Pedoman baku apa saja yang ada pada Tari Klasik Gaya Yogyakarta ?

Tari klasik gaya Yogyakarta telah ada sejak berdirinya Kesultanan Yogyakarta. Ternyata untuk menari Tari Klasik Gaya Yogyakarta terdapat tujuh pedoman atau pathokan baku yang harus ditaati oleh penari klasik gaya Yogyakarta agar dapat membawakan tariannya secara maksimal. Pedoman tersebut membedakan tari klasik gaya Yogyakarta dengan gaya-gaya tari lainnya.

Lalu, apa sajakah pedoman baku tersebut?

Pedoman tersebut berkenaan dengan pandengan, pacak gulu, deg, gerak cethik, mlumahing pupu, nyeklenthing-nya jari-jari kaki, dan mendhak.

  • Pandengan atau pandangan memiliki peran penting dalam mencerminkan karakter dan suasana jiwa tokoh yang dibawakan. Dalam tari klasik gaya Yogyakarta, dibutuhkan pandengan yang terarah dan tidak banyak berkedip. Pandengan membentuk polatan atau ulat (mimik) sekaligus mewujudkan pasemon atau pancaran jiwa.

  • Pacak gulu adalah gerak indah pada leher. Gerak ini berpangkal pada gerak menekuk dan mendorong pangkal leher (jiling), gerak ini juga dikenal dengan sebutan pacak gulu tekuk jiling. Ada empat macam gerak pacak gulu. Pacak gulu baku, tolehan biasa dan nglenggot, coklekan yang digunakan dalam tari golek, cantrik, dan kera, dan terakhir gedheg yang digunakan untuk gagahan.

  • Deg adalah sikap badan yang tegak lurus namun pundak dan tulang belakang tetap rileks, tidak tegang ataupun lemas.

  • Gerak cethik menjadi pedoman bagi gerakan tubuh ke samping maupun ke bawah. Dalam gerakan tersebut, cethik atau pangkal paha menjadi pusat gerakan oyogan (ke kiri atau kanan) dan mendhak (ke bawah). Mlumahing pupu penting agar gerakan tari tampak luwes dan stabil.

  • Mlumahing pupu berarti membuka posisi paha agar cethik dapat digerakkan dengan baik.

  • Nyeklenthing-nya jari-jari kaki adalah posisi di mana jari-jari kaki diangkat tegak ke atas dalam keadaan tegang. Posisi ini mampu mempengaruhi seluruh gerakan badan dan membuat kaki dapat menapak menapak lebih kokoh.

  • Mendhak adalah posisi tubuh yang merendah dengan cara menekuk lutut dan dilakukan dengan posisi paha terbuka. Posisi ini menghasilkan gerakan kaki yang lebih hidup dan ruang gerak yang lebih luas.

Pathokan baku adalah suatu aturan tari gaya Yogyakarta yang mutlak harus ditaati (dilakukan) bagi seorang penari, baik putra maupun putri yang ingin mencapai tingkat optimal dalam seni tarinya.

Berikut ini akan dikemukakan penjelasan terperinci mengenai pathokan baku pada Tari Klasik Gaya Yogyakarta.

1. Sikap badan (deg)

Sikap badan penari ketika menari harus selalu kelihatan baik apabila dipandang dari segala arah. Badan penari harus selalu tegap (ndegèg). Sikap tegap yang dimaksud adalah tulang belakang (columna vertebrae) berdiri tegak, tulang belikat (scapula) datar (rata), bahu (humeri) membuka, tulang rusuk (costae) diangkat, dada (thorax) dibusungkan, dan perut (abdomen) dikempiskan.

Langkah yang harus diambil oleh seorang penari untuk mendapatkan sikap dan gerak badan seperti di atas adalah dengan jalan menarik napas panjang sampai badan dalam posisi seperti yang dimaksud, kemudian napas dikembalikan, akan tetapi tidak boleh mengubah posisi sikap badan. Selanjutnya seorang penari bernafas seperti biasa. Sikap badan semacam ini harus dipertahankan selama menari, walaupun penari di atas pentas dalam keadaan diam, tidak bergerak. Sikap badan seperti itu harus dilakukan dari awal masuk pentas sampai selesai menari dan meninggalkan tempat pentas.

2. Sikap dan gerak kaki

Bagian kaki (metatarsus) penari ini dapat dibagi menjadi dua bagian yaitu bagian tungkai atas (femur) dan jari-jari kaki (phalanges). Posisi kaki dengan ketentuan sebagai berikut:

  • pupu mlumah atau tungkai atas (femur) terentang
  • dhengkul megar atau lutut (patella) membuka
  • suku malang atau kaki (metatarsus) melintang
  • driji nylekenthing atau jari-jari kaki (phalanges) diangkat ke atas

3. Mendhak

Mendhak adalah posisi tungkai (femur dan patella) yang merendah dengan tekukan lutut (patella). Tekukan lutut (patella) ini dilakukan dalam keadaan tungkai atas (femur) terbuka. Mendhak yang mapan memungkinkan gerakan tungkai (femur, patella, tibia, fibula, ossa tarsalia, ossa metatarsalia, dan phalanges) lebih hidup sehingga tarinya kelihatan ébrah (besar). Ruang geraknya menjadi luas atau dapat dikatakan mengisi ruang.

Posisi mendhak walaupun yang merendah tungkai atas (femur dan patella), namun sebenarnya kekuatan atau tekanan gerak terletak pada cethik (pelvis), jadi tekukan lutut (patella) sebagai akibat cethik (pelvis) ditekan ke bawah.

Tidak ada ukuran yang pasti seberapa rendah tekukan femur dan patella itu, namun yang jelas tidak terlalu rendah sekali dan tidak terlalu kelihatan tidak merendah. Ukuran untuk mendhak setiap penari berbeda-beda tergantung pada tinggi rendahnya tubuh penari, akan tetapi sikap mendhak itu kelihatan luwes dan tanpa mengganggu dalam melakukan gerak.

Posisi mendhak lutut (patella) harus tetap terbuka. Posisi mendhak demikian itu gerak akan lebih nampak kuat. Apabila penari tidak mendhak intensitas gerakan akan kosong dan akan kelihatan lemah. Namun demikian apabila penari terlalu mendhak akan menghasilkan tari yang nampak dipaksakan (ngaya) dan membuang tenaga. Mendhak harus dilakukan tidak kendor, tetapi juga tidak tegang.

Jadi mendhak yang benar adalah mendhak cethik (pelvis) yaitu merendah sehingga memusatkan gerak pada cethik (pelvis) bukan pada tekukan lututnya (patella).

4. Sikap tangan

Lebar tangan (jarak tangan dengan badan) untuk tari putra berbeda dengan tari putri. Untuk tari putra masih dibedakan lagi putra halus dan putra gagah. Untuk tari putra halus jarak tangan dengan badan kurang lebih satu pethènthèngan.

Mengukurnya dengan cara menempelkan kedua telapak tangan (ossa metacarpalia) pada pinggang. Ukuran lebar tangan (humerus, ulna-radius, carpalia, metacarpalia, ossa metacarpalia, dan phalanges) ini dipakai semua standar tari halus apapun. Bentuk tangan (humerus, ulna-radius, carpalia, metacarpalia, ossa metacarpalia, dan phalanges) apabila menekuk adalah siku-siku dengan pusat atau tekanan pada pergelangan tangan (capalia).

Gerak tangan selalu dipusatkan pada pergelangan tangan (carpalia) sedangkan lengan (humerus, ulna- radius) hanyalah mengikuti. Pemusatan gerak tangan (humerus, ulna-radius, carpalia, metacarpalia, ossa metacarpalia, dan phalanges) pada pergelangan tangan (carpalia) ini dimaksudkan agar posisi tangan dan siku dapat stabil tidak mengembang maupun menguncup (megar-mingkup).

5. Pacak gulu/gerak leher (cervical vertebrae)

Gerak leher (cervical vertebrae) dipusatkan pada tekukan (coklèkan) jiling (cervic), yaitu persendian kepala (cranium) dengan leher (cervical vertebrae) baik untuk tolehan maupun pacak gulu.

Gerak demikian itu adalah tidak Dalam gaya Yogyakarta terdapat empat (4) macam pacak gulu yaitu:

  1. Pacak gulu baku (pokok) kanan dan kiri (dexter-sinester)
  2. Tolèhan kanan dan kiri (dexter- sinester)
  3. Coklèkan kanan dan kiri (dexter-sinester)
  4. Gedheg khusus untuk tari putra gagah kanan dan kiri (dexter- sinester).

6. Gerak cethik (pelvis)

Cethik atau pangkal tungkai atas (pelvis) merupakan bagian yang sangat penting dalam gerak tubuh penari baik ke arah samping maupun ke bawah atau mendhak. Gerak tubuh ke samping baik ke kanan maupun ke kiri (dexter-sinester) yang benar dalam tari gaya Yogyakarta harus dilakukan dengan pemusatan gerak pada pangkal tungkai atas atau cethik (pelvis).

7. Pandangan mata (pandengan)

Pandangan mata dalam tari gaya Yogyakarta dengan ketentuan kelopak mata terbuka, bola mata lurus ke depan menurut arah hadap muka, dan pandangan tajam, dengan jarak kurang lebih 3 kali tinggi badan. Mata seorang penari tidak boleh berkedip-kedip karena akan kelihatan rongeh dan kurang konsentrasi.

Pathokan tidak baku

Pathokan-pathokan baku merupakan pegangan dasar penari pada umumnya yang memiliki keadaan fisik normal atau wajar, serasi, dan bagus. Sering terjadi ada seorang penari yang memiliki beberapa kekurangan dalam fisiknya. Para penari yang memiliki kekurangan- kekurangan fisik, mereka harus menggunakan pathokan tidak baku atau khusus untuk menutupi kekurangan-kekurangan tersebut.

Pathokan tidak baku ini bukan merupakan pegangan yang dapat dijalankan oleh setiap orang atau penari. Pathokan ini sering disebut pathokan khusus atau pathokan tidak baku atau juga sering disebut pathokan penyesuaian diri.

1. Luwes

Luwes merupakan sifat pembawaan dari seorang penari. Penari dikatakan luwes apabila kelihatan wajar dan tidak kaku dalam membawakan tariannya. Gerak yang dilakukan tampak lancar, mengalir sesuai dengan irama yang digunakan dan enak dinikmati, tak ada kesan dipaksakan, geraknya serius dan sungguh- sungguh tetapi tidak kelihatan tegang (kenceng nanging ora ngecenceng).

2. Patut

Patut adalah serasi dan sesuai. Mengingat adanya kekurangan- kekurangan fisik penari diperbolehkan melakukan gerak yang sedikit agak menyimpang dari pathokan ragam tarinya, menurut selera dan interpretasinya sendiri. Penyimpangan itu diperbolehkan asal guru tari yang bertanggung jawab sudah menilainya patut. Kepatutan ini di dalam wayang wong Kraton Yogyakarta erat sekali hubungannya dengan “wanda” seorang penari. Wanda adalah raut muka yang menggambarkan perwatakan/karakter.

3. Resik

Resik dalam tari dapat diartikan bersih atau cermat dalam melakukan gerak. Penari dapat dikatakan bersih apabila dapat menguasai tiga macam kepekaan irama, yaitu kepekaan irama gending, kepekaan irama gerak, dan kepekaan irama jarak. Kepekaan penari terhadap irama ini akan selalu memperhitungkan ketepatan gerak tarinya. Gerakan harus dilakukan dengan cermat dengan mematuhi keharusan- keharusan yang berlaku. Hal ini dapat dilaksanakan apabila penari telah menguasai teknik tari dengan baik. Kecermatan ini merupakan perwujudan tari yang tidak berlebihan tetapi juga tidak kurang, sehingga dilakukan dengan tepat dan cermat.

Sumber : Supriyanto, Tari klana alus sri suwela gaya Yogyakarta perspektif Joged Mataram, Fakultas Seni Pertunjukan ISI Surakarta