Peningkatan Nilai Guna Bahan Bakar Nuklir Dengan Kombinasi PWR-CANDU

https://i1.wp.com/warstek.com/wp-content/uploads/2018/02/bruce-npp.jpg

PLTN kontemporer pada umumnya menggunakan teknologi pressurised water reactor (PWR). Sekitar 64% dari seluruh PLTN di dunia merupakan tipe PWR[1]. Desainnya sudah well-established. Namun, PWR masih memiliki ganjalan pada pemanfaatan bahan bakar.

Konfigurasi reaktor nuklir PWR tidak didesain untuk mampu memanfaatkan potensi bahan bakar secara optimal. Nilai pemanfaatan bahan bakarnya hanya berkisar 0,5%. Angka ini didapatkan dari data bahwa tiap tahunnya, PWR berdaya 1.000 MWe membutuhkan 200 ton uranium alam, tetapi yang mampu ‘dibakar’ hanya 1,2 ton[2]. Hasilnya, sebagian besar potensi uranium masih tersia-siakan.

Bahan bakar nuklir memang murah. Tetapi menyia-nyiakan 99,5% potensi energi yang terkandung di dalamnya juga bukan tindakan bijak.

Saat penulis mengikuti FGD Reaktor Daya Eksperimental (RDE) pada Kamis (10/3) 2018, salah satu narasumber sempat mengatakan bahwa kalau Indonesia membangun PLTN skala besar, yang pertama kali dibangun adalah PWR. Penulis tidak tahu seberapa besar kemungkinan pilihan PWR itu akan terealisasi. Namun, seandainya terealisasi, maka harus dipikirkan bagaimana caranya agar pemanfaatan bahan bakar nuklir bisa lebih baik dari sekarang.

Cara terbaik untuk memanfaatkan seluruh potensi uranium selaku bahan bakar nuklir adalah dengan menggunakan reaktor cepat (fast reactor) yang termasuk dalam kategori reaktor maju, misalnya sodium-cooled fast reactor (SFR). Konfigurasi reaktornya didesain agar netron berlebih dari reaksi fisi dapat dimanfaatkan dengan baik oleh uranium-238, sehingga dapat dikonversi menjadi plutonium-239 dengan optimal[3]. Persoalannya, reaktor ini belum sepenuhnya komersial.

Alternatif lain yang paling dekat adalah dengan menggunakan reaktor nuklir tipe Canadian deuterium uranium (CANDU). Reaktor nuklir tipe ini menggunakan uranium alam sebagai bahan bakarnya, alih-alih uranium diperkaya sebagaimana PWR. Hal ini disebabkan nilai ekonomi netron CANDU lebih baik dari PWR[4]. CANDU menggunakan moderator berupa air berat (D2O), yang menyerap netron lebih sedikit daripada air ringan (H2O). Jadi, netron dapat digunakan secara maksimal oleh bahan bakar.

Walau umumnya menggunakan bahan bakar uranium alam, CANDU dapat menurunkan konsumsi uranium jika menggunakan bahan bakar yang sedikit diperkaya, hingga 1,6%. Mengingat bahan bakar bekas PWR mengandung bahan bakar fisil antara 1,4-1,5%, ada peluang bahwa bahan bakar bekas PWR bisa dimanfaatkan di reaktor CANDU.

Seberapa baik peningkatannya nilai pemanfaatannya?

Ozdemir et al telah menganalisis peluang tersebut dalam jurnalnya, Burnup analysis, natural U requirement and nuclear resource utilization in a combined PWR-CANDU system: Complete coprocessing and DUPIC scenarios[5]. Dalam jurnal ini, disimulasikan seberapa besar potensi peningkatan nilai pemanfaatan uranium jika bahan bakar bekas PWR dipakai di CANDU, dalam hal ini tipe CANDU-6 dengan daya 600 MWe.

Bahan bakar bekas PWR yang disimulasikan memiliki derajat bakar 33.000, 40.000 dan 50.000 MWd/tU*. Masing-masing menggunakan 221,8 , 212,9 dan 206, 8 ton uranium alam per tahunnya. Untuk perbandingan, CANDU-6 yang menggunakan bahan bakar uranium alam menggunakan 159,4 ton uranium alam tiap tahunnya dengan daya yang sama[5].

  • Satuan ini menunjukkan berapa daya termal yang mampu dibangkitkan dalam sehari per ton uranium

Skenario yang dipertimbangkan dalam jurnal Ozdemir et al ada dua, yakni complete coprocessing (CC) dan direct use of PWR spent fuel in CANDU (DUPIC). Skenario CC berarti sepenuhnya memisahkan uranium dan plutonium dalam bahan bakar bekas dari produk fisi dan elemen transuranik. DUPIC hanya membersihkan bahan bakar bekas dari produk fisi volatil dan semi-volatil seperti iodin, cesium, kripton, xenon, molybdenum, cadmium dan indium[5]. Produk fisi lain serta elemen transuranik dibiarkan dalam bahan bakar bekas.

Pada kedua skenario, terjadi peningkatan nilai pemanfaatan uranium dengan cukup drastis. Dari awalnya butuh sekitar 200 ton uranium alam per tahun, ketika digunakan lagi di CANDU-6, kebutuhan bersihnya turun menjadi 130-160 ton uranium alam. Artinya, CANDU dapat digunakan sebagai pembakar uranium lanjutan dari PWR.

Simulasi yang dilakukan menunjukkan bahwa nilai pemanfaatan bahan bakar pada sistem CC lebih baik dari sistem DUPIC. Derajat bakar uranium pada sistem CC lebih tinggi daripada derajat bakar sistem DUPIC. Hal ini wajar, karena pada sistem DUPIC, tangkapan parasitik netron lebih tinggi, akibat ditinggalkannya sebagian besar produk fisi dan elemen transuranik. Netron yang harusnya ditangkap oleh uranium dan plutonium malah ditangkap oleh produk fisi dan transuranik. Jadi derajat bakar yang dihasilkan pun lebih rendah[5].

Pada kedua skenario, bahan bakar bekas PWR dengan derajat bakar paling rendah (33.000 MWd/tU) memiliki nilai pemanfaatan paling baik. Ozdemir et al menjelaskan bahwa hal tersebut diakibatkan ‘kompetisi’ tangkapan netron. Pada skenario CC, kompetisi terjadi antara kenaikan persen isotop fisil dengan tangkapan parasitik oleh kontaminasi isotop fertil dalam bahan bakar bekas (uranium-236, plutonium-240 dan plutonium-242)[5].

Lebih tingginya tangkapan parasitik pada bahan bakar bekas dengan derajat bakar lebih tinggi (50000 MWd/tU) menyebabkan berkurangnya nilai pemanfaatan netron, selaras dengan turunnya nilai pemanfaatan bahan bakar[5]. Namun, penurunannya tidak begitu besar.

Pada skenario DUPIC, penurunan nliai pemanfaatan bahan bakar juga terjadi, tetapi lebih signifikan. Pasalnya, kompetisi yang terjadi bukan hanya pada naiknya persen isotop fisil dan tangkapan parasitik isotop fertil saja, tapi juga tangkapan parasitik oleh produk fisi dan transuranik[5]. Akibatnya, kenaikan persen isotop fisil tidak linier dengan kenaikan derajat bakar, sehingga menurunkan nilai pemanfaatan bahan bakar.

Hasil simulasi Ozdemir et al dirangkum dalam tabel-tabel berikut.

image

Dari sini, tampak bahwa skenario CC lebih optimal dalam memanfaatkan nilai pemanfaatan uranium. Sehingga, dalam sistem kopel antara PWR-CANDU, ditinjau dari nilai pemanfaatannya, skenario CC adalah yang paling layak.

Patut dicatat bahwa penelitian di atas tidak mempertimbangkan biaya dari sistem reprosesing yang dimaksud. Skenario CC jelas akan lebih mahal daripada skenario DUPIC, karena reprosesing yang dilakukan lebih komplit. Namun, mengingat biaya bahan bakar merupakan komponen yang kontribusinya paling kecil dalam PLTN, maka kemungkinan besar biaya bahan bakar finalnya tidak signifikan.

Perlu dicatat juga bahwa peningkatan nilai pemanfaatan uranium terbaik masih berada pada angka 127 ton uranium alam per tahun. Artinya, nilai pemanfaatan bahan bakarnya masih 0,94%. Walau realitanya, peningkatan kurang dari setengah persen ini cukup untuk membangkitkan listrik berlimpah (600 MWe) selama setidaknya setahun.

Karena itu, sistem kopel PWR-CANDU hanyalah alternatif sementara saja. Untuk keberlangsungan energi nuklir yang paling baik, kita tetap harus menggunakan reaktor maju.

Referensi

  1. World Nuclear Association. 2016. World Nuclear Performance June 2016. London: WNA.
  2. Jacopo Buongiorno. 2010. Heavy Water, Gas and Liquid Metal Cooled Reactor. Massachusetts: Center for Advanced Nuclear Energy Systems, Massachusetts Institute of Technology.
  3. World Nuclear Association. Generation IV Nuclear Reactors. Diperbarui Desember 2017. (Generation IV Nuclear Reactors: WNA - World Nuclear Association), diakses 17 Januari 2018.
  4. William Garland (peny.). 2015. The Essential CANDU, A Textbook on the CANDU Nuclear Power Plant Technology. Kanada: University Network of Excellence in Nuclear Engineering.
  5. Levent Ozdemir et al. 2016. Burnup analysis, natural U requirement and nuclear resource utilization in a combined PWR-CANDU system: Complete coprocessing and DUPIC scenarios. Progress in Nuclear Energy 91:140-146.