Prosa: "Tamasya dengan Perahu Bugis" karya Zuber Usman

TAMASYA DENGAN PERAHU BUGIS

(Prosa: oleh Zuber Usman)

Setalah beberapa hari menunggu di Surabaya, maka dapatlah sebuah perahu yang akan berangkat ke Makassar, Intan Selebes namanya. Perahu itu tiada besar benar, kira-kira muatan 20 ton. Yang lebih besar dari itu dapat memuat 40 ton atau lebih.

Mulai keluar dari Selat Madura, perahu berlayar dengan tenang. Jika kita memandang ke sebelah kiri, pemandangan kita lepas ke daratan Pulau Jawa dan ke sebelah kanan, pemandangan kita tertumbuk ke pantai Pulau Madura. Di sana sini kelihatan kaki bukit yang keputih-putihan, tanah kapur yang tiada ditumbuhi tanam-tanaman. Kami berlayar antara dua pantai yang agak berlainan keadaannya. Gunung-gunung di pantai timur Pulau Jawa yang hijau dan lebih subur itu berdiri dengan tenang, seakan-akan memandang dengan sayu ke laut.

Sehari semalam lepas dari Gersik barulah kami masuk ke Laut Jawa. Belum jauh dari Selat Madura, ombak sudah mulai besar. Beberapa lamanya kami mendapat angin barat, perahu kami seakan-akan didorong dari belakang. Sepanjang jalan banyak kami berjumpa dengan sampan-sampan penangkap ikan atau perahu-perahu Madura yang berlayar dari tempat yang dekat-dekat. Saya berangkat dalam musim pancaroba atau musim pergantian angin barat dengan musim timur. Dalam musim yang semacam itu datang angin yang tiada tetap, antara sebentar berkisar. Maka kedengaranlah suara nakhkoda memberi perintah kepada anak buahnya untuk menukar letak layar, karena arah angin selalu berubah-ubah. Saya rasakan perahu amat oleng, selain ombak besar jalan perahu sudah mengambil haluan ke kanan kemudian ke kiri. Tak ubahnya sebagai jalan seekor ular yang berbelit-belit, berputar-putar di air. Jalan perahu semacam itu menggergaji namanya.

Sebenarnya berlayar dalam musim pancaroba itu kurang baik. Selain arah datang angin tiada tetap acapkali pula mati, tak berangin samasekali. Berjam-jam muka laut sebagai suatu kaca bundar yang maha luas rupanya. Kadang-kadang berhari-hari perahu tiada berjalan. Dalam keadaan yang semacam itulah acapkali orang mabuk laut. Perut kita seakan-akan diguncang dan dihentakkan oleh gerak perahu yang turun naik menurutkan ayunan alun. Udara rasanya amat panas.

Mulai bertolak dari Surabaya kami mendapati bulan terang. Pemandangan waktu bulan terang di laut berlainan dari bulan terang di darat. Kami berada di tengah-tengah warna yang biru semata. Sinar bintang yang bertaburan di langit atau cahaya bulan jatuh tertumpah ke muka air laut, lemah gemerlapan rupanya, bermain berayun-ayun di atas ombak.Pada hari yang ketujuh, pagi-pagi sekali, salah seorang anak perahu menunjuk kepada suatu bayangan dalam kabut pagi yang naik dari muka laut.

“Sudah sampaikah kita ke pantai Kalimantan?” tanyaku. Berhubung dengan keadaan angin, perahu kami mengambil haluan ke Kalimantan lebih dahulu.

“Belum, Saudara,” jawab anak perahu itu dengan tersenyum. “Kita baru berada dekat pulau Bawean”. Pulau itu belum berapa jauh dari pantai Pulau Jawa. Sudah hampir seminggu Intan Selebes belum mendapat angin dan apabila ada angin segera diiringi hujan.

Dalam hujan, layar tentu tak dapat dikembangkan karena besar bahayanya. Sebab itu, kami acapkali terpaksa berhenti di tengah laut. Lepas dari Pulau Bawean angin telah teduh pula. Berjam-jam perahu tinggal tenang tak beringsut-ingsut.

Sejak matahari terbit sampai ia terbenam kembali, kami harus menderita panas yang amat terik. Adakalanya juga angin berhembus sedikit-sedikit, tetapi tak kuasa menggerakkan tiang layar yang besar dan tinggi itu, melainkan menambah mabuk dan kesal, karena perahu kami hanya mengangguk ke muka, terhuyung ke kanan atau berputar ke kiri seperti tingkah seekor kerbau manja yang dambin.

Bila kita berada di tengah laut, perasaan persaudaraan lekas terjalin antara kita dan anak-anak perahu atau dengan penumpang yang lain. Selain dari saya hanya ada seorang penumpang. Kasihan teman itu, badannya lemah dan baru kali itu berlayar. Ia selalu berbaring dalam perahu karena penyakit kota yang diperolehnya dari Surabaya. Ketika saya tertegun memandang awan petang, nakhoda yang ramah itu berkata kepada saya: “Rupanya Saudara tiada sabar lagi, kami orang laut sudah biasa begini.” “Tidak juragan,” Jawabku melindungkan diri. “Saya takjub memandang keindahan senja itu. Agaknya seperti awan yang berarak itu pulalah perjalanan nasib manusia di dunia ini, dibawa untung dan takdir ke mana-mana.”

Sesungguhnya keadaan lautan dan matahari waktu itu memberikan suatu pemandangan yang sangat indah. Dari sebelah barat kelihatan awan berarak bergulung dalam warna merah yang menyala disepuh oleh sinar mambang petang. Akan tetapi, sayang pemandangan itu sebentar saja. Setelah bola langit yang berat itu tenggelam ke dalam laut di balik awan yang tergulung yang besusun-susun itu, hilang pulalah taman cahaya itu sedikit demi sedikit. Tak lama kemudian di sebelah barat daya tampak kabut putih naik menjulang dari tepi langit. Dari balik kabut itu bersinar kilat beberapa kali.

“Coba perhatikan Saudara! Mudah-mudahan tak lama lagi kita mendapat angin yang baik," kata seorang anak perahu kepada saya. Nakhoda pun memandang dengan minatnya ke jurusan itu, seraya menyuruh perbaiki pasang layar. Benarlah kira-kira seperempat jam kemudian, air laut mulai terasa beriak dan layar mulailah bergerak. Rupanya kabut putih yang naik mengepul di tepi langit yang ditunjukkan anak perahu itu, ialah bunga angin. Semalam-malam itu perahu kami tiada berhenti-hentinya.

Sore lusanya kami telah dapat melihat Pulau Maslembu dan Pulau Maskambing jauh di muka haluan kami, tak ubah rupanya sebagai dua ekor sapi hitam berbaring di atas padang rumput yang biru. Pulau Maslembu dan Maskambing berdekat-dekatan letaknya di tengah-tengah Lautan Jawa. Yang mendiami pulau-pulau itu ialah bangsa Bugis, Mandar, dan Madura; orang dari Jawa pun ada. Tentu mereka itu kaum pelaut belaka. Pulau-pulau itu menghasilkan kelapa. Di sana kami berhenti untuk mengambil air, ada kira-kira setengah hari lamanya. Sesudah mandi dengan air tawar di pulau itu, badan kami bertambah segar kembali: Dari tengah laut yang saya idamkan sekali, ialah seteguk air kelapa muda. Waktu kami kembali ke perahu, lepa-lepa (sekoci) kami sudah penuh dengan kelapa muda, pisang mentah, dan buah kedondong.

Lepas dari sana tak ada lagi tempat berhenti. Haluan kami mencari Pulau Laut. Kebetulan sesampai kami di Pulau Maslembu, dua buah perahu lain yang sama-sama berangkat dengan kami dari Gersik, sampai pula, yaitu Kamran dan Terang di Laut; Petah Karangrang, teman perahu kami juga, tak kelihatan . Kamran sesampai di Pulau Maslembu, dengan berani mengambil haluan memutus, hendak terus menuju Ujung Pandang (Makassar). Terang di Laut juga mengambil haluan Pulau Laut, sama dengan kami karena perahu itu kendak ke Balikpapan. Mulai berangkat dari Maslembu, sekalipun kami tiada keputusan angin, tetapi angin bertiup perlahan-lahan. Perahu kami hanya maju sedikit demi sedikit sebagai beringsut.

Kalau dibandingkan jauh lebih cepat Terang di Laut, sebab lunasnya dangkal dan bangun badannya lebih kecil daripada badan perahu kami; layarnya hanya sebuah, empat segi bentuknya. Bangun Terang di Laut itu serupa dengan perahu Madura, haluan dan buritannya sama besar dan melengkung seperti tanduk kerbau. Bangun perahu yang semacam itu dinamakan orang Bugis: finisik.

Akan tetapi, bila mendapat angin yng lebih keras, perahu kami tentu lebih cepat, sebab Intan Selebes mempunyai dua layar yang besar, layar sompek namanya (Bugis). Di atas layar sompek itu ada pula dua pasang layar yang lebih kecil, disebut layar tapsirek dan di haluan sekali ada lagi tiga buah layar kecil yang tiga segi bentuknya. Bila sekalian layar itu mendapat angin yang baik, rasanya kecepatannya tak berapa kalah oleh kapal biasa.

Sebelum ada kapal api, perahu layar orang Bugis telah menghubungkan seluruh kepulauan Indonesia. Juga telah menghubungkan Indonesia dengan tempat-tempat sekitarnya, dengan pantai-pantai Asia atau dengan pulau-pulau lain yang terletak antara Lautan Teduh dan Samudera Hindia, bahkan dengan tanah Arab dan Gujarat. Pada zaman itu perahu mereka itu tentu jauh lebih besar daripada sekarang. Akan tetapi, karena persaingan dengan kapal api, lama-kelamaan perahu-perahu itu hanya dipakai untuk menghubungkan pantai-pantai yang dekat di seluruh kepulauan Indonesia atau dengan tanah Malaya saja. Mereka tak perlu lagi membuat perahu atau kapal layar yang besar-besar. Tiang layarnya pun tak perlu setinggi dahulu lagi. Di pelabuhan atau di tengah laut dengan mudah orang dapat mengenali perahu Bugis di antara perahu-perahu yang lain. Bentuk haluan dan buritannya tiada sama, rendah ke muka dan tinggi ke belakang. Lunasnya dalam dan biasanya merupakan dua bahagian. Bila hari hujan, pintu yang menghubungkan bagian luar dan bahagian dalam dapat ditutupkan dengan mudah, sehingga air tak dapat masuk, maka perahu itu hanya merupakan sebuah kotak selodang yang besar terapung-apung di air. Tiada mudah tenggelam!

Tiga hari pelayaran dari Maslembu kami telah melihat Tanjung Selatan, amat jauh dan hilang-hilang timbul kelihatannya di sebelah kiri kami.

Dari jauh tampak puncak-puncak gunung di pantai Kalimantan itu sebagai pulau yang berdekat-dekatan karena lembahnya masih tersembunyi di balik permukaan laut. Dekat pantai Kalimantan itu banyak hujan turun. Ketika kami akan memasuki muara Selat Laut, turun pula hujan lebat. Sekiranya angin baik dan tak ada hujan, empat atau lima jam lagi atau malam itu juga , sampailah kami ke Kota Baru. Jurumudi dan nakhoda lalu bermufakat dalam bahasa Bugis, tetapi saya mengerti maksud mereka. Juru mudi mengatakan bila terpaksa pula membongkar sauh di tempat itu, niscaya kami tak dapat menahan dorongan arus yang amat deras mengalir dari dalam selat kecil itu. Ombak pun besar. Waktu senja merundung itu benar kami sampai dekat Pegatan. Hujan semakin hebat. Ketika angin membelok ke dalam sebuah teluk kecil di belakang muara itu, kedengaran bunyi berdesur sekuat-kuatnya di bawah lunas perahu. Untung dengan sigap anak-anak perahu dapat membuka tali layar dan meninggikan kedua belah kemudi. Rupanya kami terkandas ke atas gosong . Jurumudi tak dapat mengawasi gosong itu karena hujan dan kabut. Dalam hujan itu juga berjam-jam mereka bekerja keras mencoba mendorong perahu itu dengan galah atau menariknya dengan cara mengikat tali jangkar beberapa meter di muka perahu. Tali jangkar itulah mereka tarik bersama-sama, tetapi sia-sia saja.

Keesokan harinya tengah hari, setelah pasang naik, barulah kami terlepas dari gosong itu. Untunglah lunas tiada bocor. Lepas dari tempat itu, angin tiada berketentuan arah datangnya, serta acapkali pula mati. Kami berada dalam selat yang sempit.

Sepanjang Selat Laut itu banyak kami jumpai sampan-sampan pedongkang orang Bugis atau orang Mandar yang berkebun di kedua belah pantai itu, akan pulang atau pergi ke Kota Baru. Sepanjang Selat Laut atau di tempat-tempat lain di Kalimantan, perhubungan lalu lintas sebahagian besar di air. Orang-orang tani yang pergi atau pulang dari ladangnya atau akan membawa hasil ladangnya ke pasar, juga memakai lepa-lepa (sampan). Masih terbayang-bayang dalam ingatan saya, betapa kesederhanaan atau kenikmatan hidup orang tani yang pulang dari ladangnya. Lepa-lepanya penuh dengan hasil bumi yang akan dibawanya ke pasar. Pada satu dua sampan pedongkang saya lihat sang istri serta memegang dayung di haluan dan berkayuh sedikit-sedikit menolong layar yang tak seberapa mendapat tekanan angin. Sang suami memegang kemudi, sambil bernyanyi hilang-hilang timbul dalam percikan riak dan dalam getaran dayung mencecah ke air. Serta anak-anak mereka yang selalu ikut kian-kemari , duduk atau bermain-main di tumpukan pisang muda atau hasil ladang yang baru mereka petik.

Di Pulau Laut kami hanya sebentar berhenti. Rumah-rumah di sana kebanyakan didirikan di tepi air, bahkan ada kampung di tengah laut yang dangkal. Dari pulau itu juga dikeluarkan merica.

Di Pulau Sebuku, sebuah pulau kecil dekat Pulau Laut, kami agak lama berhenti di pulau itu untuk mengambil kayu bekal kemudi. Sebuah kemudi kami rusak waktu terkandas di muara Pagatan. Dari pulau itu banyak dikeluarkan pekayuan yang baik untuk perkakas perahu atau kapal. Lepas dari Pulau Sebuku, Intan Selebes mulai mengarungi Selat Makassar. Kami sudah mulai mendapat angin yang baik. Hanya dekat Lerek-Lerekan, sebuah pulau karang di tengah-tengah selat itu, kami kurang mendapat angin. Karang itu sangat ditakuti orang laut karena acapkali perahu sekonyong-konyong terbentur ke situ. Bila pasang naik, pulau itu tersembunyi di bawah permukaan air. Lepas dari sana, kami terus menerus mendapat angin barat. Terutama setelah kami menampak gunung-gunung di pantai Mamuju dan dekat Pembaungan, bukan main besar ombak. Perahu kami tak ubahnya sebagai sekeping sabut yang ringan, terombang-ambing di atas ombak yang serumah-rumah tingginya.

Pembaungan itu masyhur ombaknya. Sehari semalam anak perahu tak dapat memasak karena ombak memecah sampai ke atas geladak, dan perahu oleng. Layar terpaksa dikurangi, dipasang setengah tiang, karena angin terlalu kencang. Di puncak ombak yang serumah-rumah itu tingginya, memecah bunga riak, memutih rupanya, tak ubahnya sebagai bunga karang yang timbul mengambang dari dasar laut.

Entah sebagai penghibur untuk menghilangkan cemas hati saja, nakhoda itu berkata pula: “Jangan takut, Saudara! Kita masih untung belum bersua dengan gelombang atau angin yang sampai mematahkan tiang layar. Ini baru angin baik namanya. Dengan pertolongan angin begini mudah-mudahan lekas kita sampai.”

Dia dan anak-anak perahu yang lain sedikitpun tak membayangkan air muka kecemasan. Melainkan di antara beberapa orang asyik memancing dengan riangnya. Kalau perahu lari semacam itu, banyaklah mereka mendapat ikan cikalang (tongkol). Cara mereka memancing sederhana sekali, tiada memakai umpan. Mata pancing itu mereka lilit dengan bulu ayam serta diberi bertali sepanjang-panjangnya. Bulu ayam yang putih itu merapung atau bermain di permukaan air. Sebentar-sebentar menggeleparlah ikan cikalang ke dalam perahu kami kena pancing itu. Akan tetapi sayang kami tak dapat menyalakan api waktu itu. Setelah kami menampak bukit-bukit di Ujung Majene, gelombang mulai berkurang.

“Allah telah menolong kita,” ujar nakhoda itu pula, setelah kami memasuki teluk Mandar. “Mudah-mudahan besok kita masuk teluk Pare-Pare!”

Pagi-pagi benar saya sudah bagun, demikian juga teman sepelayaran itu. Rupanya dari tengah laut itu dia sudah dapat membauni air nasi dari dapur orang tuanya. Ia berasal dari Pinrang, sebuah kerajaan kecil antara Pare-Pare dan Majene.

Di haluan, pelabuhan Pare-Pare sudah terbayang hilang-hilang timbul dalam selimut pagi. Dan sepanjang kaki bukit di pantai Sulawesi Selatan itu, terbayang garis putih yang lurus-lurus sebagai benang yang panjang terentang di tepi kain yang hijau kebiru-biruan. Itulah jalan raya yang menuju ke Makassar dan yang sebelah barat menuju ke Majene atau Mamuju, lebih kurang 460 km panjangnya. Kalau kita masuk dari Pare-Pare menuju ke Watampone, kita membagi dua semenanjung itu, yaitu melalui Tana Wajo atau Kerajaan Watansoppeng. Dari Bone kita boleh pula mengitari pantainya yang sebelah timur, sepanjang Teluk Bone, melalui Bulukumba, Sungguminasa sampai ke Makassar kembali. Dari Tana Wajo orang dapat berkendaraan ke Palopo masuk ke Tana Toraja, melalui jalan pegunungan; yang sampai 650 m tingginya. Setelah melalui Rantepao, Kalosi, Enrekang, kita sampai kembali ke Pare-Pare.

Anak-anak perahu itu sebagiannya telah mengemasi bungkusannya atau bawaan masing-masing. Mereka tak perlu lagi mengawasi tali-temali karena kami sudah berlayar dalam teluk yang aman, Angin barat tak putus-putus bertiup dari buritan. Sampai ke tempat perahu membuang sauh, kami diantarkan angin yang baik.

(Mimbar Indonesia Th. II No. 20, 15 Mei 1948)

Referensi

http://digilib.unm.ac.id/files/disk1/8/unm-digilib-unm-andifatima-356-1-sejarah-a.pdf