Pergeseran Asas “Hakim Bersifat Pasif” dalam Hukum Acara Perdata

image
Saya ingin menanyakan sedikit mengenai informasi yang saya dapatkan dari dosen saya. Beliau mengatakan dalam Hukum Acara Perdata hakim bersifat pasif, apa maksudnya dari hakim bersifat pasif dalam Hukum Acara Perdata? Bukankah hakim yang merupakan instrumen pengadilan yang bersifat independen sudah mutlak bersifat aktif dalam menggali nilai-nilai hukum yang ada/berkembang dalam masyarakat? Ini sudah terjadi dalam putusan Pengadilan Agama Jakarta Selatan, dimana hakim Pengadilan Agama memperbolehkan saudara yang berbeda agama/non muslim menerima waris dari saudaranya yang telah meninggal.

Mengutip pendapat Lilik Mulyadi dalam bukunya Hukum Acara Perdata Menurut Teori dan Praktek Peradilan Indonesia (hal. 18) yang dikutip sebagai berikut:

Asas Hakim yang pasif ini juga memberikan batasan kepada hakim untuk tidak dapat mencegah apabila gugatan tersebut dicabut atau para pihak akan melakukan perdamaian (Pasal 130 Herzien Inlandsch Reglement (HIR), Pasal 154 RBg, Pasal 14 ayat (2) UU 14/1970[1]) atau hakim hanya mengadili luas pokok sengketa yang diajukan para pihak dan dilarang mengabulkan atau menjatuhkan putusan melebihi dari pada apa yang dituntut (Pasal 178 ayat (2), (3) HIR, Pasal 189 ayat (2), (3) RBg).

Namun demikian, asas hakim pasif menurut Lilik Mulyadi dalam bukunya tersebut (hal.18-20) mengalami pergeseran khususnya terhadap ketentuan Pasal 178 HIR, Pasal 189 RBg, hal mana nampak antara lain dalam Yurisprudensi berikut ini:

a. Putusan Mahkamah Agung RI No. 964 K/Pdt/1986 tanggal 1 Desember 1988 dalam perkara antara Nazir T Datuk Tambijo dan Asni lawan Nazan alias Barokak Gelar Dt. Naro dengan kaidah dasar bahwa Mahkamah Agung berpendapat Hukum Acara Perdata yang berlaku di Indonesia tidak formalistis dan berlakunya pasal 178 HIR (Pasal 189 RBg) tidak bersifat mutlak. Hakim dalam mengadili perkara perdata dapat memberikan amar atau diktum putusan melebihi petitum asal tidak melebihi posita gugatan;

b. Putusan Mahkamah Agung RI No. 556 K/Sip/1971 tanggal 8 Januari 1972 dalam perkara Pr. Sumarni lawan Tjong Foen Sen dengan dasar pertimbangan bahwa “Pengadilan dapat mengabulkan lebih dari yang digugat asal masih sesuai dengan kejadian material”.

c. Putusan Mahkamah Agung RI No. 425 K/Sip/1975 tanggal 15 Juli 1975 dalam perkara Fa Indah Enterprice Film dkk lawan Tjoe Kim Po dkk dan Ali Susanto alias Lie Kim Tjoan dkk, dengan dasar pertimbangan bahwa, “mengabulkan lebih dari petitum diizinkan, asal saja sesuai dengan posita”. Di samping itu dalam hukum acara pidana maupun hukum acara perdata hakim bersifat aktif.

Untuk kasus yang Anda sampaikan mengenai putusan Pengadilan Agama Jakarta Selatan yang memperbolehkan saudara yang berbeda agama/non muslim menerima waris dari saudaranya yang telah meninggal kami belum memperoleh informasi terkait dengan hal tersebut. Namun apabila informasi yang Anda sampaikan benar adanya, kami berpendapat hal tersebut termasuk pergeseran kedudukan hakim pasif sebagaimana dimaksud Lilik Mulyadi, apalagi dalam ketentuan Pasal 5 ayat (1) Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman terdapat ketentuan yang mengatur bahwa:

Hakim dan hakim konstitusi wajib menggali, mengikuti, dan memahami nilai-nilai hukum dan rasa keadilan yang hidup dalam masyarakat

Berdasarkan ketentuan tersebut, sudah sepatutnya asas hakim pasif dalam Hukum Acara Perdata tidak menjadi patokan hakim dalam menjatuhkan putusan yang berkeadilan bagi para pihak.

Sumber