Perlukah kecakapan bahasa isyarat dimasukkan dalam kurikulum pendidikan di Indonesia?

Bahasa isyarat adalah alat komunikasi yang biasa digunakan oleh penyandang tuli sebagai alat komunikasi melalui gerakan tangan yang diperkuat dengan mimik dan penekanan.

Sejauh ini penutur bahasa isyarat hanya terbatas pada lingkungan penyandang tuli dan para profesional di bidang tersebut (guru, interpreter, dsb) dan masyarakat pada umumnya tidak memahami bahasa isyarat sehingga jarang terjadi interaksi antara penyandang tuli dengan bukan penyandang tuli karena gap pada penggunaan bahasa mereka.

Namun di beberapa negara, penguasaan bahasa isyarat mulai dimasukkan dalam kurikulum pendidikan yang ada sehingga seluruh siswa memplejari bahasa isyarat seperti yang saya temukan dalam artikel berikut:

TEMPO.CO , Jakarta - Beberapa sekolah di negara bagian Nevada, Amerika Serikat, mulai menerapkan kelas multi-bahasa berupa penggunaan bahasa isyarat American Sign Language. Selain menggunakan bahasa isyarat di kelas, para siswa juga haus mengambil kelas bahasa isyarat sebagai mata pelajaran wajib. Dengan begitu, siswa non-difabel dengan siswa tulis dapat berkomunikasi satu sama lain. “Program ini berlaku untuk siswa dari taman kanak-kanak hingga sekolah menengah atas,” kata Marva Cleben, Direktur Layanan Disabilitas di Distrik Lyon County, Nevada, Amerika Serikat seperti yang dikutip dari situs Reno Gazette Journal pada Jumat, 1 Mei 2020. (Kelas Inklusi Ini Bikin Semua Siswa Bisa Bahasa Isyarat - Difabel Tempo.co)

Menurut Anda, perlukah hal yang serupa diterapkan di Indonesia?