Penggunaan Pasal Percobaan untuk Tindak Pidana Terkait Ketenagakerjaan

image
Jika ada seorang advokat yang sedang menangani kasus keluarga teman secara prodeo. Klien diduga melanggar Pasal 102, 103, 104 UU No. 39/2004 tentang Penempatan dan Perlindungan TKI di Luar Negeri. Kronologis: Klien terdakwa karena ketidaktahuannya berencana memberangkatkan teman-temannya ke Malaysia atas permintaan keluarganya yang di Malaysia, namun di bandara ditangkap polisi karena dokumen dan uang tunjuknya kurang, jadi posisinya belum sempat berangkat.
Apakah UU 39/2004 ini termasuk lex spesialis?
Apakah tidak bisa dengan KUHP pasal percobaan? Terimakasih.

Dasar Hukum Penempatan dan Perlindungan TKI di Luar Negeri

Undang-Undang Nomor 39 Tahun 2004 tentang Penempatan dan Perlindungan Tenaga Kerja Indonesia di Luar Negeri (“UU PPTKI”) merupakan undang-undang yang secara khusus mengatur tentang penempatan dan perlindungan Tenaga Kerja Indonesia (“TKI”) di luar negeri. UU PPTKI bertujuan untuk menempatkan TKI pada jabatan yang tepat sesuai dengan keahlian, keterampilan, bakat, minat, dan kemampuannya, serta untuk melindungi hak-hak TKI.

Selain itu, penempatan TKI di luar negeri disinggung dalam Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan (“UU Ketenagakerjaan”). Pasal 34 UU Ketenagakerjaan mengamanatkan agar penempatan TKI di luar negeri diatur lebih lanjut dengan undang-undang. Oleh sebab itu, Indonesia memberlakukan UU PPTKI sejak 18 Oktober 2004. Penempatan TKI di luar negeri yang diatur lebih lanjut dalam undang-undang di luar UU Ketenagakerjaan (UU PPTKI) adalah implementasi atas asas lex specialis derogat legi generalis.

Hubungan UU Ketenagakerjaan, UU PPTKI, dan KUHP

Lex specialis derogat legi generalis merupakan salah satu asas hukum yang artinya ketentuan khusus mengesampingkan ketentuan umum. Bagir Manan dalam bukunya Hukum Positif Indonesia, menyatakan bahwa salah satu prinsip yang harus diperhatikan dalam asas lex specialis derogat legi generalis yaitu:
Ketentuan-ketentuan lex specialis harus sederajat dengan ketentuan-ketentuan lex generalis.

Derajat/hierarki peraturan perundang-undangan diatur dalam Pasal 7 ayat (1) Undang-undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan (“UU 12/2011”), yakni:

  1. Undang-undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945
  2. Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat
  3. Undang-undang/Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang
  4. Peraturan Pemerintah
  5. Peraturan Presiden
  6. Peraturan Daerah Provinsi
  7. Peraturan Daerah Kabupaten/Kota.

Jika Pasal 7 ayat (1) UU 12/2011 dikaitkan dengan pendapat Bagir Manan yang telah disebutkan sebelumnya, maka antara lex specialis dengan lex generalis harus sederajat, misalnya undang-undang dengan undang-undang. Sehingga, UU PPTKI merupakan lex specialis terhadap UU Ketenagakerjaan karena UU Ketenagakerjaan mengatur ketentuan tentang tenaga kerja secara umum, baik tenaga kerja yang berada di dalam maupun di luar negeri.

Sementara, UU PPTKI hanya mengatur ketentuan tentang penempatan TKI di luar negeri. Selain dengan UU Ketenagakerjaan, UU PPTKI juga memiliki hubungan dengan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (“KUHP”) karena UU PPTKI mengatur tentang sanksi pidana. UU PPTKI merupakan lex specialis terhadap KUHP karena subjek yang dilindungi dalam UU PPTKI bersifat khusus, yaitu TKI yang akan atau sedang bekerja di luar negeri, sementara subjek yang dilindungi dalam KUHP bersifat umum, yaitu semua orang.

Tentang Percobaan Tindak Pidana

Terkait pertanyaan Anda yang kedua, kami terlebih dahulu akan menjelaskan tentang Percobaan. UU PPTKI tidak memberikan definisi dari Percobaan (poging), namun dalam Pasal 53 ayat (1) KUHP diatur 3 (tiga) syarat Percobaan, yakni:

  1. Adanya niat
  2. Adanya permulaan pelaksanaan
  3. Tidak selesainya pelaksanaan itu karena sebab-sebab yang berasal dari luar kemauan pelaku (bukan karena kehendaknya sendiri).

R. Soesilo dalam bukunya Kitab Undang-undang Pidana (KUHP) serta Komentar-komentarnya Lengkap Pasal demi Pasal, menyatakan bahwa perbuatan pelaksanaan telah ada jika orang melakukan suatu anasir atau elemen dari peristiwa pidana. Misalnya, suatu anasir dari delik pencurian ialah “mengambil”, jika pencuri telah mengacungkan tangannya ke barang yang akan diambil, itu berarti bahwa ia telah mulai melakukan anasir “mengambil” tersebut. Sementara, tidak selesainya perbuatan dikarenakan hal-hal yang berasal dari luar kemauan pelaku.

Sumber