Para Musafir Dan Buah Anggur

Kisah Sufi

Ada tiga jenis budaya: budaya duniawi, menumpuk informasi belaka; budaya religius, mengikuti aturan; budaya elit, pengembangan-diri. (Guru Hujwiri, Kasyful-Mahjub)

Ada sebuah kisah dalam fabel Aesop tentang tikus tanah muda menemui ibunya untuk memberitahukan bahwa dirinya telah bisa melihat. Namun dikatakan banyak orang, penglihatan tikus tanah itu kurang sempurna. Mendengar laporan itu, ibunya memutuskan untuk menguji daya lihatnya. Ia menaruh sepotong kemenyan dan bertanya kepada anaknya, “Apa ini?”

“Batu,” jawab tikus kecil.

“Engkau tidak hanya buta,” kata ibunya, “tapi juga kehilangan indera penciumanmu.”


Kita bisa menganalisa fabel ini untuk mengetahui maksud sebenarnya, bila kita telah mengetahui tradisi sastra Sufi dan metode mengungkap makna-makna tersembunyi.

"Tikus tanah" dalam bahasa Arab (khuld, dari akar kata KhLD) dan ditulis dengan ejaan yang sama dengan khalad, artinya “kekekalan, surga, pemikiran, pikiran, jiwa”, sesuai dengan konteksnya. Karena hanya huruf konsonan yang tertulis, maka tidak ada maksud narativitas yang diacu kata ini secara khusus. Jika kata ini digunakan dalam bahasa Semit dan kemudian diterjemahkan dalam bahasa Yunani oleh orang yang tidak memahami makna gandanya, maka unsur permainan katanya akan hilang.

Lalu mengapa ada kata “batu” dan “kemenyan”? Karena dalam tradisi Sufi, “Musa (pembimbing kaumnya) menjadikan sebuah batu seharum pohon Kasturi.” (Hakim Sanai, The Walled Garden of Truth).

"Musa" di sini melambangkan suatu panduan pemikiran yang bertujuan mengubah sesuatu yang tampak seperti benda mati dan lembam menjadi sesuatu yang “seharum pohon Kasturi” sesuatu yang hampir bisa dikatakan sebagai kehidupan itu sendiri.

Kisah ini menunjukkan bahwa “induk” pemikiran (asal-usul, matriks, kualitas esensialnya) mempresentasikan frankincense (pengalaman tak terpahamkan) bagi pikiran atau pemikiran. Karena individu (tikus tanah) terpaku pada “penglihatan” (upaya mengembangkan fakultas jiwa secara keliru), maka ia kehilangan kemampuan untuk menggunakan fakultas lainnya.

Menurut Sufi, alih-alih memasuki dirinya sendiri dengan cara tertentu untuk menemukan dan mencapai perkembangannya, manusia justru mencari di luar dirinya dan mengikuti berbagai ilusi (sistem metafisik yang dikembangkannya secara keliru) serta sebenarnya melumpuhkannya.

Lalu apa potensialitas batin “tikus tanah”? Kita bisa melihat seluruh kelompok kata dalam bahasa Arab yang berakar kata KhLD sebagai berikut:

  • KhaLaD = kekal, abadi.
  • KhaLLaD = melestarikan sesuatu.
  • AKhLaD = cenderung, setia sepenuhnya (kepada seorang sahabat).
  • KhuLD = keabadian, surga, kesinambungan.
  • KhuLD = tikus tanah, suara burung.
  • KhaLaD = pemikiran, pikiran, jiwa.
  • EL-KhUALiD = pegunungan, karang, penyangga sebuah pot.

Bagi Sufi, kelompok kata ini mengandung persoalan esensial tentang pengembangan pribadi manusia. Ia adalah sebuah peta Sufisme. Karena koinsiden (secara kebetulan), tikus tanah dipilih sebagai simbol pikiran atau pemikiran. Ia mempunyai arti yang sama dengan keabadian, kesinambungan, penyangga. Sufisme berkaitan dengan pelestarian kesadaran manusia melalui sumbernya di dalam pikiran. Sementara kesetiaan utuh kepada sesama adalah suatu tugas esensial.