Kalau saya lihat ada dua pertanyaan dari topik ini, pertama, kritikan atau serangan ? Kedua, personal atau tidak ?
Pertanyaan apakah itu kritikan atau serangan (yang lebih condong pada dinamika politik) sebaiknya dilihat dari sisi kenetralan BEM UI itu sendiri. Memang seharusnya BEM adalah organisasi netral, yang tidak terlibat dalam “politik parktis kekuasaan.” Tetapi, bukan rahasia umum kalau banyak juga mahasiswa yang aktif di organisasi yang sedikit banyak mendekati politik praktis, misalnya KAMMI, HMI, GMNI, dan lain sebagainya.
Bahkan bukan rahasia umum juga kalau mereka juga memperebutkan untuk menguasai organisasi-organisasi resmi kampus, misalnya Himpunan maupun Badan Eksekutif. Jadi sangat sulit untuk menentukan apakah tulisan dari BEM UI itu murni kritikan atau sebuah serangan (oposisi .red).
Apa yang membuat teman-teman begitu yakin kalau postingan itu adalah kritikan dan bukan serangan (oposisi) ?
Apakah personal atau tidak ? Kata King sendiri sudah mengindikasikan kalau hal itu personal. Semua raja di dunia ini sebagian besar ditunjuk karena faktor personal (keturunan) bukan karena faktor lainnya, sehingga penyematan istilah King lebih condong pada sisi personal. Kedua, jokowi adalah presiden, bukan King, sehingga julukan King of… tidak merujuk pada jokowi sebagai presiden.
Bagaimana dengan penggunaan istilah Lip Service ?
Could not agree more with this statement.
Bagi bangsa kita yang terbiasa dengan adat istiadat tradisional, suatu kebenaran sekalipun, kalau disampaikan dengan cara yang tidak baik, jatuhnya menjadi tidak baik. Sayangnya, akhir-akhir ini, politik kekauasaan menjadi lebih dominan dibandingkan budaya luhur bangsa Indonesia. Jadi tidak kaget kalau di sosial media, fenomena istilah “cebong”, “kampret”, “kadrun”, “buzzerrp” dsb menjadi marak. Belum lagi pertengkaran diantara mereka yang sangat tidak produktif, bahkan menjurus merusak persatuan bangsa kita sendiri.
Nah dari kondisi inilah akhirnya julukan “The King of Lip Service” menjadi polemik. Sebagian menganggap bahwa julukan itu adalah hal yang normal, tetapi tidak sedikit yang menganggap bahwa julukan itu tidak baik disematkan kepada seorang Presiden. Lip Service sendiri konotasinya sudah negatif. Kalau diterjemahkan kedalam bahasa sehari-hari bisa diartikan sebagai “omong doang” atau “bisa ngomong tapi ngga bisa ngelakuin.”
Mungkin sebaiknya lembaga sekelas BEM UI bisa mencari cara-cara yang lebih elegan untuk menyuarakan kritiknya sehingga tidak terjadi pro kontra di masyarakat, minimal untuk memberi contoh dan mengedukasi masyarakat terkait bagaimana sebaiknya kita berperilaku dalam berpolitik.
Sudah cukup “rusak” perilaku masyarakat kita akibat pertarungan “politik kekuasaan” yang ada di Indonesia.