Perbedaan Saksi Mahkota dengan Justice Collaborator

image
Saya mau tanya, apakah saksi mahkota dengan saksi justice collaborator itu berbeda? Jika iya, apa perbedaannya?
Terimakasih.

Saksi Mahkota

Dalam Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana (“KUHAP”) sebagai induk Hukum Acara Pidana yang berlaku di Indonesia, kita tidak dapat menemukan istilah Saksi Mahkota dan Justice Collaborator. Ketentuan mengenai Saksi Mahkota baru dapat kita temukan dalam Pasal 200 Rancangan Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (RUU KUHAP).

Sebaliknya, istilah Saksi Mahkota justru dapat ditemukan dalam praktik Hukum Acara Pidana, yang salah satunya bersumber dari Putusan Mahkamah Agung RI No. 1986 K/Pid/1989 tertanggal 21 Maret 1990 dalam perkara pembunuhan berencana yang dilakukan oleh Abdurahman dan teman-temannya sebagaimana dimaksud dalam Pasal 340 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (“KUHP”), dengan abstrak hukum sebagai berikut:

Bahwa jaksa penuntut umum diperbolehkan oleh undang-undang untuk mengajukan teman terdakwa yang ikut serta melakukan pidana tersebut, sebagai saksi di persidangan pengadilan negeri, dengan syarat bahwa saksi ini dalam kedudukannya sebagai terdakwa tidak termasuk dalam “satu berkas perkara” dengan terdakwa yang diberikan kesaksian (gesplit). Teman terdakwa yang diajukan sebagai saksi terhadap terdakwa lainnya seperti disebutkan di atas dalam ilmu hukum disebut “SAKSI MAHKOTA” atau “KROON GETUIGE”.

Jadi menurut hemat saya, istilah Saksi Mahkota ini sesungguhnya lahir dari pengembangan praktik Pasal 142 KUHAP tentang pemisahan perkara oleh Penuntut Umum (splitsing), yang berbunyi:

Dalam hal penuntut umum menerima satu berkas perkara yang memuat beberapa tindak pidana yang dilakukan oleh beberapa orang tersangka yang tidak termasuk dalam ketentuan Pasal 141, penuntut umum dapat melakukan penuntutan terhadap masing-masing terdakwa secara terpisah.

Praktik pemisahan perkara (splitsing) oleh Jaksa Penuntut Umum untuk beberapa pelaku ini dikarenakan minimnya saksi dalam perkara tersebut. Praktik splitsing ini dianggap sebagian pakar hukum sebagai pelanggaran Hak Asasi Manusia.

Alasannya karena praktik splitsing tersebut telah membenturkan asas-asas hukum pidana yang berlaku universal, yaitu di satu sisi memberikan hak ingkar bagi Terdakwa, namun di sisi lainnya memberikan ancaman pidana bagi pelaku lain (dalam suatu perbuatan yang sama), yang karena pemisahan perkara (splitsing) tersebut ditetapkan menjadi saksi yang dapat untuk memberikan keterangan palsu di bawah sumpah, sehingga praktik splitsing tersebut dinilai bertentangan dengan asas Non Self Incrimination.

Justice Collaborator

Sedangkan, istilah Justice Collaborator dalam literatur hukum Indonesia dapat kita temukan dalam Surat Edaran Mahkamah Agung Nomor 4 Tahun 2011 tentang Perlakuan Bagi Pelapor Tindak Pidana (Whistleblower) dan Saksi Pelaku yang Bekerjasama (Justice Collaborators) di dalam Perkara Tindak Pidana Tertentu (“SEMA 4/2011”), yang penyusunannya terinspirasi dari Pasal 37 Konvensi PBB Anti Korupsi. Dalam praktik, Surat Edaran Mahkamah Agung memang seringkali dibuat untuk mengisi kekosongan hukum yang belum diakomodir oleh peraturan perundang-undangan yang ada.

Dalam Angka 9 SEMA 4/2011 disebutkan bahwa pedoman untuk menentukan seseorang sebagai saksi pelaku yang bekerjasama (Justice Collaborator) adalah yang bersangkutan merupakan salah satu pelaku tindak pidana tertentu yang dimaksud dalam SEMA 4/2011 yaitu tindak pidana korupsi, terorisme, tindak pidana narkotika, tindak pidana pencucian uang, perdagangan orang dan tindak pidana lainnya yang terorganisir dan menimbulkan ancaman terhadap stabilitas dan keamanan masyarakat.

Adapun syarat-syarat lain agar seorang pelaku tindak pidana tertentu dapat ditentukan sebagai Justice Collaborator adalah:

  1. Mengakui kejahatan yang dilakukannya
  2. Bukan pelaku utama dalam kejahatan tersebut
  3. Memberikan keterangan saksi dalam proses peradilan.

Sumber