Pengaruh Hubungan Bahasa Dengan Gaya Komunikasi Oleh Tokoh Pemerintah

Bahasa dipayungi oleh budaya yang perlu diperhitungkan dalam menginterpretasikan makna sesuai dengan konteks situasi yang relevan. Pada saat menggunakan bahasa, orang tidak hanya merepresentasikan pikiran yang terdapat pada benaknya (bersifat konstantif), tetapi juga melakukan tindakan (bersifat performatif). Tuturan konstantif diuji dari persyaratan kebenaran (truth condition), sementara tuturan performatif diuji dengan kesahihan (felocity condition). Namun ada kalanya suatu tindak tutur ternyata tidak sesuai ketika diuji dari kebenarannya. Dalam hal ini, bisa dimungkinkan timbulnya kekecewaan atau ekspektasi yang tidak diharapkan. Misalnya ketika situasi pandemik virus Corona ini, masyarakat Indonesia mengharapkan ada berita baik datang yang disampaikan oleh pemerintah, ketika pemberitaan justru masif dengan korban kematian virus Corona yang membuat masyarakat Indonesia semakin khawatir. Oleh sebab itu, masyarakat Indonesia menyuarakan keinginannya agar pemerintah mampu menetapkan cara yang memungkinkan penyebaran virus Corona terhenti. Namun justru pemerintah, di tengah kekhawatiran masyarakat yang sedang memuncak, masih ditemukan beberapa tokoh pemerintah yang kurang memperhatikan bagaimana mereka menyampaikan informasi di depan publik. Kurangnya memperhatikan kata-kata, sehingga keluarlah kata-kata yang sembarang yang di mana bisa timbul kesalahpahaman antara penutur dan pendengar.

Salah satu tokoh pemerintah yang cara komunikasinya sangat berpengaruh di kondisi seperti ini ialah, juru bicara Presiden, yang dalam kasus ini bertugas untuk menyampaikan informasi dan hal-hal yang berkaitan dengan Corona. Pada saat itu, pada konferensi pers di mana beliau mengatakan, “Yang sakit melindungi yang sehat agar tidak menularkan penyakitnya, yang sehat melindungi yang sakit agar tidak keluar dari rumah dan melakukan kegiatan yang tidak perlu di luar rumah. Yang kaya melindungi yang miskin agar bisa hidup dengan wajar, dan yang miskin melindungi yang kaya agar tidak menularkan penyakitnya. Ini menjadi kerja sama yang penting.” Membuat banyak masyarakat marah dan tersinggung. Pikir masyarakat miskin Indonesia, “Sudah ditelantarkan oleh negera, orang miskin juga dituduh sebagai pembawa penyakit!" Di sini tidak terjadi timbal balik di antara para interlokutor karena tuturan performatif yang diharapkan tidak terwujud. Keinginan masyarakat untuk mendapatkan perlindungan dari pemerintah tidak terwujud. Justru yang didapatkan adalah informasi yang dianggap meremehkan rakyat miskin—dengan dianggap penular virus Corona.

Memahami informasi dalam bahasa memang tidak selalu mengacu pada tindak tutur yang tersurat, melainkan juga pada yang tersirat. Dalam hal ini komunikasi dapat berlangsung dengan baik, oleh adanya prinsip kerja sama (cooperative principles) yang perlu dipatuhi oleh penutur dan petutur. Kita dapat mengetahui bahwa prinsip kerja sama terkait dengan beberapa bidal (maxims). Bidal kuantitas, bidal kualitas, bidal relevansi, dan bidal cara. Dalam tuturan yang pak Achmad Yurianto sampaikan, tuturan tersebut tidak memenuhi beberapa bidal. Bidal kuantitas terpenuhi karena informasinya lengkap. Bidal relevansi terpenuhi karena topiknya relevan dengan tujuan komunikasi, yakni untuk menyampaikan sebuah pesan. Namun, bidal kualitas tidak terpenuhi karena meskipun informasinya jelas, namun menimbulkan kesenjangan komunikasi. Sama halnya bidal cara juga tidak terpenuhi karena penutur tidak menggunakan sapaan yang berterima. Masyarakat yang mendengar dapat berasumsi bahwa dalam tuturan yang disampaikan, konteksnya justru menekankan bahwa orang miskin penyebab penularan virus Corona. Orang miskin yang menyebabkan penyakit itu menular ke sesama orang miskin maupun orang kaya.

Bahasa dalam komunikasi berisi kaidah-kaidah yang mengatur cara seorang bertutur agar hubungan interpersonal dari para interlokutor terpelihara dengan baik. Dua prasyarat dalam kompetensi pragmatik yang berterima adalah jelas dan sopan. Apa yang disampaikan oleh Pak Achamd Yurianto jelas, namun tidak sopan. Seyogyanya penutur menyampaikan tindak tuturnya dengan mengikuti kedua prasyarat tersebut. Namun jika ia harus memilih mana yang harus diutamakan, ia harus mengedepankan prinsip sopan santun untuk menjaga harga diri dan perasaan petutur daripada tercapainya kejelasan dengan cara yang tidak sopan. Dan pak Achmad Yurianto lebih memilih mengedepankan kejelasan pesan daripada menjaga perasaan masyarakat miskin. Kalimat "Yang sakit melindungi yang sehat agar tidak menularkan penyakitnya, yang sehat melindungi yang sakit agar tidak keluar dari rumah dan melakukan kegiatan yang tidak perlu di luar rumah. Yang kaya melindungi yang miskin agar bisa hidup dengan wajar, dan yang miskin melindungi yang kaya agar tidak menularkan penyakitnya. Ini menjadi kerja sama yang penting." Seharusnya bisa disederhanakan menjadi, "Yang sakit melindungi yang sehat agar tidak menularkan penyakitnya, yang sehat melindungi yang sakit agar tidak keluar dari rumah dan melakukan kegiatan yang tidak perlu di luar rumah. Ini menjadi kerja sama yang penting." Pada kalimat kedua terdapat kasus adanya kesadaran pada pihak penutur terhadap harga diri dan rasa hormat pada petutur. Tindak tutur tersebut akan lebih berterima daripada kalimat pertama yang disampaikan oleh penutur. Karena penyakit tidak mengenal kelas sosial. Selain itu, terdapat juga rumusan tentang kaidah sopan santun, yakni: a) jangan memaksakan, b) berilah kebebasan, dan c) ciptakan rasa sejuk dan bersahabat. Jika kalimat yang menandakan kelas sosial ditiadakan, maka kalimat tersebut mampu menciptakan rasa sejuk dan bersahabat. Memenuhi beberapa bidal yang tidak terpenuhi, juga mengedepankan prinsip sopan santun.

Secara tersirat bahasa mengandung norma dan etika yang mengatur cara seseorang harus berperilaku dan agar diperlakukan dengan baik. Penggunaan bahasa untuk komunikasi perlu sesuai dengan konteks situasinya. Pilihan diksi dan intonasi juga perlu dipertimbangkan, agar petutur merasa nyaman dan tidak merasa dipaksakan untuk melaksanakan permintaan itu. Dengan kata lain, adanya keragaman tersebut berkait dengan sikap mematuhi prinsip sopan santun, yang mencerminkan iktikad manusia untuk saling menghargai ketika melakukan kegiatan kerja sama saat bertindak tutur itu.

Pada dasarnya manusia memang berkehendak untuk saling menghargai dan dihargai, untuk saling menghormati dan dihormati. Ini merupakan suatu aspek universal, karena sebagai makhluk sosial, pada dasarnya manusia berkehendak untuk hidup dalam kondisi nyaman dan sedikit mungkin mengalami konflik ketika berhubungan dengan sesamanya. Konflik itu seharusnya memang dihindari. Sesungguhnya negara ini memerlukan wakil rakyat yang mampu menggunakan bahasa dengan santun dalam komunikasinya dan dalam memperjuangkan kepentingan bangsa dan negara sebagaimana dicontohkan oleh para pendiri negara pada saat menjelang dan awal kemerdekaan negara kita. Sebagai Juru Bicara Presiden, pak Achmad Yurianto perlu mampu berbahasa dengan baik untuk dapat memposisikan dirinya dalam pemerintahan. Untuk itu, saya menyarankan Bapak Juru Bicara Presiden untuk meningkatkan kemampuan komunikatif jika kelak hendak kembali menyampaikan pesan untuk masyarakat luas. Kemampuan komunikatif tersebut terbentuk dari empat kompetensi, yakni a) kompetensi gramatikal yang berkait dengan penguasaan sistem bahasa, meliputi pilihan kosakata, pembentukan kata, penyusunan kalimat dan pemahaman makna kalimat; b) kompetensi sosiolinguistik, yang berkait dengan pemahaman dan penyusunan ujaran dalam konteks situasi yang relevan; c) kompetensi kewacanaan, yang berkait dengan pemahaman dan pembentukan wacana, serta d) kompetensi strategis yang berkait dengan strategi berkomunikasi yang efektif. Kemampuan komunikatif tersebut bisa Bapak pelajari mulai hari ini.

Memang benar adanya, bahwa manusia tidak luput dari kesalahan. Namun, seharusnya, sebagai seseorang yang berada di pemerintahan—di mana untuk masuk ke dalam pemerintahan adalah sulit dan melalui seleksi yang tidak sembarang, kejadian yang seperti di atas adalah sangat amat disayangkan. Untuk itu, baiknya orang-orang yang berpengaruh dalam masyarakat, mampu berbahasa dan berkomunikasi dengan baik. Dengan semakin baiknya kualitas kita saat berkomunikasi, maka kualitas diri pun akan nampak semakin baik pula. Terlebih, orang-orang pemerintahan. Masyarakat Indonesia tidak akan merasa salah memilih Bapak/Ibu pemerintah. Meski masyarakat Indonesia lebih butuh tindakan daripada ucapan, setidaknya dengan kata-kata, masyarakat bisa dibuat sedikit tenang. Tidak dengan malah munculnya emosi ketika mendengar pernyataan yang diberikan.