Peneliti Hidupkan Kembali Otak Babi di Luar Tubuhnya

Baru-baru ini, para peneliti melakukan percobaan yang menimbulkan kontroversi. Percobaan tersebut adalah menghidupkan kembali otak babi di luar tubuhnya.

Pertama kalinya di dunia, para ilmuwan melakukan hal tersebut terhadap 200 otak babi. Mereka juga menjaganya tetap hidup di luar tubuh selama 36 jam. Otak babi tersebut didapatkan dari rumah jagal. Selanjutnya, sirkulasi mereka dipulihkan dengan sistem pompa, pemanas, dan darah buatan. Jika sebelumnya para peneliti yakin bahwa otak tanpa tubuh akan menjadi tidak sadar, mereka justru menemukan hal sebaliknya. Mereka mendapati miliaran sel mulai berfungsi normal setelah perawatan.

Hasil ini diumumkan pada pertemuan yang diselenggarakan oleh Institut Kesehatan Nasional AS (NIH). Selanjutnya, penelitian ini juga dilaporkan dalam MIT Technology Review. Dr Nenad Sestan, pemimpin penelitian ini menggambarkan hasilnya sebagai sesuatu yang “membingungkan” dan “tak terduga”. Dia juga mengungkapkan kekhawatirannya tentang potensi aplikasi di masa depan pada manusia. Untuk mendapat temuan ini, tim peneliti dari Yale University, AS menempatkan elektroda pada permukaan luar organ. Elektroda inilah yang bisa menangkap tanda-tanda aktivitas listrik yang mengisyaratkan pikiran atau perasaan.

Mulanya, hasil menunjukkan bahwa otak sadar sebagian. Sayangnya, ini keliru dan membuat para ilmuwan menyimpulkan bahwa mereka menghasilkan gelombang otak datar sebanding dengan orang yang sedang koma. “Otak binatang itu tidak menyadari apapun, saya sangat yakin akan hal itu,” ungkap Dr Sestan dikutip dari The Independent, Jumat (27/04/2018). Jika hal ini bisa diulang pada otak manusia, maka para peneliti bisa menggunakannya untuk menguji perawatan baru untuk gangguan neurologis. Meski begitu, Dr Sesta adalah orang pertama yang juga memunculkan masalah etika. Salah satunya adalah apakah otak tersebut memiliki kesadaran atau tidak. “Secara hipotesis, seseorang menggunakan teknologi ini, membuatnya lebih baik, dan memulihkan aktivitas [otak] seseorang,” katanya.

Jika memiliki kesadaran, otak tersebut harus mendapat perlindungan khusus. Tak hanya itu, teknik yang digunakan harus bisa membantu memperpanjang rentang hidup seseorang. Dalam sebuah komentar yang diterbitkan dalam Journal Nature, Dr Sestan dan para ahli saraf lain menyerukan peraturan yang jelas untuk membimbing mereka dalam melakukan pekerjaan.

“Jika peneliti bisa membuat jaringan otak di laboratorium yang mungkin tampak memiliki pengalaman sadar atau status fenomenal subyektif, akankah jaringan itu layak mendapat perlindungan yang secara rutin diberikan kepada subyek penelitian baik manusia atau hewan,” tulis mereka dikutip dari BBC, Jumat (27/04/2018). “Pertanyaan ini mungkin tampak aneh. Tentu saja, model eksperimental saat ini jauh dari memiliki kemampuan seperti itu. Tapi berbagai model sekarang sedang dikembangkan untuk lebih memahami otak manusia, termasuk versi miniatur, versi sederhana dari jaringan otak yang tumbuh di piring dari sel induk. Dan kemajuan terus dilakukan,” sambung mereka.

Para peneliti juga menyebut, cara mengukur kesadaran perlu dikembangkan dan batasan ketat perlu ditetapkan. Ini agar para ahli tetap bisa melakukan pekerjaan mereka tanpa mendapat perdebatan publik.

Sumber: