial media sebagai tempat berbagi informasi umum dengan pengguna lainnya. Misal saja berkenalan dengan orang-orang yang bekerja di bidang yang sama atau memiliki hobi yang sama.

Saya setuju dengan tanggapan bahwa kita harus bijak di media sosial, walaupun saya beranggapan masih banyak yang belum bijak dalam bersosial media. Akan tetapi itu solusi terbaik dalam menjaga ruang privasi. Salah satu harapan saya bagi pembaca juga supaya untuk lebih bijak lagi dalam bersosial media.

Akan tetapi esensi pertanyaan saya disini, menurut kalian benar apa tidak bahwa media sosial menjadikan ruang privasi atau kehidupan pribadi kita, menjadi konsumsi bagi publik?

Soalnya ketika saya tanyakan disekitar saya, masih banyak yang menjawab seperti.

  • Memang kenapa kalau jadi konsumsi publik ?
  • Ya betul, karna itu udah jadi hal wajar sih sekarang apa-apa jadi konsumsi publik.
  • Ya betul tapi gpp sih jadi konsumsi publik, karena saya memang senang membagikannya.
  • Tidak benar, tergantung ke pribadi masing-masing penggunaan media sosialnya.

Kalau saya ilustrasikan.
Sewajarnya apa yang kita makan setiap hari, pakaian apa yang kita kenakan setiap hari, atau perasaan apa yang kita rasakan saat ini itu merupakan ruang lingkup privasi kita. Akan tetapi akibat perubahan perilaku masyarakat, fenomena yang terjadi, kita menjadi gemar membagikan hal-hal pribadi kita baik dalam skala normal bahkan hingga ekstrim. Khususnya dikalangan remaja.

Saya memiliki cerita yang menurut saya sangat mengerikan, dampak dari kehidupan pribadi yang menjadi konsumsi bagi publik. Saya punya kenalan yang memiliki ketertarikan sex yang menyimpang terhadap remaja dan anak dibawah umur. Dan dia sangat gemar melihat daily vlog atau foto-foto yang di unggah oleh anak atau remaja tersebut.

Bukankah salah satu alasan selain ketidakbijakan dalam bersosial media, adalah media sosial sendiri yang menjembatani atau memberi akses bagi publik ?

Media sosial. Jika dilihat dari frasanya saja sebenarnya sudah bisa disimpulkan bahwa ia adalah media untuk bersosialisasi dengan manusia lainnya tanpa batasan ruang dan waktu. Ketika bersosialisasi, baik secara offline maupun online, kita memiliki hak untuk tidak menunjukkan privasi kita kepada orang lain. Begitu juga sebaliknya, orang lain pun memiliki hak untuk tidak menunjukkan privasi mereka kepada kita. Jadi, semua kendali ada pada diri kita masing-masing. Kalau kita sudah menunjukkan privasi kita di media sosial maka sah-sah saja kalau orang lain mengetahuinya, kita tidak bisa melarang atau menyalahkan mereka karena memang kita sendiri yang “memberikan akses”. Pun, kita tidak bisa menyalahkan media sosial karena mereka kan hanya “media”-nya saja, pemegang utama kendalinya ya tetap diri kita sendiri. Oleh karena itu, bijaklah dalam bermedia sosial, kalau sekiranya ada privasi kita yang tidak perlu/tidak boleh diketahui orang lain ya sebaiknya jangan disebarkan agar tidak terjadi kasus seperti Zara.

Sumber

http://www.unpas.ac.id/apa-itu-sosial-media/