Pemikiran Ibnu Khaldun tentang politik?


gambar

Pemikiran politik yang akan dibahas mencangkup tiga hal besar, yaitu: masyarakat, kota, dan negara.

a. Masyarakat

Mengenai masyarakat Ibnu Khaldun mengemukakan bahwa penyebab masyarakat berkembang ialah karena perbedaan tata pemerintahan dan perubahan keluarga yang memerintah, karena pencampuran kebiasaan tiap-tiap keluarga dengan kebiasaan keluarga yang terdahulu, kencenderungan alami yang terdapat pada orang-orang yang diperintah untuk memerintah datang membawa kebiasaan dan tradisi yang berbeda dengan kebiasan keluarga terdahulunya serta tradisinya. Selama bangsa dan generasi silih berganti raja dan sultan, perbedaan pada kebiasaan-kebiasaan dan hal ikhwalnya akan tetap terjadi (Al Muqoddimah, al Bayan: 253)
Ibnu Khaldun berpandangan bahwa masyarakat lahir berhubungan dengan tabiat dan serta fitrah kerjadianya, masyarakat itu membutuhkan masyarakat, sebab mereka memerlukan kerjasama antar sesama untuk dapat hidup, baik ini dalam rangka memperoleh makanan sehari-hari maupun untuk mempertahankan diri.

b. Negara

Ibnu Khaldun mengemukakan syarat-syarat kepala negara; pertama, berpengetahuan disertai berkesanggupan dalam mengambil keputusan sesuai dengan syariat. Kekuasaan-wibawa politik yang sesuai dengan syariat adalah yang menyebabkan manusia bertindak sesuai dengan perintah syariat untuk kepentingan mereka (baik di dunia ini, maupun dunia lain). Kedua, adil (adalah) dalam menjalankan segala kewajibantermasuk dalam posisinya sebagai saksi. Ketiga, memiliki kesanggupan dalam menjalankan tugas-tugas yang dianut oleh seorang kepala negara, termasuk melaksanakan hukuman yang diputuskan secara konsekuen, menegakkan hukum, kalau perlu dalam memimpin perang. Keempat, scara fisik dan mental bebas dari cacat-cacat yang tidak memungkinkan ia menjalankan tugas sebagai kepala negara dengan baik.
Sistem pemerintahan menurut Ibnu Khaldun ada tiga macam, diantaranya ialah;

  1. Sebuah pemerintahan yang menyerupai otoriter, individualis, otokrasi atau inkonstitusional. Yang mana tujuan negara hanya memintingkan hawa nafsu semata sehingga menyebabkan chaos, perpecahan, instabilitas dan kehancuan.

  2. Pemerintahan berfungsi untuk mengatur negara agara tercapainya kemaslahatan duniawi. Dalam kenyataannya pemerintahan ini menyerupai pemerintahan republik. Dalam satu sisi sistem pemerintahan ini mendapat pujian karena dapat membawa stabiltas dan keteraturan kehidupan, juga membawa kemajuan dan kejayaan negara, namun disisi lain sistem ini cenderung materialistis yang mengenyampingkan kehidupan spiritual dan aspek keagamaan, sehingga tidak mampu mewujudkan kepentingan rakyat yang berhubungan dengan akhirat.

  3. Dan yang ketiga adalah pemerintahan yang sering disebut sebagai kekhalifahan atau keimamahan. Sebuah sistem pemerintahan yang berorientasikan pada religius, yang bertujuan menghimpun seluruh masyarakat untuk bisa hidup bernegara dan hidup untuk mempersiapkan akhirat. Tuhanlah yang memiliki syariat dalam menjaga agama dan mengatur dunia dengan ajarannya.

c. Kota

Apabila umur suatu negara pendek, kehidupan di kota akan terhenti pada ar negara. Peradabannya akan mundur dan kota-kota hancur. Apabila umur negara panjang ,bangunan-bangunan baru akan slalu didirikan di kota jumlah rumah besar bertambah banyak, dan dinding-dinding kota akan terus meluas. Dapat pula suatu kota setelah mengalami kehancuran, kota tersebut digunakan oleh penguasa atau negara lain sebagai pusat pemerintahan dan tempat tinggalnya. Kota juga dapat menjadi tempat pasukan, di sana terdapat perlindunganyang dapat menghadang penyerangan musuh menjadi lebih sukar. Maka kesetiaan pendudu kota terjamin dengan perlindungan ersebut. Ibnu Khaldun sendiri memiliki pandangan bahwa tujuan didirikan kota agar supaya memiliki tempat tinggal serta tempat berlindung. Untuk menghindari bahaya, semua rumah yang ada di sana diberi pagar tembok. Selanjutnya kota diletakkan dalm situasi demikian rupa, hingga untk sampai ke sana harus meintasi semacam jembatan dengan penjagaan dan benteng.

Sumber: Syam, Firdaus. 2007. Pemikiran Politik Barat (Sejarah, Filsafat, Ideologi, dan Pengaruhnya Terhadap Dunia Ke-3). PT Bumi Aksara. Jakarta.

Kondisi sosial semasa hidup seorang tokoh merupakan suatu hal yang memiliki kaitan erat dengan ketokohannya. Keadaan tersebut juga dialami oleh Ibn Khaldun, karena ia tidak dapat dilepaskan dalam stuasi dan kondisi di mana ia dibesarkan.

Kondisi sosial Masyarakat pada masa Ibn Khaldun merupakan masa kemunduran dan perpecahan yang merupakan konsekuensi logis dari adanya konflik yang melanda dunia Islam di Timur dan Barat. Di Afrika Utara bagian Barat yang sering disebut dengan Magrib, tempat di mana Ibn Khaldun dilahirkan dan malang melintang di dunia politik, pada abad ke-14 ditandai dengan kemandegan pemikiran, kemudian oleh kekacauan politik. Kekuasaan Muslim Arab telah jatuh sehingga banyak negara bagian melepaskan diri dari pemerintahan pusat. Konflik, intrik, perpecahan dan kericuhan meluas dalam kehidupan politik dan setiap orang berupaya meraih kekuasaan, Negara- negara di sekitar wilayah tersebut, yaitu Bijayah, Mahdiyah, dan Qal’at saling berperang dan masing-masing berupaya untuk saling mengalahkan.

Di sisi lain, Eropa mulai menampakkan tanda-tanda perubahan dan kebangkitan yang mulai muncul sejak abad ke 13-14. Abad ke-13, Eropa didominasi oleh pemikir konstruktif positif, masa para ahli teologi dan filsafat spekulatif positif. Mereka semua percaya bahwa otak manusia memiliki kemampuan untuk melampaui dunia fenomena dan mencapai kebenaran metafisis (Frederich, 1953).

Ibn Khaldun dilahirkan dari keluarga politisi dan intelektual sekaligus. Suatu cirri khas yang turut serta melatari corak pemikirannya. Tradisi intelektual yang telah ia warisi dari keluarganya dan lagi jalan hidupnya yang ditandai dengan berbagai macam pekerjaan dan kehidupan ilmiah telah membentuk pula kerangka berfikirnya yang realistik dan rasional. Ibn Khaldun adalah seorang aktivis dan pemikir politik sekaligus yang telah menghabiskan seluruh umurnya dalam pertarungan dan petalangan politik dalam berbagai bentuknya di kurun waktu dan bagian dunia tempat di mana ia hidup.

Keterlibatan Ibn Khaldun di bidang p[olitik praktis saat usianya belum juga genap dua puluh tahun. Pada mulanya, ia menjabat sebagai tukang stempel surat pada pemerintahan Abu Muhammad ibn Tafrakin. Tatkala Tafrakin ditaklukan oleh Abu Zaid, salah seorang penguasa Konstantinopel, Ibn Khaldun melarikan diri dan berkerja kepada Sultan Inan di Tlemcen. Ibn Khaldun digaji oleh Ibn Inan sebagai gaji seorang sekretaris dan muwaqqi (Muwaqqi, 1987). Ia mengaku menerima jabatan tersebut dengan setengah hati, karena ia menganggap kedudukan tersebut kurang setara dengan status sosial keluarganya yang turun temurun selalu menjadi orang terhormat di kerajaan.

Meskipun ia mendapat penghargaan tinggi dari sultan, namun hasratnya untuk menjadi orang besar dan disegani memaksanya untuk terjun langsung ke dalam kancah politik praktis dan bekerja sama dengan pihak lain untuk menggulingkan sultan. Hal ini membuktikan bahwa ambisi politiknya telah memnuhi jiwanya meskipun ia masih muda (Mukti, 1979).

Ibn Khaldun membantu Amir Abu Abdullah Muhammad dalam meraih kembali kekuasaanya, dengan syarat kalau usahanya berhasil, ia akan diangkat sebagai perdana menteri. Namun Abu Inan mengetahui persekongkolan tersebut dan segera memerintahkan pasukannya untuk menangkap Ibn Khaldun. Ibn Khaldun mendekam dua tahun dalam penjara, dan selama itu, ia berkali-kali memohon ampun kepada sultan untuk membebaskannya. Menjelang kematiannya, sultan berjanji membebaskannya. Setelah bebas dari penjara Ibn Khaldun mendukung Abu Salim yang pada tahun 1359 M, menjadi penguasa Maroko dan mengangkat Ibn Khaldun sebagai sekretaris negara dan penasehatnya.

Pada tahun 1362, Ibn Khaldun bergabung dengan pemerintahan Mohammad V dari Granada. Pemerintahan Mohammad berakhir setelah ditaklukan dan dibunuh oleh sepupunya Abu al-Abbas. Ibn Khaldun datang menyambut kemenangan Abbas dan kemudian Ibn Khaldun diberikan kedudukan di daerah Bijayah. Ibn Khaldun bertahan pada kedudukannya, hingga kemudian ia merasa bahwa pemerintah sudah tidak mempercayainya lagi dank arena itu ia memutuskan untuk berangkat ke Bashrah. Di sana ia dipanggil oleh Amir Abu Hamu untuk menjadi perdanan menteri di Tlecemen, namun Ibn Khaldun menolak dan mengajukan saudaranya untuk menduduki posisi tersebut.

Kehidupan politik Ibn Khaldun yang cenderung selalu berubah dari pemerintahan yang satu ke pemerintahan yang lain menunjukkan ambisi dan hasrat besarnya dalam bidang tersebut. Ia merasa tidak harus malu dengan sikapnya yang berubah-ubah dan sanjungan diplomatisnya, karena semua orang tidaklah bersikap tetap dan semuanya bersalah, baik dalam satu hal maupun dalam hal lainnya. Baginya, tidaklah jahat orang yang bersalah, selama tetap mengikuti hukum sosial.

Karateristik Pemikiran Politik Ibn Khaldun


Dalam hal kepemimpinan, Ibn Khaldun tidak menggunakan pendekatan keagamaan, tetapi lebih menekankan pada pendekatan sosial dan budaya. Ia menolak menghubungkan soal kepemimpinan dengan syari’ah, karena menurutnya bahwa eksistensi manusia itu dapat saja ada tanpa kepemimpinan agama. Di satu pihak, dalam kenyataanya agama jarang menjadi sentral pemikiran manusia, di pihak lain, negara-negara yang tidak beragama Islam jumlahnya jauh lebih banyak.

Hal ini berangkat dari fenomena kehidupan pada masanya, di mana orang-orang Majusi adalah mereka yang tidak menganut agama Samawi pada umumnya dan mereka tidak memiliki kitab suci yang diturunkan dari Allah, tetapi mereka memiliki Negara yang besar dan meninggalkan sejarah yang membanggakan. Dengan demikian, bahwa kepemimpinan dalam kehidupan masyarakat itu tidak mesti berdasarkan agama yang diturunkan oleh Allah, tetapi merupakan suatu kemestian hidup, manusia bermasyarakat, terlepas dari kenyataan apakah mereka menganut agama samawi atau bukan. Hal ini juga berangkat dari fenomena bangsa Eropa yang pada abad ke 14 melakukan sentralisasi kekuasaan pada tangan raja-raja tanpa adanya campur tangan gereja, yang kemudian negara-negara tersebut menjadi cikal bakal Negara nasional yang kuat yang kemudian menjadi cirri bentuk Negara di Eropa (Muhsin, 1971).

Dalam pandangan Ibn Khaldun, wahyu Allah bukanlah merupakan kodrat dan tidak diperlukan dalam organisasi politik pada sebuah Negara. Kekuasaan politik tetap ada meskipun tanpa hukum-hukum Allah (Muhsin, 1971). Penyataan tersebut merupakan bentuk penolakan terhadap pendapat Ibn Sina dan al- Farabi yang mengatakan bahwa wahyu dan hukum bersifat kodrati dan diperlukan bagi organisasi politik (Sastrapratedja, 1977). Ketika berbicara tentang kepemimpinan seorang pemimpin dalam kemasyarakatan, Ibn Khaldun mengatakan hal itu dapat ditegakkan dengan salah satu dari dua cara; yakni solidaritas dan factor endogen sang pemimpin. Agama dan politik bila beriringan akan memberikan kontribusi yang besar dalam menciptakan integritas social. Sebaliknya, bila tidak beriringan maka kekuatannya akan sirna, karna almulk ditimbulkan oleh superioritas yang timbul karna solidaritas dan pertolongan Allah untuk menegakkan agama.

Motivasi agama untuk mencapai kemenangan itu menyebabkan teratasinya segala perselisihan, sehingga terhindar dari perpecahan. Hal ini merupakan realitas social yang merupakan sifat kodrati manusia yang mutlak diperlukan bagi eksistensi bangsa (Rosenthal, 1958). Dari sini terlihat adanya suatu sikap yang kontroversial pada Ibn Khaldun, tetapi pada dasarnya, Ibn Khaldun tidak memihak agama dalam pengertian sempit, tetapi menuju agama dalam arti yang lebih luas yaitu sunnatullah.

Konsep Pemikiran Ibn Khaldun tentang Kepemimpinan dalam Islam


Berbicara tentang pemikiran politik Ibn Khaldun dalam hal kepemimpinan, ini terbagi menjadi :

  1. Negara: Suatu bentuk organisasi
  2. Keharusan mendirikan lembaga kepemimpinan
  3. Kualifikasi pemimpin
  4. Cara pengangkatan pemimpin
  5. Hubungan antara pemimpin dan rakyat
  6. Pola kepemimpinan rakyat

Berikut dijelaskan secara terperinci;

  • Negara
    Menurut Ibn Khaldun, negara mempunyai keterkaitan erat dengan peradaban, keduanya bertalian erat dan saling mengisi. Suatu negara tanpa peradaban sukar untuk dibayangkan bagaimana wujudnya. Sebaliknya peradaban tanpa negara adalah tidak mungkin karena hal itu bertumpu pada naluri manusia untuk bekerja sama. Keberadaan suatu negara didukung dan ditentukan oleh solidaritas, karena inti suatu negara adalah solidaritas. Untuk menjelaskan bagaimana berlakunya solidaritas dalam masyarakat dan pembentukan negara, Ibn Khaldun mengangkat contoh Negara-negara pra Islam maupun sesudah Islam, di mana Byzantium, Persia, dan Arab muncul kemudian hancur karena unsur solidaritas dalam negara tersebut. Kebiasaan mereka setelah suatu negara berdiri teguh, ia bisa saja menyingkirkan ashabiyat dan orang cenderung melupakan masa-masa awal berdirinya suatu negara. Karena keluarga secara turun temurun menjadi pemimpin yang diakui dan dipatuhi, maka mereka merasa sudah tidak lagi membutuhkan ashabiyat untuk mempertahankan negara mereka.

  • Keharusan Mendirikan lembaga Kepemimpinan
    Hal yang mendasari alasan Ibn Khaldun adalah bahwa manusia mempunyai sifat ingin memiliki, merampas dan menguasai milik sesamanya. Untuk itu manusia memerlukan sebuah kepemimpinan yang bisa mengendalikan kehendak mereka dan membuat aturan-aturan tertentu untuk kebaikan mereka. Selain itu perintah Tuhan yang termaktub daam surat al-Israa (17): 3320 dan surat Huud (11): 61,21 yang menetapkan manusia untuk menjadi khalifah dan menganjurkan untuk memakmurkan bumi.

  • Kualifikasi Pemimpin
    Jabatan pemimpin politik merupakan jabatan yang penting dan menentukan. Dikatakan penting karena masyarakat manusia memerlukan panata untuk mengatur hubungan antar manusia karena masing-masing memiliki kekuatan untuk saling berperang. Karena itu berarti bahwa masyarakat manusia memerlukan pemimpin yang akan melaksanakan kekuasaan, mengatur dan mengendalikan kehidupan manusia dari sifat agresifitas. Maka pemimpin harus memenuhi persyaratan tertentu agar ia mampu melaksanakan tugas dan kewajibannya dengan baik (Budiharjo, 1984). Sebenarnya arti kepemimpinan bagi Ibn Khaldun adalah supervisi terhadap kepentingan Negara muslim baik yang berkenaan dengan persoalan agama maupun keduniaan.

  • Cara Pengangkatan
    Dalam fiqhi siyasah disebutkan bahwa pengangkatan seorang pemimpin bisa menggunakan salah satu dari dua prosedur yaitu:

    • Penunjukan dari pemimpin terdahulu kepada seseorang yang dipercaya untuk menjadi penggantinya.
    • Bai’at wakil-wakil umat jika para wakil rakyat mempunyai pendapat yang berbeda tentang calon pemimpinnya.
  • Hubungan antara Pemimpin dan Rakyat
    Seandainya pemimpin tidak ada, kahidupan manusia akan berada dalam kondisi kacau balau dan penuh dengan situasi anarki yang pada akhirnya mengancam eksistensi manusia itu sendiri. Jadi pemimpin bukanlah seseorang yang memaksakan kehendaknya kepada orang lain, akan tetapi seseorang yang melakukan suatu tugas social yang penting yang tujuannya berkaitan erat dengan kelanjutan eksistensi manusia. Bagi Ibn Khaldun kekuasaan itu adalah hubungan itu sendiri: Ketahuilah bahwa kepentingan rakyat kepada pemimpin bukan pada diri dan tubuhnya, seperti keelokan badannya, kebesaran tubuhnya, keluasan ilmu pengetahuannya dan ketajaman otaknya. Kepentingan mereka itu terletak dalam hubungan antara dia dan mereka. Karena itu kekuasaan dan pemimpin itu hal yang bersifat relasional, jadi terdapat keseimbangan antara kedua belah pihak. Ia dinamakan pemimpin karena mengurus persoalan rakyat. Pemimpin adalah seseorang yang mempunyai rakyat dan rakyat adalah orang yang mempunyai pemimpin.