Patrimonialisme?

Sekilas Patrimonialisme
Patrimonialisme: istilah yang dibuat oleh max weber untuk menjelaskan negara-negara yang dimana seorang penguasa mengatur kekayaan dan kekuasaan negara berdasar pada kewenangan tradisional,

Te o r i s a s i m e n g e n a i patrimonialisme dalam birokrasi dalam kajian ilmu politik di Indonesia dilakukan oleh berbagai Indonesianis seperti halnya Donald K. Emmerson (1983). Adapun lokus mengenai studi patrimonialisme yang dilakukan oleh Emmerson adalah dengan meneliti struktur birokrasi yang terdapat di pemerintahan Orde Baru. Dalam menjelaskan kasus patrimonalisme birokrasi di Indonesia, para Indonesianis ini mencoba mengkomparasikan kasus serupa yang terjadi dalam masa feodalisme Eropa pada abad 13-15.

Patrimonalisme sendiri merujuk pada sentralisasi kekuasaan yang berpusat pada penguasa perseorangan tertentu (kingship rulerships) yang mengakumulasikan kekuasaan, sedangkan yang lain mengidentifikasikan kepentingannya. Penguasa membagikan sumber daya kekuasaannya kepada pihak yang dapat dipercaya dan memiliki pengaruh besar di masyarakat untuk menjaga keberlangsungan dan stabilitas kekuasaannya. Sementara, bagi pihak yang berkepentingan tersebut memiliki aksesibilitas dalam mencari perlindungan politis maupun ekonomi dalam struktur kekuasaan tersebut. Hubungan tersebut berlangsung dalam pertukaran keuntungan ( advantage exchange ) yang dijaga dengan rapi oleh kedua belah pihak. Santoso (1997) menilai semasa Orde Baru berkuasa dikenal istilah “ABG” yakni akronim untuk menyebutkan ABRI-Birokrat-Golkar sebagai tiga serangkai saluran patrimonialisme kekuasaan Presiden Soeharto dalam menjaga stabilitas dan soliditas pemerintahannya. ABRI digunakan untuk mendisiplinkan dan mengatur masyarakat, Birokrat digunakan untuk mengendalikan administrasi pemerintahan, dan Golkar untuk menyeragamkan pilihan politis masyarakat untuk mendukung Presiden Soeharto.

Dibandingkan dengan ABRI, relasi Golkar dan Birokat memang sangatlah kuat untuk menunjukkan patrimoni kekuasaan tersebut karena sinergi keduanya memiliki pengaruh kuat dan signifikan hingga pelosok masyarakat. James C. Scott (1993) menilai kekuasaan patrimonial yang berlangsung di Indonesia memiliki akar antropologis kuat yang diwujudkan dalam ‘patron-client’ atau ‘solidaritas vertikal’ dapat dilihat dari beberapa hal, diantaranya adalah adanya hubungan antara client-hamba dengan patron-tuan yang diibaratkan sebagai suatu hubungan pertukaran yang vertikal, dimana perubahan-perubahan selalu berada di bawah legitimasi kaum elit. Terbentuknya relasi tersebut lebih didasarkan pada ketidaksamaan’ dan ‘fleksibilitas yang tersebar’ sebagai sebuah sistem pertukaran pribadi. Oleh karena itulah, pola internalisasi nilai dan norma penguasa diterima meluas sehingga timbullah kekuasaan yang hegemonik.

Adapun kerangka kekuasaan yang hegemonik tersebut dapat diwujudkan dalam model masyarakat prismatik. Fred Riggs (1964) dalam karyanya Administration in Developing Countries: The Theory of Prismatic Society mendefinisikan masyarakat primastik sebagai bentuk transisi masyarakat dari era tradisional menuju modern yang belum selesai dikarenakan adanya benturan nilai modern dan tradisional tersebut. Benturan budaya tersebut dikarenakan masih kuatnya nilai tradisional-kultural di saat nilai modernitas mulai menyebar dalam karakter sosiologis masyarakat. Contohnya dapat kita lihat adanya monopoli kekuasaan yang dimiliki kelompok masyarakat tertentu dengan mengandalkan adanya sumber kuasa tradisional-kharismatik meskipun pada saat yang sama demokrasi telah menyebar dan mempersilakan semua orang untuk terlibat dalam suksesi pemerintahan.