Penyusunan Sejarah

Kisah Sufi

Konon, ada sebuah kota yang terdiri dari dua jalan yang sejajar. Seorang darwis berjalan lewat salah satu jalan itu, dan ketika ia mencapai jalan yang satu lagi, orang-orang melihat matanya berlinang air mata.

“Ada yang meninggal di jalan sebelah itu!” teriak seseorang. Anak-anak yang di sekitar itupun segera mendengar teriakan tersebut.

Yang sebenarnya terjadi adalah bahwa darwis itu telah mengupas bawang.
Dalam sekejap teriakan itu telah mencapai jalan pertama; dan orang-orang dewasa di kedua jalan itu begitu sedih dan khawatir (sebab masyarakat di kedua jalan itu masih saling berebut) sehingga mereka takut mengusut sebab-musabah kehebohan itu sampai tuntas.

Seorang bijaksana berusaha bernalar dengan orang-orang di kedua jalan tersebut, menanyakan mengapa mereka tidak mengusut sebab-musababnya. Dalam keadaan begitu bingung untuk memahami yang dikatakannya sendiri, beberapa orang berucap,

“Yang kami tahu, ada wabah di jalan sana.”

Kabar burung ini pun menyebar bagai kobaran api sehingga orang-orang di jalan ini beranggapan orang-orang di jalan yang lain tertimpa bencana; demikian pula sebaliknya.

Ketika ketenangan kembali terasa, masing-masing masyarakat memutuskan untuk pindah saja demi keselamatan. Demikianlah, akhirnya kedua jalan di kota itu sama sekali ditinggalkan penghuninya.

Kini, beberapa abad kemudian, kota itu masih ditinggalkan; tidak berapa jauh darinya terdapat dua buah desa.
Masing-masing desa mempunyai kisahnya sendiri tentang bagaimana mula-mula rakyatnya mengadakan perpindahan dari sebuah kota yang tertimpa bencana, beruntung bisa melarikan diri dari malapetaka tak dikenal, pada masa yang jauh lampau.

Catatan
Dalam ajaran kejiwaannya, para Sufi menyatakan bahwa penyampaian pengetahuan secara biasa mudah menyebabkan kekeliruan karena adanya penambahan atau pengurangan dan ingatan yang salah; karenanya pengetahuan semacam itu tidak bisa dipergunakan sebagai pengganti persepsi langsung atas kenyataan.
Kisah yang menggambarkan subyektivitas otak manusia ini dikutip dari buku pelajaran Asrar-i-Khilwatia ‘Rahasia Para Pertapa,’ karangan Syeh Qalandar Syah, anggota Kaum Suhrawardi, yang meninggal tahun 1832. Makamnya di Lahore, Pakistan.