Persetubuhan apa saja yang ada menurut Islam ? Bagaimana hukumnya ?

Persetubuhan

Persetubuhan adalah masuknya alat kelamin laki-laki kedalam alat kelamin wanita. Persetubuhan apa saja yang ada menurut Islam ? Bagaimana hukumnya ?

Artinya: “Dan orang-orang yang menjaga kemaluannya, Kecuali terhadap isteri-isteri mereka atau budak yang mereka miliki. Maka Sesungguhnya mereka dalam hal ini tiada terceIa. Barangsiapa mencari yang di balik itu. Maka mereka Itulah orang-orang yang melampaui batas.” (Qs. Al-Mu’minun:5-7).

Persetubuhan yang boleh dilakukan adalah hanya kepada istri-istri atau pada budak. Berikut macam-macam persetubuhan dan hukumnya.

Sebagai catatan, terdapat dua hukum yang ada menurut ajaran Islam, yaitu Hudud dan Tazir.

  • Hudud adalah hukuman yang berdasarkan hukum Islam (syariah) yang diamanatkan dan ditetapkan oleh Allah.

  • Tazir adalah hukuman yang dijatuhkan atas dasar kebijaksanaan hakim karena tidak terdapat dalam Alquran dan hadis.

Persetubuhan dalam Dubur

Imam Malik, asy-Syafi’i, Ahmad bin Hanbal, Syi’ah Imamiyah, dan Syi’ah Zaidiyah berpendapat bahwa persetubuhan yang diharamkan baik dalam kubul maupun dubur, pada laki-laki maupun perempuan hukumannya sama.

Mereka menyamakan persetubuhan dubur dan zina dalam satu makna sehingga menyebabkan wajibnya hukuman hudud, karena Al-Qur’an telah menyamakan keduanya. Allah menjadikan persetubuhan dalam dubur ataupun kubul sebagai perbuatan keji. Allah menamai salah satunya dengan nama yang lain. Allah SWT berfirman kepada kaum Nabi Luth,

Artinya: “Dan (ingatlah) ketika Luth berkata pepada kaumnya: “Sesungguhnya kamu benar-benar mengerjakan perbuatan yang Amat keji yang belum pernah dikerjakan oleh seorangpun dari umat-umat sebelum kamu”. (QS. Al-Qur’an: Ankabut: 28)

Artinya: “Sesungguhnya kamu mendatangi lelaki untuk melepaskan nafsumu (kepada mereka), bukan kepada wanita, malah kamu ini adalah kaum yang melampaui batas.” (Qs. Al- Qur’an al-A’raf: 81)

Menyetubuhi Istri Melalui Dubur

Para ulama sepakat bahwa suami yang menyetubuhi istri melalui dubur tidak dijatuhi hukuman hudud karena istri adalah tempat persetubuhan dan suami adalah pemilik persetubuhan istrinya. Akan tetapi para fukaha berbeda pendapat mengenai cara melalukannya.

Imam Ahmad bin hanbal dan Abu yusuf berpendapat bahwa perbuatan tersebut adalah zina dan menurut hukuman pokok harus dujatuhi hukuman hudud. Akan tetapi, hukuman itu dihindarkan karena adanya syubhat kepemilikan dan perbedaan tersebut. Dengan demikian pelakunya wajib ditakzir.

Menyetubuhi Mayat

Menurut Imam Abu Hanifah, menyetubuhi perempuan lain yang sudah mati bukanlah zina, begitu juga perempuan yang memasukkan zakar laki-laki lain yang sudah mati di dalam farjinya. Ini adalah salah satu pendapat dalam mazhab Syafi’i dan Hanbali.

Ulama yang mengatakan pendapat ini mewajibkan takzir, alasan mereka adalah persetubuhan terhadap perempuan mati dan laki-laki mati tidak layaknya persetubuhan karena anggota badan mayat sudah tidak berfungsi. Selain itu, perbuatan tersebut adalah perbuatan yang tidak disukai dan biasanya tidak diminati, karena itu tidak perlu ada larangan untuk melakukannya, tetapi diwajibkan hukuman hudud untuk mencegah perbuatan tersebut.

Imam Malik menganggap orang yang menyetubuhi mayat yang bukan istrinya, baik pada kubul maupun duburnya sebagai zina. Ia harus dihukum berdasarkan hukuman zina karena ia menikmati persetubuhan tersebut. Tidak ada hukuman hudud atas orang yang menyetubuhi istrinya yang sudah mati.

Menyetubuhi Binatang

Menurut Imam Malik dan Abu Hanifah, menyetubuhi hewan dan binatang pada umumnya tidak dianggap zina, tetapi di anggap maksiat yang wajib ditakzr. Hukuman ini juga berlaku bagi perempuan yang menyerahkan dirinya untuk binatang, seperti kera.

Mereka tidak melihat perbuatan ini sebagai zina, alasannya seandainya perbuatan ini dianggap zina, maka wajiblah hukuman hudud yang disyariatkan untuk menghentikan perbutan tersebut. Padahal yang perlu dihentikan adalah perbuatan yang jalannya terbuka lebar.

Menyetubuhi hewan bukan perbuatan yang perlu dihentikan karena orang orang yang berakal dan orang-orang bodoh sekalipun tidak berminat untuk melakukannya walaupun sebagian tertarik karena dorongan nafsunya. Jadi perbuatan ini tidak perlu dilarang karena secara naluri tidak ada orang yang ingin melakukannya.

Anak di Bawah Umur dan Orang Gila Menyetubuhi Perempuan Ajnabiy

Tidak ada hukuman hudud atas anak di bawah umur atau orang gila yang menyetubuhi perempuan Ajnabiy (bukan istri dan hamba) karena tidak ada kepatutan hukuman atas keduanya. Anak di bawah umur tidak boleh dijatuhi hukuman hudud kecuali setalah dewasa dan orang gila tidak boleh dijatuhi hukuman hudud kecuali setelah sembuh.

Akan tetapi, anak di bawah umur harus ditakzir atas perbuatannya jika ia sudah mumayiz.

Para fukaha berbeda pendapat mengenai perempuan yang disetubuhi anak di bawah umur atau orang gila. Imam Abu Hanifah berpendapat bahwa umur atau orang gila tidak wajib dijatuhi hukuman hudud walaupu rela, tetapi wajib ditakzir. Alasannya hukuman hudud wajib atas perempuan bukan karena ia berzina. Perbuatan zina tidak ada padanya karena disetubuhi bukan menyetubuhi.

Penamaan Al-Qur’an sebagai perempuan zina adalah majaz, bukan hakikat. Wajib dijatuhi hukuman hudud kalau menjadi objek zina, sedangkan perbuatan anak di bawah umur dan orang gila tidak dianggap zina jadi, perempuan tersebut dianggap orang yang menjadi objek zina.

Imam malik sependapat dengan Imam Abu Hanifah jika yang menyetubuhi anak di bawah umur, akan tetapi mewajibkan hukuman hudud atas perempuan jika menuruti orang gila, alasannya perempuan mendapatkan kenikmatan dan orang gila, tetapi tidak dari anak di bawah umur.

Orang Berakal dan Balig Menyetubuhi Anak Perempuan di Bawah Umur atau Perempuan Gila

Para Fukaha juga berbeda pendapat mengenai orang dewasa berakal dan balig yang menyetubuhi anak perempuan di bawah umur atau perempuan gila. Imam Malik berpendapat bahwa orang yang menyetubuhi perempuan gila dewasa harus dijatuhi hukuman hudud, begitu juga orang dewasa berakal dan balig yang menyetubuhi anak perempuan gila atau tidak gila, selama ia berhasil menyetubuhinya walaupun hubungan intim tersebut tidak mungkin bagi orang.

Jika menyetubuhi anak di bawah umur tidak berhasil bagi pelaku, ia tidak dijatuhi hukuman hudud, tetapi harus ditakzir atas perbuatannya.

Imam Abu Hanifah mewajibkan hukuman hudud atas orang berakal dan balig yang berzina dengan perempuan gila atau anak perempuan seusiannya yang bisa disetubuhi. Alasannya persetubuhan ini adalah zina dan adanya uzur di pihak lain tidak menggugurkan hukuman hudud atasnya.

Imam Malik tidak sependapat dengan Imam Abu Hanifah. Imam Malik menyatakan bahwa hukuman hudud bergantung kepada kemampuan pelaku untuk menyetubuhi anak perempuan di bawah umur walaupun anak seusianya belum bisa disetubuhi atau persetubuhan tersebut tidak mungkin berhasil dilakukan laki-laki selain dia, akan tetapi menurut Imam Abu Hanifah secara umum hukuman hudud bergantung kepada kelayakan perempuan tersebut untuk disetubuhi.

Imam Syafi’iyah berpendapat ada hukuman hudud bagi orang berakal dan balig yang berzina dengan perempuan gila atau perempuan di bawah umur selama persetubuhan tersebut benar-benar terjadi. Mereka tidak membatasi hukuman dengan batasan apa pun.

Persetubuhan dengan Syubhat

Syubhat adalah sesuatu yang menyerupai pasti tapi tidak pasti. Hukuman tidak boleh dihindarkan dan ditegakkan atas dasar syubhat, hukuman hudud adalah hak Allah, tidak lebih dari itu. Jika hukuman hudud belum pasti ia tidak halal ditegakkan atas dasar syubhat. Rasulullah SAW bersabda:

“Sesungguhnya darah-darah kalian, harta-harta kalian, kehormatan-kehormatan kalian, dan badan-badan kalian atas kalian adalah haram.”

Jika hukuman hudud sudah pasti, maka tidak boleh di gugurkan atas dasar syubhat. Allah SWT berfirman.

Artinya: “Talak (yang dapat dirujuki) dua kali. setelah itu boleh rujuk lagi dengan cara yang ma’ruf atau menceraikan dengan cara yang baik. tidak halal bagi kamu mengambil kembali sesuatu dari yang telah kamu berikan kepada mereka, kecuali kalau keduanya khawatir tidak akan dapat menjalankan hukum-hukum Allah. jika kamu khawatir bahwa keduanya (suami isteri) tidak dapat menjalankan hukum-hukum Allah, Maka tidak ada dosa atas keduanya tentang bayaran yang diberikan oleh isteri untuk menebus dirinya. Itulah hukum-hukum Allah, Maka janganlah kamu melanggarnya. Barangsiapa yang melanggar hukum-hukum Allah mereka Itulah orang-orang yang zalim.” (Qs. Al- Baqarah:229)

Ulama Syafi’iyah membagi syubhat menjadi tiga jenis:

  • Syubhat Objektif

    Menyetubuhi Istri yang sedang haid, berpuasa, atau menyetubuhi istri melalui duburnya. Syubhat di sini terjadi pada tempat persetubuhan yang diharamkan, karena tempat tersebut adalah milik suami, sedangkan sebagian hak suami adalah menyetubuhi istri.

  • Syarat Subjektif

    Orang yang menyetubuhi perempuan yang datang kepadanya yang diduga istrinya, padahal bukan. Dasar syubahat adalah dugaan dan keyakinan pelaku bahwa tidak melakukan keharaman.

  • Syubhat Yuridis

    Adanya keserupaan antara halal dan haram, dasar syubhat ini adalah adanya perbedaan pendapat di kalangan fukaha mengenai suatu perbuatan, setiap perbuatan yang mereka ikhtitafkan kehalalan atau kebolehannya menjadi syubhat yang dapat menggugurkan hukuman hudud.

Menyetubuhi Mahram

Menyetubuhi mahram adalah zina dan mewajibkan hukuman hudud. Jika seseorang menikahi mahramnya, pernikahan tersebut dianggap batal, akan tetapi pendapat Imam Abu Hanifah orang yang menikahi perempuan yang tidak halal dinikahi, dan meyetubuhinya, seperti ibunya, putrinya atau bibinya, dan menyetubuhinya tidak di wajibkan hukuman hudud meski sudah mengakui perbuatannya, pelaku hanya dijatuhi hukuman takzir.

Persetubuhan dalam Pernikahan yang Batal

Setiap pernikahan yang secara ijmak dianggap batal, seperti pernikahan kelima, menikahi perempuan yang bersuami atau menikahi perempuan yang ditalak tiga sebelum menikah dengan orang lain, persetubuhan di dalamnya adalah zina dan pelakunya wajib dijatuhi hukuman hudud, akad pernikahan tidak dianggap sah dan tidak memengaruhi hukuman ini.

Persetubuhan dalam Pernikahan yang diselisihkan leabsahannya

Tidak ada hukuman hudud dalam pernikahan yang diselisihkan keabsahannya, seperti nikah mut’ah, nikah syagar, nikah muhallil, nikah tanpa wali atau tanpa saksi, menikahi saudara perempuan seistri yang masih dalam masa idah talak ba’in, menikah yang kelima dalam masa idah istri keempat yang di talak ba’in.

Bersetubuh karena Dipaksa

Para ulama sepakat tidak ada hukuman hudud atas orang yang dipaksa berzina. Allah SWT berfirman:

Artinya: “Mengapa kamu tidak mau memakan (binatang-binatang yang halal) yang disebut nama Allah ketika menyembelihnya, Padahal Sesungguhnya Allah telah menjelaskan kepada kamu apa yang diharamkan-Nya atasmu, kecuali apa yang terpaksa kamu memakannya. dan Sesungguhnya kebanyakan (dari manusia) benar benar hendak menyesatkan (orang lain) dengan hawa nafsu mereka tanpa pengetahuan. Sesungguhnya Tuhanmu, Dia-lah yang lebih mengetahui orang-orang yang melampaui batas.” (Qs.al-An’am: 119).

Artinya: “Sesungguhnya Allah hanya mengharamkan bagimu bangkai, darah, daging babi, dan binatang yang (ketika disembelih) disebut (nama) selain Allah[108]. tetapi Barangsiapa dalam Keadaan terpaksa (memakannya) sedang Dia tidak menginginkannya dan tidak (pula) melampaui batas, Maka tidak ada dosa baginya. Sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.” (Qs.al-Baqarah:173).

Tersalah dalam Bersetubuh

Tersalah dalam bersetubuh bisa terjadi dalam persetubuhan yang halal maupun haram. Tidak ada hukuman atas kesalahan dalam persetubuhan yang halal karena tidak ada tujuan buruk. Allah SWT berfirman.

Artinya: “Panggilah mereka (anak-anak angkat itu) dengan (memakai) nama bapak-bapak mereka; Itulah yang lebih adil pada sisi Allah, dan jika kamu tidak mengetahui bapak-bapak mereka, Maka (panggilah mereka sebagai) saudara-saudaramu seagama dan maula-maulamu. dan tidak ada dosa atasmu terhadap apa yang kamu khilaf padanya, tetapi (yang ada dosanya) apa yang disengaja oleh hatimu. dan adalah Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.” (Qs. al-Ahzab:5).

Rela Disetubuhi

Para fukaha sepakat bahwa kerelaan disetubuhi tidak dianggap syubhat, orang yang menyetubuhi perempuan lain yang rela disetubuhi dianggap berzina. Hukuman hudud tetap diberlakukan meski perempuan tersebut sudah mendapat izin dari walinya atau suaminya, zina tidak bisa dihalalkan melalui pemberian dan izin.

Tidak seorang pun bisa menghalalkan apa yang diharamkan oleh Allah SWT jika seorang perempuan menghalalkan dirinya, penghalalnya dianggap batal dan perbuatannya tetap dianggap zina.

Pernikahan setelah zina

Para fukaha sepakat bahwa orang yang berzina lalu menikahi permpuan tersebut maka pernikahannya tidak mempengaruhi apa pun, baik terhadap tindak pidana yang lakukan maupun pada hukuman yang diterapkan, alasannya hukuman hudud diberlakukan karena tindak pidana zina sudah terjadi, sehingga hukumannya tidak bisa digugurkan oleh perkawinan susulan.

Menyetubuhi Perempuan yang Wajib dikisas

Bila seseorang mempunyai hak kisas atas seseorang perempuan lalu menyetubuhinya maka wajib dijatuhi hukuman hudud, kepemilikan hak kisas atas perempuan tidak dianggap syubhat yang bisa menghalangi hukuman hudud, alasannya hak kisas untuk membunuh perempuan tidak membuat laki-laki berhak bersenang-senang dengan farjinya.

Lesbian atau Musahaqah

Musahaqah juga disebut dengan as-sahq dan at-tadaluk (lesbi), yaitu hubungan seksual sesama perempuan. Para ulama sepakat bahwa perbuatan ini haram Allah SWT berfirman:

Artinya: “Dan orang-orang yang menjaga kemaluannya, Kecuali terhadap isteri-isteri mereka atau budak yang mereka miliki[994]; Maka Sesungguhnya mereka dalam hal ini tiada tercela. Barangsiapa mencari yang di balik itu Maka mereka Itulah orang-orang yang melampaui batas.” (Qs.al-Mu’minuun:5-7).

Istimna (Mastrubasi)

Istimna (Mastrubasi) seorang lelaki dengan menggunakan tangan perempuan lain (bukan istri dan hambanya) tidak dianggap zina, begitu juga seorang laki-laki yang memasukkan jari-jarinya kedalam farji perempuan, akan tetapi kedua perbuatan tersebut adalah maksiat yang perbuatnnya tersebut wajib dijatuhi hukuman takzir, baik laki-laki maupun perempuan, keluar sperma maupun tidak.

Para ulama berbeda pendapat mengenai mastrubasi seorang laki-laki dengan mengunakan tangan. Sebagian ulama mengharamkannya. Sebagian berpendapat bahwa mastrubasi adalah makruh dan tidak ada dosa di dalamnya, alasannya secara ijmak, laki-laki boleh menyentuh zakarnya dengan tangan kiri jadi hukumannya hanya mubah, walaupun ingin mengeluarkan sperma, hukumannya tetap tidak haram.