Pengaturan Euthanasia di Indonesia


Tindakan dokter yang sudah lepas tangan terhadap pasien yang gawat dengan menyuruhnya pulang atau tetap di RS tanpa dilakukan apa-apa terhadapnya apakah itu termasuk euthanasia secara tidak langsung dan apakah ada sanksi terhadap hal seperti itu?

Pada prinsipnya, hak untuk hidup merupakan hak fundamental atau hak asasi dari setiap manusia. Konstitusi kita yakni UUD 1945 melindungi hak untuk hidup ini dalam Pasal 28A UUD 1945 yang menyebutkan bahwa setiap orang berhak untuk hidup serta berhak mempertahankan hidup dan kehidupannya.

Terkait dengan euthanasia yang Anda tanyakan, kami sarikan penjelasan dari Majalah Hukum Forum Akademika, Volume 16 No. 2 Oktober 2007 dalam esei dari Haryadi, S.H., M.H., Dosen Bagian Hukum Pidana Fakultas Hukum Universitas Jambi, yang berjudul Euthanasia Dalam Perspektif Hukum Pidana yang kami unduh dari laman resmi Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) http://isjd.pdii.lipi.go.id.

Disebutkan bahwa euthanasia berasal dari kata Yunani euthanatos, mati dengan baik tanpa penderitaan. Belanda salah satu negara di Eropa yang maju dalam pengetahuan hukum kedokteran mendefinisikan euthanasia sesuai dengan rumusan yang dibuat oleh Euthanasia Study Group dari KNMG (Ikatan Dokter Belanda), yang menyatakan euthanasia adalah dengan sengaja tidak melakukan sesuatu untuk memperpendek hidup atau mengakhiri hidup seorang pasien, dan ini dilakukan untuk kepentingan pasien sendiri (M. Yusup & Amri Amir, 1999:105).

Sebagaimana dikutip Haryadi, menurut Kartono Muhammad, euthanasia dapat dikelompokkan dalam 5 kelompok yaitu:

  1. Euthanasia pasif, mempercepat kematian dengan cara menolak memberikan/mengambil tindakan pertolongan biasa, atau menghentikan pertolongan biasa yang sedang berlangsung.
  2. Euthanasia aktif, mengambil tindakan secara aktif, baik langsung maupun tidak langsung yang mengakibatkan kematian.
  3. Euthanasia sukarela, mempercepat kematian atas persetujuan atau permintaan pasien.
  4. Euthanasia tidak sukarela, mempercepat kematian tanpa permintaan atau persetujuan pasien, sering disebut juga sebagai merey killing.
  5. Euthanasia nonvolountary, mempercepat kematian sesuai dengan keinginan pasien yang disampaikan oleh atau melalui pihak ketiga, atau atas keputusan pemerintah (Kartono Muhammad, 1992:19).

Jadi, tindakan dokter yang sudah lepas tangan terhadap pasien yang gawat dengan menyuruhnya pulang atau tetap di Rumah Sakit tanpa dilakukan tindakan medis lebih lanjut dapat dikategorikan sebagai euthanasia pasif sesuai dengan pembagian di atas. Namun, Anda tidak menyebutkan apakah ada persetujuan pihak keluarga maupun pasien dalam hal ini.

Jika dikaitkan kembali dengan hak asasi manusia, euthanasia tentu melanggar hak asasi manusia yaitu hak untuk hidup. Dalam salah satu artikel hukumonline Meski Tidak Secara Tegas Diatur, Euthanasia Tetap Melanggar KUHP, pakar hukum pidana Universitas Padjadjaran Komariah Emong berpendapat, Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (“KUHP”) mengatur tentang larangan melakukan euthanasia. yakni dalam Pasal 344 KUHP yang bunyinya:

“Barang siapa merampas nyawa orang lain atas permintaan orang itu sendiri yang jelas dinyatakan dengan kesungguhan hati, diancam dengan pidana penjara paling lama dua belas tahun.”

Dari ketentuan tersebut, jelas bahwa yang diatur dalam KUHP adalah euthanasia aktif dan sukarela. Sehingga, menurut Haryadi, dalam praktiknya di Indonesia, Pasal 344 KUHP ini sulit diterapkan untuk menyaring perbuatan euthanasia sebagai tindak pidana, sebab euthanasia yang sering terjadi di negara ini adalah yang pasif, sedangkan pengaturan yang ada melarang euthanasia aktif dan sukarela.

Pada sisi lain, Komariah berpendapat, walaupun KUHP tidak secara tegas menyebutkan kata euthanasia, namun, berdasarkan ketentuan Pasal 344 KUHP seharusnya dokter menolak melakukan tindakan untuk menghilangkan nyawa, sekalipun keluarga pasien menghendaki. Menurutnya, secara hukum, norma sosial, agama dan etika dokter, euthanasia tidak diperbolehkan.

sumber: hukumonline.com

1 Like