Perbedaan Gugatan dan Permohonan


Hukum menjadi landasan tindakan setiap Negara

Dalam gugatan ada suatu sengketa atau konflik yang harus diselesaikan dan diputus oleh pengadilan. Sedangkan, dalam permohonan tidak ada sengketa, hakim mengeluarkan suatu penetapan atau lazimnya yang disebut dengan putusan declatoir yaitu putusan yang bersifat menetapkan.

Sumber: hukumonline.com

PERMOHONAN

Ketika seseorang beracara di dalam ruang lingkup hukum perdata maka akan terdapat dua pihak yang terlibat, yaitu pihak penggugat dan pihak yang tergugat. Tetapi disamping itu ada pula perkara-perkara yang disebut dengan permohonan. Permohonan ini dapat diajukan ke pengadilan oleh orang-perorangan maupun secara bersama-sama.

Perbedaan mendasar yang mencolok antara gugatan dan permohonan adalah bahwa di dalam perkara gugatan selalu ada sengketa atau konflik yang harus diselesaikan dan diputus pula oleh pengadilan[1]. Dengan ini dapat disimpulkan bahwa, di dalam perkara gugatan ada pihak yang merasa bahwa haknya telah dilanggar atau diambil oleh pihak lain. Oleh sebab itu, dibutuhkan suatu putusan hakim untuk dapat memutuskan siapa yang benar serta berhak dan siapa yang salah di dalam perkara tersebut. Berbeda dengan perkara gugatan, dalam perkara permohonan tidak ada sengketa di dalamnya. Jadi di sini hakim hanya mengeluarkan suatu penetapan atau yang biasanya sering disebut dengan putusan declatoir. Pustusan declatoir sendiri adalah suatu putusan yang hanya menegaskan atau menyatakan suatu keadaan hukum semata-mata[2]. Salah satu contoh dari putusan declatoir adalah permohonan mengenai kedudukan sebagai anak sah, kedudukan sebagai ahli waris dan bisa juga tentang pengangkatan anak. Apabila ada seseorang atau secara bersama-sama mengajukan ke pengadilan perihal penetapan masing-masing bagian dari warisan sesuai dengan ketentuan Pasal 236a H.I.R, maka disini hakim hanya sekedar memberi jasa-jasanya sebagai seorang tata usaha negara.

Putusan declatoir murni tidak mempunyai atau membutuhkan upaya pemaksaan karena sudah mempunyai akibat hukum tanpa bantuan dari pihak lawan untuk melaksanakannya, sehingga putusan ini hanya mempunyai kekuatan hukum yang mengikat saja[3]. Bisanya permohonan yang sering diajukan di muka pengadilan negeri adalah permohonan mengenai pengangkatan anak angkat wali, pengampu, perbaikan akta catatan sipil dan sebagainya[4]. Dengan ini perkara permohonan masuk ke dalam pengertian yurisdiksi voluntair dan berdasarkan permohonan yang diajukan oleh pemohon tersebut, maka hakim akan memberi suatu penetapan[5]. Pengadilan negeri berdasarkan Putusan Mahkamah Agung No. 3139 K/Pdt/ 1984 sesuai dengan ketentuan Pasal 2 UU. No. 14/1970 mempunyai tugas selain memeriksa dan memutus perkara yang bersifat sengketa atau jurisdiction, dapat pula memeriksa perkara yang masuk kedalam ruang lingkup yurisidiksi voluntair yang lazim disebut dengan perkara permohonan. Dengan ketentuan ini pengadilan negeri diberi kewenangan voluntair agar dapat menyelesaikan masalah perdata yang sifatnya hanya sepihak ( ex-parte ) dalam keadaan[6]:

  • a. Sangat terbatas atau sangat eksepsional dalam hal tertentu saja;
  • b. Dan hanya boleh terhadap masalah yang disebut dan yang ditentukan sendiri oleh undang-undang yang menegaskan tentang masalah yang bersangkutan dapat atau boleh diselesaikan secara voluntair bentuk permohonan.

Pada prinsipnya permohonan yang diajukan oleh pihak-pihak tertentu bertujuan untuk menyelesaikan kepentingan dari pemohon sendiri yang dilindungi oleh undang-undang.

PROSES PERMOHONAN PENETAPAN PENGADILAN

Seperti yang telah dijelaskan sebelumnya pada penetapan permohonan, yang terlibat di dalam perkara tersebut hanyalah satu pihak saja, pihak inilah yang disebut dengan pemohon bersifat ex-parte . Seseorang yang hadir di dalam pemeriksaan persidangan adalah pemohon itu tersendiri ataupun kuasa hukumnya. Sifat ex-parte yang dimaksud disini ialah:

  • a. Hakim hanya mendengar keterangan dari pemohon atau kuasa hukum pemohon sehubungan dengan permohonan yang diajukan.
  • b. Hakim memeriksa bukti atau saksi-saksi yang telah diajukan oleh pemohon kedalam persidangan.
  • c. Di dalam perkara permohonan tidak ada tahap replik maupun tahap duplik serta tahap kesimpulan, tahapan-tahapan ini ada dan dilakukan pada hukum acara perdata dalam perkara gugatan atau gugatan contentiosa (dimana didalamnya terdapat pihak penggugat dan juga tergugat) .

Pemeriksaan akan permohonan penetapan kepada pengadilan yang telah diajukan oleh pemohon haruslah didasarkan akan bukti-bukti, yang beban wajib bukti dibebankan kepada pemohon untuk dijadikan pertimbangan kepada hakim yang menangani perkara tersebut. Yang dimaksud akan bukti-bukti disini haruslah sesuai dengan ketentuan yang telah diatur di dalam Pasal 1866 Undang-Undang Hukum Perdata dan Pasal 164 HIR (Pasal 284 RBG). Menurut Pasal 1866 Undang-Undang Hukum Perdata alat pembuktian meliputi:

a. Bukti tertulis
Pembuktian dengan tulisan dilakukan dengan otentik atau dengan tulisan dibawah tangan[7]. Akta otentik sendiri merupakan suatu akta yang dibuat dalam bentuk yang telah ditentutkan oleh undang-undang atau dihadapan pejabat umum yang memiliki wewenang untuk itu di tempat akta itu dibuat[8]. Sedangkan untuk tulisan di bawah tangan adalah suatu akta yang tidak dapat diberlakukan sebagai akta otentik dikarenakan tidak berwenang atau tidak cakapnya pejabat umum yang bersangkutan ataupun dikarenakan cacat dalam bentuknya, tulisan ini mempunyai kekuatan apabila ditandatangani oleh para pihak[9]. Yang dapat dianggap sebagai tulisan dibawah tangan adalah akta yang telah ditandatangani, surat, daftar, surat urusan rumah tangga, dan tulisan-tulisan lain yang pembuatannya tidak diperlukan perantaraan seorang pejabat umum[10].

b. Bukti saksi
Di dalam pengadilan keterangan saksi saja tanpa didukung dengan adanya alat bukti lain, maka keterangan tersebut tidak dapat dipercaya[11]. Tiap-tiap kesaksian yang diberikan harus disertai dengan keterangan tentang bagaimana saksi tersebut mengetahui kesaksian yang diberikan di muka pengadilan. Pendapat maupun dugaan khusus, dari hasil pikiran sendiri bukanlah merupakan suatu bentuk kesaksian[12].

c. Persangkaan
Persangkaan adalah kesimpulan yang oleh undang-undang atau oleh hakim ditarik dari suatu peristiwa yang diketahui umum kea rah suatu peristiwa yang tidak diketahui umum[13]. Ada dua jenis persangkaan, yaitu persangkaan yang berdasarkan undang-undang dan juga persangkaan yang tidak berdasarkan undang-undang. Persangkaan yang berdasarkan undang-undang adalah jenis persangkaan yang dibubungkan dengan perbuatan tertentu atau peristiwa tertentu berdasarkan ketentuan undang-undang[14]. Sedangkan persangkaan yang tidak berdasarkan undang-undang merupakan jenis persangkaan yang diserahkan kepada pertimbangan hakim, yang dalam hal ini hakim tersebut tidak dapat memperhatikan persangkaan-persangkaan lain[15].

d. Pengakuan
Pengakuan dapat dikemukakan terhadap satu pihak, pengakuan ini dapat diberikan di dalam sidang pengadilan maupun diluar sidang pengadilan[16].

e. Sumpah
Di hadapan hakim ada dua macam sumpah yang digunakan, yang pertama adalah sumpah yang diperintahkan oleh pihak yang satu kepada pihak yang lain untuk pemutusan suatu perkara, sumpah ini sendiri disebut dengan sumpah pemutus. Sedangkan sumpah yang kedua merupakan sumpah yang diperintahkan oleh hakim karena jabatan kepada salah satu pihak[17]. Setelah hakim memeriksa permohonan yang diajukan berikut dengan bukti-bukti serta alasan-alasan dari pemohon dalam pengajuan permohonan telah memenuhi ketentuan dasar hukum yang berlaku, maka penyelesain permohonan dapat dilakukan dengan dituangkannya penyelesaian tersebut ke dalam bentuk penetapan. Penetapan yang telah dikeluarkan oleh pengadilan merupakan produk yang diterbitkan oleh hakim terhadap perkara yang telah diajukan kepadanya, sehingga penetapan itu merupakan sebuah akta otentik[18].

GUGATAN

Setelah mengetahui dan mendalami lebih lanjut mengenai permohonan, maka perlu untuk dibahas juga mengenai gugatan. Gugatan adalah suatu perkara yang mengandung sengketa atau konflik antara pihak-pihak yang menuntut pemutusan dan penyelesaian pengadilan[19]. Tidak seperti permohonan yang bersifat sepihak, gugatan diajukan apabila ada suatu konflik. Menurut Sudikno Mertokusumo, gugatan adalah sebuah tuntutan hak, yaitu tindakan yang ditujukan untuk memberikan perlindungan yang diberikan oleh pengadilan untuk mencegah perbuatan main hakim sendiri ( eigenrichting )[20]. Menurut Darwin Prist, gugatan merupakan suatu permohonan yang disampaikan kepada ketua pengadilan Negeri yang berwenang, mengenai suatu tuntutan terhadap pihak lainnya, tuntutan ini harus diperiksa menurut tata cara yang telah ditetapkan. Tuntutan ini diperiksa oleh pengadilan, lalu setelah diperiksanya perkara tersebut dapat diambil putusan terhadap gugatan tersebut[21].

Dapat ditarik kesimpulan dari pendapat-pendapat diatas, bahwa gugatan merupakan suatu tuntutan hak yang disampaikan oleh pihak penggugat kepada pengadilan yang berwanang, agar gugatan tersebut dapat diperiksa dengan prinsip keadilan. Pihak penggugat dan tergugat dan perkara yang disengketakan ada ketika gugatan yang dilayangkan telah sampai di depan sidang pengadilan.

Pihak yang merasa telah dilanggar haknya di dalam perkara perdata disebut dengan penggugat, pihak ini mengajukan gugatan kepada pengadilan yang ditujukan kepada pihak yang dirasa telah melanggar hak penggugat. Pihak yang ditujukan gugatan kepadanya, dinamakan dengan pihak tergugat, dengan mengemukakan duduk perkara ( posita ) dan mengemukakan duduk perkara ( petitum )[22].

Posita sering pula disebut dengan Fundamentum Petendi adalah suatu bagian yang berisikan dalil yang menggambarkan adanya hubungan yang menjadi dasar atau uraian dari suatu tuntutan. Maksudnya, posita adalah dalil-dalil yang berisi alasan mengapa pihak penggugat dapat mengajukan tuntutan seperti itu. Posita atau fundamentum pretendi dianggap lengkap apabila ia dapat memenuhi dua unsur yaitu dasar hukum ( rechtelijke grond ) dan dasar fakta ( feitelijke grond )[23].

Yang dimaksud dengan petitum adalah segala tuntutan apa saja yang dimintakan oleh pihak penggugat kepada hakim untuk dikabulkan. Tuntutan yang diajukan ini, selain dapat berisi tuntutan utama biasanya juga dapat ditambahkan dengan tututan subside atau tuntutan pengganti. Tuntutan subside ini dapat berwujud seperti tuntutan untuk membayar denda. Menurut Yahya Harahap[24], agar gugatan dapat dianggap sah, yang maksudnya tidak mengandung adanya cacat formil, harus mencantumkan petitum gugatan yang berisikan pokok tuntutan dari penggugat. Pokok tuntutan ini berupa deskripsi jeas yang menyebutkan satu per satu dalam akhir gugatan mengenai hak-hal apa saja yang menjadi pokok tuntutan dari sang penggugat yang dibebankan kepada si tergugat.

Surat gugatan pada dasarnya memiliki dua arti, apabila ditilik dari arti luas dan abstrak maka surat gugatan mempunyai tujuan untuk menjamin hukum acara perdata agar berjalan secara tertib dan teratur. Sedangkan apabila ditilik dari arti sempit maka surat gugatan adalah suatu cara yang dilakukan untuk dapat memperoleh perlindungan hukum dengan bantuan dari penguasa, surat gugatan juga dianggap sebagai suatu tata cara yang memuat tuntutan oleh seseorang melalui saluran-saluran yang sah, dan dengan putusan yang dikeluarkan oleh hakim ia dapat memperoleh apa yang seharusnya menjadi “haknya”[25].

Referensi

[1] Retnowulan Sutantio dan Iskandar Oeripkartawinata, Hukum Acara Perdata dalam Teori dan Praktek, CV. Mandar Maju, Bandung, 2009, hlm 10

[2] Yahya Harahap, Hukum Acara Perdata, Sinar Grafika, Jakarta, 2011, hlm 872.

[3] Sudikno Mertokusumo, Hukum Acara Perdata Indonesia, Liberty, Yogyakarta, 2006, hlm 175.

[4] Retnowulan Sutantio dan Iskandar Oeripkartawinata, Op. cit. hlm 10.

[5] M. Yahya Harahap, Hukum Acara Perdata tentang Gugatan, Persidangan, Penyitaan, Pembuktian dan Putusan Pengadilan, Sinar Grafika, Jakarta, 2005, hlm 28.

[6] Nurul Elmiyah dan Suparjo Sujadi, Upaya-Upaya Hukum Terhadap Penetapan, dikutip di Jurnal Hukum Pembangunan, Tahun ke-35 No. 3, Juli-September 2005, hlm 327.

[7] Kitab Undang-Undang Hukum Perdata ( Burgerlijk Wetboek) Pasal 1867.

[8] Kitab Undang-Undang Hukum Perdata ( Burgerlijk Wetboek) Pasal 1868.

[9] Kitab Undang-Undang Hukum Perdata ( Burgerlijk Wetboek) Pasal 1869.

[10] Kitab Undang-Undang Hukum Perdata ( Burgerlijk Wetboek) Pasal 1874.

[11] Kitab Undang-Undang Hukum Perdata ( Burgerlijk Wetboek) Pasal 1904.

[12] Kitab Undang-Undang Hukum Perdata ( Burgerlijk Wetboek) Pasal 1907.

[13] Kitab Undang-Undang Hukum Perdata ( Burgerlijk Wetboek) Pasal 1915.

[14] Kitab Undang-Undang Hukum Perdata ( Burgerlijk Wetboek) Pasal 1916.

[15] Kitab Undang-Undang Hukum Perdata ( Burgerlijk Wetboek) Pasal 1922.

[16] Kitab Undang-Undang Hukum Perdata ( Burgerlijk Wetboek) Pasal 1923.

[17] Kitab Undang-Undang Hukum Perdata ( Burgerlijk Wetboek) Pasal 1929.

[18] Setiawan, Aneka Malah Hukum dan Hukum Acara Perdata, Alumni, Bandung, 1993 hlm 399.

[19] Cik Hasan Bisri, Peradilan Agama di Indonesia, PT. Raja Grafindo Persada, Jakarta, 1998, hlm 229.

[20] Sudikno Mertokusumo, Op. cit, hlm 52.

[21] Mulyadi, Tuntutan Provisioniil Dalam Hukum Acara Perdata, Djambatan, Jakarta, 1996, hlm 15-16.

[22] Gatot Supramono, Hukum Pembuktian di Peradilan Agama , Alumni, Bandung, 1993, hlm 14.

[23] Yahya Harahap, Hukum Acara Perdata, Sinar Grafika, Jakarta, 2011, hlm 58.

[24] Ibid, hlm 63.

[25] John Z. Loudoe, Beberapa Aspek Hukum Material Dan Hukum Acara Dalam Praktek, PT. Bina Aksara, Jakarta, 1981, hlm 162-163.

Gugatan dijelaskan oleh Retnowulan Sutantio dalam buku Hukum Acara Perdata dalam Teori dan Praktek, yakni dalam perkara gugatan ada suatu sengketa atau konflik yang harus diselesaikan dan diputus oleh pengadilan.

Lebih lanjut Retnowulan menjelaskan bahwa dalam perkara yang disebut permohonan tidak ada sengketa, hakim mengeluarkan suatu penetapan atau lazimnya yang disebut dengan putusan declatoir yaitu putusan yang bersifat menetapkan, menerangkan saja.

Sementara itu, Yahya Harahap dalam bukunya Hukum Acara Perdata Tentang Gugatan, Persidangan, Penyitaan, Pembuktian, dan Putusan Pengadilan menjelaskan bahwa permohonan atau gugatan voluntair adalah permasalahan perdata yang diajukan dalam bentuk permohonan yang ditandatangani pemohon atau kuasanya yang ditujukan kepada Ketua Pengadilan Negeri.

Menurut M Yahya Harahap permohonan sering disebut dengan gugatan volunter dan Mahkamah agung menggunakan istilah Permohonan.Perkara permohonan masuk dalam pengertian yurisdiksi volunter. Berdasarkan permohonan tersebut,hakim akan memberi suatu “Penetapan” .

Sementara soal gugatan, Yahya menjelaskan bahwa gugatan mengandung sengketa di antara kedua belah pihak atau lebih. Permasalahan yang diajukan dan diminta untuk diselesaikan dalam gugatan merupakan sengketa atau perselisihan di antara para pihak. Penyelesaian sengketa di pengadilan ini melalui proses sanggah-menyanggah dalam bentuk replik dan duplik. Dalam perundang-undangan, istilah yang dipergunakan adalah gugatan perdata atau gugatan saja.

BENTUK PERMOHONAN

Dalam hal permohonan, Undang-undang tidak mengatur mengenai bentuk dari suatu permohonan,tetapi berdasarkan praktikny setidak-tidaknya permohonan tersebut harus memenuhi 3 komponen yaitu :

  1. Identitas pemohon ( Nama,pekerjaan,alamat/tempat tinggal).

  2. Dasar permohonan atau peristiwa yang menjadi dasar permohonan cukup memuat dan menjelaskan hubungan hukum antara diri pemohon dengan permasalahan hukum yang dipersoalkan. Permohonan tersebut harus didasarkan pada ketentuan pasal Undang-undang yang menjadi alasan permohonan.

  3. Permintaan pemohon, untuk menyelesaikan kepentingan pemohon sendiri tanpa melibatkan pihak lain.Dalam hal yang demikian maka apa yang dimohonkan pemohon harus mengacu pada penyelesaian kepentingan pemohon tersebut. Yang menjadi acuannya adalah :
    o Isinya merupakan permintaan yang bersifat deklaratif,misalnya menyatakan bahwa pemohon adalah orang yang berkepentingan atas masalah yang dimohon.
    o Apa yang dimohonkan oleh pemohon tidak boleh melibatkan pihak lain yang tidak ikut sebagai pemohon.
    o Tidak boleh memuat permintaan yang bersifat menghukum (condemnatoir) dan yang bersifat ex aequo ex bono.
    o Yang dimohonkan harus dirinci satu per satu apa yang dikehendaki pemohon untuk ditetapkan oleh pengadilan.

Bentuk - Bentuk Gugatan

  1. Gugatan Tertulis

Bentuk gugatan tertulis adalah yang paling diutamakan di hadapan pengadilan daripada bentuk lainnya. Gugatan tertulis diatur dalam Pasal 118 ayat (1) HIR / Pasal 142 Rechtsreglement voor de Buitengewesten (“RBg”) yang menyatakan bahwa gugatan perdata pada tingkat pertama harus dimasukkan kepada Pengadilan Negeri dengan surat permintaan yang ditandatangani oleh penggugat atau kuasanya. Dengan demikian, yang berhak dan berwenang dalam mengajukan surat gugatan adalah;
(i) penggugat dan atau
(ii) kuasanya.

  1. Gugatan Lisan

Bagi mereka yang buta huruf dibuka kemungkinan untuk mengajukan gugatan secara lisan kepada Ketua Pengadilan Negeri yang berwenang untuk mengadili suatu perkara perdata, karena bentuk gugatan lisan diatur dalam Pasal 120 HIR (Pasal 144 RBg) yang berbunyi: “bilamana penggugat buta huruf maka surat gugatannya dapat dimasukkan dengan lisan kepada Ketua Pengadilan Negeri, yang mencatat gugatan atau menyuruh mencatatnya”. Ketentuan gugatan lisan yang diatur HIR ini, selain untuk mengakomodir kepentingan penggugat buta huruf yang jumlahnya masih sangat banyak di Indonesia pada masa pembentukan peraturan ini, juga membantu rakyat kecil yang tidak mampu menunjuk jasa seorang advokat atau kuasa hukum karena dapat memperoleh bantuan dari Ketua Pengadilan yang berwenang untuk mengadili suatu perkara perdata untuk membuatkan gugatan yang diinginkan.

Perbedaan Berdasarkan Ciri

Permohonan

  1. Masalah yang diajukan bersifat kepentingan sepihak saja.
  2. Permasalahan yang dimohon penyesuaian kepada Pengadilan Negeri pada prinsipnya tanpa sengketa dengan pihak lain.
  3. Tidak ada orang lain atau pihak ketiga yang ditarik sebagai lawan, tetapi bersifat bebas murni dan mutlak satu pihak (ex-parte).
  4. Hakim mengeluarkan suatu penetapan.

Gugatan

  1. Permasalahan hukum yang diajukan ke pengadilan mengandung sengketa.
    
  2. Terjadi sengketa di antara para pihak, di antara 2 (dua) pihak atau lebih.
  3. Pihak yang satu berkedudukan sebagai penggugat dan pihak yang lainnya berkedudukan sebagai tergugat.
    
  4. Hakim mengeluarkan putusan untuk dijatuhkan kepada pihak yang berperkara.