Peringatan bagi diri

Pagi yang indah menyambut bangunku dengan sinarnya yang cerah, “Waktu telah dimulai,” ucapku sambil menatap jendela rumah. Aku membuka jendela melihat di sekitar alam. Burung-burung bernyanyi syahdu. Begitu pula dedaunan dan rerumputan seakan-akan ikut bernyanyi diiringi tiupan angin yang melintasiku.

Namun yang tak aku harapkan membuat kuprihatin, semua orang seakan-akan lupa dengan mahluk lainya. Di depan jendela aku hanya bisa terdiam melihat orang-orang mencemari sungai dengan limbah, ada pula asap pabrik yang menggumpal seakan-seakan menjadi awan pengganti di atas manusia.

Ketika sepulang sekolah melintasi jalan trotoar, terlihat seorang yang berpendidikan namun tak terdidik membuang bekas sampah di pinggiran jalan. Lantas aku berlari ingin mengambil tetapi seakan-akan tanah menolak hingga menjatuhkannya digorong-gorong. Aku berlari sekencang-kencangnya hingga masuk kerumah, ibu dan ayah terheran-heran melihatku yang menangis tanpa sebab.

Ibu menghampiriku, “Ada apa nak? coba beritahu ibu.”
“Dia menolakku ibu.” Kataku sambil memeluk ibu.

Ibu takkan mengerti dengan ucapanku, yang Ibu fikirkan seakan mengarah pada percintaan, lantas ibu menasehatiku untuk tidak memasuki dunia percintaan di usia mudaku.

Ketika Ibu pergi meninggalkanku sendiri, aku merasa malu dengan ucapanku dan mengapa aku harus menangisi kejadian tadi. Pada saat melangkahkan kaki keluar pintu kamar, terlihat di sela-sela pintu yang tak pernah di buka siapapun, muncul sinar yang membuatku bertanya-tanya.

Saat membuka pintu yang penuh misteri itu, tak kusangka dibaliknya terdapat dunia yang berbeda dengan duniaku. Langit seakan dekat diatasku, dan yang tak dapat aku bayangkan sungai dan lautan saling bersampingan bahkan tumbuhan yang sangat sedikit.

Aku melangkah, “Apakah ini dunia kedua?” ucapku sambil melihat sekeliling.
Saat menginjakkan telapak kaki di tanah suara yang menggema meneriakiku, teriakan itu membuatku takut.

“Hay manusia… belumkah kamu puas untuk menyakitiku?” teriak tanah kepadaku.
“Siapa itu…”
“Mengapa kamu tidak mengenalku yang setiap harinya kalian berjalan di atasku…”

Setelah mencoba berfikir secara logis didalam benakku, tidak mungkin tanah bisa berbicara. Namun ketika tumbuhan yang berada di sekitaran kakiku melilit dan membuat luka kecil dikulitku barulah aku mempercayainya. “Apakah yang kalian inginkan,” tanyaku.

Ketika tumbuhan dan tanah mengatakan menginginkan kemusnahan manusia, aku sangat ketakutan. Aku berlari menuju pintu namun pintu semakin menjahuiku. Aku terduduk tak sanggup lagi berlari, tepat di depan mata laut dan sungai mendekatiku.

“Hai Manusia… tidakkah kamu mengenaliku yang selalu kalian jadikan tempat pembuangan limbah kalian…”

Lautan turut berteriak kepadaku juga, ”Bagaimana denganku, apakah kamu tidak mengenalku yang selalu kalian rusak dengan bahan peledak, pukat harimau, bahkan dengan melakukan abrasi?”

Tubuhku terasa kaku bercampur ketakutan. Tak beberapa lama terdengar lagi suara yang berbeda dari sebelumnya seperti suara tangisan dari atas langit bersamaan dengan turunya hujan yang mengguyurku. Disekitarku menjadi tak terlihat di tutupi oleh tebalnya kabut yang tak aku ketahui dari mana datangnya.

Tak beberapa lama, kabut menghilang diikuti berhentinya hujan. Tiba-tiba api yang datang melingkariku membuatku tak dapat berlari menghindarinya. Secara bersamaan pula hujan turun lagi namun yang paling mengerikan sungai dan lautan seakan-akan berdiri tegak menghantam tubuhku hingga terpental menuju pintu misteri itu.

Didepan pintu aku terbaring tak sadarkan diri tetapi untung saja ibu datang menyadarkanku.
Ibu memukul pelan pipiku, “Nak, kamu kenapa?”
“Ibu, tadi itu…”
“Tadi apanya? kok kamu basah begini.”

Setelah aku menjelaskan apa yang terjadi padaku ibu langsung membuka pintu. Tetapi yang didalamnya hanya beberapa foto bekas dan lukisan, tentunya ibuku menganggap aku hanya berhalusinasi saja.

Setelah kejadian yang aku alami, hidupku ini menjadi lebih termotivasi untuk lebih menjaga lingkungan sekitar agar mereka tidak selalu dalam krisis karena perbuatan kita yang acuh tak acuh terhadapnya.

Setiap akhir pekan aku selalu meluangkan waktu untuk suka rela membersihkan lingkungan sekitar. Namun seiring berjalannya waktu orang-orang di sekitarku mulai mengikuti caraku untuk merawat lingkungan bersama, walau yang tak bisa kami atasi secara pasti adalah pabrik-pabrik limbah yang terus aktif.

Kini hasil di sungai mulai melimpah dan di pagi harinya juga kicauan burun mulai memenuhi alam. Tiba saat malam hari, nyanyian jangkrik mulai bermunculan menemani malam. Indahnya alam ini apabila masih utuh tetapi hancurnya alam ini apabila rusak karna kita sendiri.