Prasasti Mantyasih : Beriman dalam cinta kasih

Prasasti Mantyasih, juga disebut Prasasti Balitung atau Prasasti Tembaga Kedu, adalah prasasti berangka tahun 907 M, yang berasal dari Wangsa Sanjaya, kerajaan Mataram Kuno. Prasasti ini ditemukan di kampung Mateseh, Magelang Utara, Jawa Tengah dan memuat daftar silsilah raja-raja Mataram sebelum Raja Balitung. Prasasti ini dibuat sebagai upaya melegitimasi Balitung sebagai pewaris tahta yang sah, sehingga menyebutkan raja-raja sebelumnya yang berdaulat penuh atas wilayah kerajaan Mataram Kuno.

Dalam prasasti juga disebutkan bahwa desa Mantyasih yang ditetapkan Balitung sebagai desa perdikan (daerah bebas pajak). Di kampung Meteseh saat ini masih terdapat sebuah lumpang batu, yang diyakini sebagai tempat upacara penetapan sima atau desa perdikan. Selain itu disebutkan pula tentang keberadaan Gunung Susundara dan Wukir Sumbing (sekarang Gunung Sindoro dan Sumbing).

Kata “Mantyasih” sendiri dapat diartikan “beriman dalam cinta kasih”.

Kerajaan Mataram Hindu pernah memimpin peradaban di tanah Jawa dengan mewariskan peradaban luhur dan agung. Sumber penulisan sejarah Mataram Kuno yaitu Prasasti Mantyasih di Kedu yang diterbitkan pada masa Rakai Watukumara Dyah Balitung yang berangka tahun 907. Warisan tulisan sejarah ini merupakan dokumen penting demi penyusunan sejarah. Dalam konteks sejarah ini Paul Michel Munoz (2006) telah memberi deskripsi tentang kerajaan- kerajaan Awal Kepulauan Indonesia.

Bosch dalam karyanya Sriwijaya, de Sailendrawamsa en de Sanjayawamsa (1952) berpendapat bahwa di Kerajaan Medang dua dinasti yaitu Wangsa Sanjaya dan Wangsa Sailendra sama-sama berkuasa. Wangsa Sanjaya didirikan oleh Sanjaya, pendiri Kerajaan Medang yang beragama Hindu Siwa. Maharaja selanjutnya ialah Rakai Panangkaran, yang menurutnya dikalahkan oleh Wangsa Sailendra. Maka di Medang terdapat Wangsa Sanjaya berkuasa di utara Jawa dan Wangsa Sailendra berkuasa di selatan Jawa. Namun Putri Maharaja Samaratungga dari Wangsa Sailendra yang bernama Pramodawardhani menikah dengan Rakai Pikatan dari Wangsa Sanjaya, yang kemudian mewarisi takhta mertuanya dan Wangsa Sanjaya pun berkuasa kembali di Medang. Bosch berasumsi bahwa gelar rakai adalah nama silsilah wangsa.

Penemuan Prasasti Mantyasih menjadi bukti bahwa masyarakat Jawa kuno terlalu peduli pada soal-soal dokumentasi dan kearsipan. Dalam prasasti ini menyebutkan para raja Mataram Kuno yaitu:

  • Sri Maharaja Rakai Ratu Sanjaya (732–760),
  • Sri Maharaja Rakai Panangkaran (760–780),
  • Sri Maharaja Rakai Pananggalan (780–800),
  • Sri Maharaja Rakai Warak (800–820),
  • Sri Maharaja Rakai Garung (820–840),
  • Sri Maharaja Rakai Pikatan (840–856),
  • Sri Maharaja Rakai Kayuwangi (856–882),
  • Sri Maharaja Rakai Watuhumalang (882–899),
  • Sri Maharaja Rakai Watukumara Dyah Balitung (898–915),
  • Sri Maharaja Rakai Daksa (915– 919),
  • Sri Maharaja Rakai Tulodhong (919–921),
  • Sri Maharaja Rakai Wawa (921–928),
  • Sri Maharaja Rakai Empu Sindok (929–930).

Sri Maharaja Rakai Panangkaran, pemerintah Mataram Hindu pada tahun 760–780 Rakai Panangkaran berarti raja mulia yang selalu berhasil mengembangkan potensi wilayahnya. Panangkaran berasal dari kata Tangkar, yang berarti berkembang. Dia memang berhasil mewujudkan cita-cita Ayahandanya, Sri Rakai Mataram Sang Ratu Sanjaya. Mataram Hindu kemudian diperintah oleh Sri Maharaja Rakai Pananggalan (780–800). Rakai Pananggalan berarti raja mulia yang sangat peduli terhadap siklus perjalanan waktu. Pananggalan berasal dari kata tanggal. Dia memang berjasa terhadap sistem kalender Jawa Kuno.

Penggantinya bernama Sri Maharaja Rakai Warak (800–820). Rakai Warak berarti raja mulia yang amat peduli pada cita-cita luhur. Dia memang bertekad bulat untuk meneruskan kejayaan nenek moyangnya.

Dinasti Hindu lantas dipimpin oleh Sri Maharaja Rakai Garung (820–840). Garung berarti raja mulia yang tahan banting terhadap segala macam rintangan. Demi kemakmuran rakyatnya, Rakai Garung mau bekerja siang malam.

Kekuasaan Mataram Hindu dilanjutkan oleh Sri Maharaja Rakai Pikatan (840–856). Pada tahun 850 prasasti Tulang Air di Candi Perut menyebutkan bahwa Rakai Pikatan bergelar Ratu. Pada masa pemerintahan Rakai Pikatan ini kerajaan Mataram Hindu mencapai masa kemakmuran dan kemajuan. Dinasti Sanjaya menjadi gemilang dan harum namanya. Bahasa sanskerta pada saat itu menjadi bahasa pengantar ilmu pengetahuan yang sangat bergengsi (Zoetmulder, 1985).