Pancarona (Warna-Warni di Balik Corona)

PANCARONA
(Warna-warni di Balik Corona)

download (15)

Pancarona • Indonesia
Kbbi /pan.ca.ro.na/
(n.) beraneka warna

                                                                                                Di sebuah rumah, 20 Juni 2035
Pagi yang cerah. Si bungsu sedang bermain di halaman dengan kakek neneknya. Aku memperhatikan dari dalam ruang baca bersama si sulung. Sementara tawa mereka menggema dan memeriahkan suasana.  Senang sekali melihatnya. Kegembiraan mereka adalah harta berharga. Sambil sesekali memerhatikan mereka melalui jendela, si kakak bercerita padaku tentang cita-citanya.
“Ibu, kakak ingin jadi dokter, Bu,” ucap si sulung memulai.
“Wah, anak ibu hebat yah, punya cita-cita mulia. Semoga tercapai, ya, Nak. Aamiin, Ibu selalu mendoakan. Kamu harus rajin belajar, rajin membaca, perbanyak pengetahuan. Semangat terus untuk menggapai cita-citamu, Nak,” pesanku.
“Aamiin, iya, Bu. Semangat dong, hehe. Makanya aku di ruang baca ikut Ibu, mumpung hari ini libur, mau baca-baca buku. Ehh itu apa yang Ibu baca?,” tanya si kakak penasaran.
“Hmm ini catatan lama Ibu, Nak. Waktu masih mahasiswa dulu,” jawabku.
     “Kakak mau dengar cerita Ibu?,” tanyaku padanya.

Si sulung mengangguk antusias.
“Baiklah, biar kuceritakan padamu tentang hari-hari itu. Akan kubacakan catatan-catatan lamaku dari lima belas tahun yang lalu,” jawabku sambil membuka lembar-lembar catatan itu. Lima belas tahun lalu saat masih mahasiswa. Catatan-catatan itu bahkan sudah usang, berwarna sedikit kecoklatan. Ingatanku berpendar saat itu. Sementara si sulung setia mendengarkan.

                                                     **Catatan Pertama-Senandika**

Really, it’s a boring day. I’m listening to music. I read novel. I write a paper. I slept. I do my task. But I’m still feel boring. So, what should I do? I hope this situation will be end.
Honestly, it’s not comfort. Always pray, keep healthy.
OK Dear?

Bumiayu/Rabu, 1 April 2020

Senandika
[se.nan.di.ka] • Sansekerta
kbbi (n.) A monologue

    “Kenapa bosan, Bu?”, tanya si sulung. 
    “Memang Ibu nggak jalan-jalan gitu, wisata atau ke mana?”, lanjutnya. 
    “Nggak, Nak. Dulu Ibu di rumah aja, nggak ke mana-mana,” kataku. 

Aku tersenyum mengingatnya. Sudah lama rupanya. Si sulung bahkan sudah beranjak remaja. Dulu, lima belas tahun lalu aku hanya mahasiswa biasa. Bulan April 2020 saat itu bahkan baru menginjak semester dua. Tapi saat itu ada yang berbeda dari biasanya. Aku tak datang ke kampus untuk mengikuti perkuliahan. Tidak pula pergi ke perpustakaan. Bahkan tidak pula berada di Semarang. Bolos kuliah? Oh tidak, aku bukan sedang bolos kuliah. Aku memang di rumah. Ya, #dirumahaja. Bukan hanya aku, orang-orang pun berusaha untuk tidak keluar rumah. Memangnya ada bencana apa di luar sana? Bukan banjir, bukan tsunami, bukan pula gunung meletus. Lalu alasan apa kami tetap tinggal #dirumahaja?

                                    **Catatan Kedua – Eunoia**

Halo, Mar’atus di sini.
Tertanggal 7 April 2020.

       Sudah lama rasanya aku tidak menulis. Selama hampir dua tahun ini rasanya berat untuk kembali menulis. Jadi, selagi aku #dirumahaja, dan karena memang bosan yang melanda, aku mulai menulis lagi. Isinya ya tentang hari-hari selama #dirumahaja. Sudah lebih dari sebulan aku di rumah aja. Maret lalu aku baru saja masuk semester 2. Kuliah baru dua kali pertemuan di kampus sana. Tapi tiba-tiba, ada himbauan kuliah di rumah aja. Meninggalkan Semarang, dan hiruk pikuk kehidupan mahasiswa. Jadilah sekarang, kuliah online. Entah sampai kapan. Berhubung sekarang lagi pandemi, semua harus jaga diri. Mungkin sampai Si Corona pergi. 
    So, selama di rumah aja, kan banyak tuh buku-buku yang belum aku baca. Mungkin ini saatnya buat membabat habis buku-buku hasil kalap dari diskon dan harga mahasiswa. Hehe. Iya, selama kuliah di Semarang coba udah berapa kali beli buku baru? Masih banyak kan yang belum dibaca? Biar lebih produktif, nih ya aku tulis target bacaan selama di rumah aja. Jangan males lhoo, Kha.

List Buku :

  1. Antimainstream Scholarship Destination-Belgia. Tentang pengalaman kuliah di luar negeri; 2) Nanti Kita Cerita Tentang Hari Ini, karya Marchella FP. Belajar menjadi manusia;
  2. Garis Batas, karya Agustinus Wibowo. Perjalanan di negeri-negeri Asia Tengah. Garis batas yang kita imajinerkan mengubah banyak hal;
  3. Ensiklopedia Raja-raja dan Istri-istri Raja di Tanah Jawa, karya Krisna Bayu Adji; 5)Gajah Mada edisi 1-5, karya Langit Kresna Hariadi. Jilid 1 aja belum kelar… Kalau mau baca novel, coba baca karya-karya AristaVee, Crowdstroia, dll.

Tambahan nih, list film yang inspiratif :

  1. 5 CM, persahabatan yang setia;
  2. 3 IDIOTS, filmnya Aamir Khan yang keren banget;
  3. I Can Speak, ceritanya ada unsur-unsur sejarahnya nih. Tentang para jigun ianfu masa penjajahan Jepang di Korea, sedikit menyinggung Hindia Belanda;
  4. Merry Riana-Mimpi Sejuta Dollar, keajaiban sebuah mimpi;
    5)Tare Zameen Par, lagi-lagi Aamir Khan memberi makna dalam tentang setiap anak itu istimewa dengan caranya masing-masing;
  5. Bhajrangi Bhaijan,huhu aku nangis nonton film itu. Syaheedaa
     …
    Mungkin ini saatnya sejenak rehat dari hiruk pikuk kota. Sudah, nikmati saja. Bersabar atas segalanya.

Selesai ditulis di Bumiayu,
Jum’at, 17 April 2020
Di tengah masa pandemi yang memburu

Eunoia
[yoo-noy-yuh] • Greek
(n . ) A pure and well-balanced mind,
a good spirit, a beautiful thinking.

“Dulu Ibu masih mahasiswa, hingga di awal semester kedua, ada wabah melanda,” ucapku setelah membaca Catatan Pertama. Ya, saat itu aku pulang ke rumah karena memang situasi yang tidak memungkinkan untuk kuliah tatap muka. Aku ingat, saat aku pulang jumlah kasus terdeteksi COVID-19 hanya sekitar 3-6 orang di Indonesia.
  “Wabah? Corona yang tadi Ibu baca itu wabahnya? Terus-terus gimana, Bu? Banyak yang kena, Bu? ”tanya si sulung penasaran.  
 “Iya, virus Corona. Kalau kamu ada waktu luang, coba kamu cari di browsermu, COVID-19 itu apa sih? Itu lhoo virus corona yang dulu mewabah di tahun 2020-an. Virus itu akan merusak paru-paru. Kamu mungkin akan menemukan banyak berita terdahulu yang meliput tentang perkembangan kasus dan banyak dampak dari si virus ini. Dulu memang kasusnya banyak, Nak. Makanya salah satu cara biar nggak tertular ya tetap diam di rumah. Kuliah pun lewat video conference,” jelasku.  
“Dulu, di awal pandemi, masker jadi barang yang sulit dicari. Kalaupun ada, berkali lipat harganya,” lanjutku. 
  Aku ingat, saat itu masker medis dan hand sanitizer menjadi barang langka. Kalaupun ada tentu harganya naik berkali lipat pula. Ada saja oknum-oknum yang dengan teganya menjual ulang dengan harga berjuta-juta. Semua berubah sejak saat itu. Masker menjadi alat pelindung diri yang berharga. Sarung tanganpun dipakai buat jaga-jaga. Hand sanitizer diburu di mana-mana. Media ramai dengan tagar #dirumahaja.
Untuk beberapa saat, bukankah wajar jika mengeluh dengan keadaan? Kami yang belum terbiasa sekolah, kuliah, bekerja dari rumah rasanya tersiksa. Awal-awal WFH, banyak cuitan tentang “Kuliah Online vs Tugas Online”. Kontan saja, semua masih mecoba beradaptasi. Tugas menumpuk lama-lama tambah suntuk. Lelah dengan semuanya. Tapi bukankah lelah yang kita rasakan adalah tanda bahwa kita masih hidup? 
“Wah, pantesan ibu nggak ke mana-mana. Terus gimana keadaan saat itu Bu?”usulnya.
“Orang-orang dihimbau tetap di rumah, karena penularan virusnya sangat cepat. Bia lewat sentuhan pada benda-benda atau kalau orang bersin atau batuk. Makanya orang-orang di masa awal pandemi dulu berebut masker dan hand sanitizer” jawabku sambil tersenyum.
“Wah, ngeri juga yah, Bu. Eh aku penasaran, Bu. Memang Ibu beneran baca semua buku itu sampai tuntas?,” tanyanya penuh selidik.
“Hehe nggak, Nak. Belum semuanya selesai dibaca. Sudah kita lanjut saja, catatan selanjutnya ”, jawabku mengacuhkan tatapan penuh tanda tanya si kakak.
 Aku melanjutkan membaca Catatan Ketiga.

                                                   **Catatan Ketiga – Saudade**
	       
        Bumiayu, 23 April 2020

Tidak terasa sudah menjelang Ramadhan. Alhamdulillah masih diberi kesempatan. Apa kabar diri?
Baik Alhamdulillah. Masih seperti biasa, nugas, berkutat dengan jurnal, laptop, handphone. Minggu ini UTS. Tidak terasa, padahal baru dua minggu kuliah (Dua minggu apanya?). Ya maksudku baru dua minggu kuliah offline, baru dua pertemuan, ehh udah UTS aja. Jujur si ngerasa cepet banget udah UTS. Kuliah online ngga kerasa macam kuliah. Ehh brarti udah satu bulan lebih nih #dirumahaja. Ngga pengen keluar? Hehe bukannya ngga pengen. Cuma ya taati anjuran pemerintah aja ya. Cuci tangan, pake masker, physical distancing, hidup bersih dan sehat.
Ramadhan kali ini mungkin akan berbeda. Ngga ada sahur on the road, ngga ada buka bersama. Apa akan tetap ada kuliah subuh, tarawih di mushola, sholat Id, keliling kampung buat salam-salaman? Hmm
Kangen suasana Ramadhan. Sore-sore hunting takjil. Ribut bikin kue. Beli baju baru.
Udah banyak iklan sirup lho.
Kiranya kapan semua kembali normal?
Aku tahu aku ngga boleh ngeluh.
Maafin Ya Allah. Hamba-Mu ini Cuma lagi capek dan bosan di rumah.
Tetap semangat sambut Ramadhan.

                                                                                                Marhaban Yaa Ramadhan.

Saudade
[souˈdädə] • Portuguese
(n . ) a feeling of longing, melancholy, or nostalgia

*“Physical distancing* maksudnya jaga jarak gitu, Bu?” tanya si sulung.
“Iya, Nak, Dulu untuk pertama kalinya Ibu mengalami di masjid nggak ada tarawih. Semua solat di rumah masing-masing. Bahkan ibadah haji saat itu terpaksa ditunda. Yah, demi keselamatan bersama, menghambat penularan virus,” jawabku mengenang. 
  “Makanya kita harus bersyukur hidup di masa sekarang, semua serba mudah. Selagi mampu, ramaikanlah masjid. Nikmati momen-momen Ramadhan yang syahdu. Dan yang nggak kalah penting ya menjaga pola hidup sehat. Kesehatan itu penting, kan?,” lanjutku menambahkan.
  “Penting banget, Bu. Kalau sehat kita bisa beraktivitas dengan lancar, ibadah dengan nyaman. Betul, kan, Bu?”, jawab si sulung seraya menopangkan dagu.
  “Nah, makanya, harus jaga kesehatan. Dulu, sewaktu wabah melanda, orang-orang baru menyadari bahwa kesehatan itu penting sekali. Dari situlah mulai banyak tempat cuci tangan di berbagai tempat. Orang-orang yang masih sayang dengan tubuhnya tentu akan mematuhi protokol kesehatan yang berlaku. Tetap di rumah, jangan lupa pakai masker, dan rajin cuci tangan,” ucapku.
  “Nah itu ada pembatasan sosial, berarti orang-orang saat  itu diam di rumah masing-masing? Lalu dari mana mereka makan kalau tidak bekerja dan apa mereka kekurangan pangan, Bu? Kakak pernah baca, wabah penyakit itu bisa berakibat kekurangan pangan karena nggak ada yang produksi, Bu,” ujar si kakak.
   “Ya, memang saat itu ada pembatasan sosial, tapi beberapa pekerjaan tetap beroperasi untuk memenuhi kebutuhan. Misalnya nih, pabrik obat, produksi makanan, jasa pengiriman, dll. Alhamdulillah, negeri kita kaya dengan bahan pangan, makanya nggak sampai kekurangan. Tapi saat itu, di beberapa negara sempat kekurangan pangan karena memang pembatasan sosial yang ketat. Tapi sebetulnya karena wabah itu pula orang-orang mulai saling peduli dengan keadaan. Banyak penggalangan dana atau donasi, banyak program gotong royong desa untuk mencukupi kebutuhan pangan, dan masih banyak lagi,” jawabku.
     “Donasinya buat siapa aja, Bu?” tanyanya.
     “Macam-macam, Nak. Ada donasi untuk masker bagi tenaga medis, donasi bahan pangan untuk warga terdampak, misalnya yang kena PHK, dll. Orang-orang ikut membantu satu sama lain semampu mereka,” ucapku.

Aku mengingat kembali saat itu, orang-orang bereaksi dan menyikapi pandemi berbeda-beda. Ada yang patuh dengan protokol kesehatan. Ada yang masih suka lupa tidak pakai masker. Ada yang tetap berjuang demi menghidupi keluarga. Semua itu adalah bagian dari realita yang akhirnya harus diterima. Perang melawan virus setidaknya menyadarkan semua. Apakah kepedulian itu masih ada?
Satu hal yang masih jelas kuingat hingga sekarang adalah peran figur-figur publik dengan memanfaatkan pengaruhnya untuk menggalang donasi. Dalam hitungan hari, milyaran uang terkumpul untuk membantu sesama. Mereka berperan semampunya. Sesederhana pesan makanan lewat Ojek Online, tapi diberikan pada si pengantarnya. Kalaupun belum bisa membantu lewat harta, mereka setidaknya diam di rumah, mengurangi aktivitas di luar sana untuk mencegah penularannya. Atau sekedar membagikan informasi di social media tentang menjaga diri dan lingkungannya.
Sementara ada pula orang-orang yang tetap bergeliat bahkan semakin berkarya dengan ide-ide solutif. Seminar online, diskusi online, lomba esai, aksi galang dana, donasi buku, produksi masker, produksi hand sanitizer, dan lain sebagainya.
Kesadaran mulai muncul. Orang-orang desa bahkan membuat program apotek hidup, warung hidup, dan Jogo Tonggo. Program apotek hidup dengan bersama-sama menanam tanaman obat sehingga ketika diperlukan dapat digunakan. Program Warung Hidup adalah program menanam tanaman pangan atau memelihara ikan atau ternak untuk mencukupi kebutuhan bersama. Program Jogo Tonggo merupakan program filosofis dan solutif yang dikembangkan masyarakat desa dengan konsep Jimpitan (Beras untuk sesama).
“Wah… Masih ada lanjutannya, kan, Bu?” tanya si sulung menyadarkanku kembali dari mengingat masa lalu.
“Masih dong, kakak dengerin yah,” jawanku pelan.

                                                  **Catatan Keempat – Kaca Benggala**                      

Bumiayu, 6 Mei 2020
“Permisi, ada info loker (lowongan kerja)?”
Begitulah salah satu isi status seorang teman. Aku melihatnya sambil tersenyum. Ternyata pandemi memang berdampak banyak. Beberapa teman di luar sana yang sedang masa kuliah daring, mencari pekerjaan paruh waktu. Ya, tentu saja selain karena bosan, juga alasan kebutuhan. Kuliah online, sekolah online, belanja online, semua butuh kuota guys.
Salah seorang teman nyeletuk, “IP semester ini ditentukan oleh sinyal dan kebaikan hati dosen.” Sinyal pengaruh bnaget sama ikut kuliah daring dan ngumpulin tugas. Untungnya tempatku ini sinyal lancar. Bayangkan anak-anak di pelosok desa yang harus rela naik turun gunung biar dapat sinyal. Miris lihatnya. Butuh kuota pula. Ya, masalah kuota kan emang semua juga butuh. Tapi berhubung teleconverence itu nyedot banyak kuota, jadilah semakin boros.
Kampusku bulan ini mulai memberikan kuota gratis kepada mahasiswa. Ya, berkat permintaan teman-teman dan mediasi bersama. Selain minta kuota, pasti banyak lah mahasiswa yang minta keringanan UKT karena merasa UKT semester genap ini nggak guna buat mahasiswa. Iya dong, kampus nggak ditempati, wifi kampus nggak dipake, jadi ya uang UKT semester genap ini buat kuota aja dong ya harusnya. Belum lagi uang kost yang mesti dibayar walaupun nggak ditempati. Huhu…
Tugas-tugas menumpuk, antre untuk diselesaikan. Rupa-rupa lah kuliahnya, ada yang pake elena, ada yang pake WA, ada yang pake youtube aja, ada pula nih yang isinya cuma tugas buat mahasiswa. Wes wes, dinikmati wae. Untung koe iso kuliah, iso puasa nang umah. Sinau sing sregep. Tugasmu akeh to? Aja youtuban bae, aja scroll instagram terus. Ehh ngomong-ngomong instagram nih, temen-temen jadi banyak koleksi quotesnya. Ya memang sih mungkin karena waktu buat online lebih leluasa.
Kamu di rumah bukan berarti nggak belajar ya.
Tetep belajar.
Iya, belajar sabar.
Hehe nemenin bocil-bocil ngerjain PR kan belajar juga namanya.
‘belajar mar’

Kaca benggala
[ka.ca-beng.ga.la] • Javanese
(n . ) A large mirror; to introspection or contemplation

  “Ibu juga ikutan nyari kerja juga dulu?”tanya si kakak berkomentar.
  “Nggak, Nak. Ibu dulu sehari-hari ya cuma nugas, kadang nemenin anak-anak tetangga ngerjain PR. Ya lumayan lah bisa buat beli pulsa dulu, hehe. Walaupun dari kampus udah ada kuota gratis, masih aja kurang, Nak. Kan dulu belum pasang Wi-Fi, jadilah boros kuota. Ada lho dulu anak sekolah atau mahasiswa yang rumahnya terpencil, rela naik gunung biar bisa dapat sinyal. Kasihan mereka. Tapi ya mau gimana lagi? Biar tetap ikut sekolah,” terangku padanya.
“Emang dulu ngga ada sinyal yah, Bu?” ucapnya penuh tanda tanya.
“Jaman dulu nggak secanggih sekarang, Nak. Orang-orang di pelosok desa masih ada yang nggak konek internetnya, nggak kaya sekarang semua jaringan sudah lancar di berbagai pelosok daerah. Bahkan kamu sudah biasa sekolah online.” 
“Ohh, berarti dulu mereka bener-bener berjuang buat dapet sinyal yah , Bu?” tanya si kakak.
“Iya, Nak, ada yang  sampai naik gunung dan sebagainya,” ucapku sambil tertawa.
“Berarti aku beruntung yah, Bu. Sekolah lancar, fasilitas ada,” ujarnya.
“Nah, itu dia. Kamu harus bersyukur bisa sekolah nyaman. Semua ada. Makanya harus belajar yang rajin. Katanya mau jadi dokter?,” kataku mengingat perkataannya beberapa saat lalu. 
“Hehe iya, Bu. Kakak ingin jadi dokter biar bisa mengobati orang-orang. Dokter itu hebat bu, makanya aku mau jadi dokter. Biar jadi orang berjasa, hehe,” jawab si kakak bersemangat.
“Aaamiin, iya, Nak. Semoga cita-cita kamu tercapai. Ngomong-ngomong soal dokter, dulu waktu pandemi COVID melanda, dokter dan tenaga medis adalah garda terdepan dalam perang melawan virus. Mereka rela tidak tidur, pakai alat perlindungan diri yang ribet, dan berbulan-bulan nggak ketemu keluarga. Demi mengobati pasien, Nak. Jadi, benar banget kata kamu kalau dokter itu berjasa,” jelasku seraya mengingat ke dua puluh tahun silam.
“Terus mereka para tenaga medis bisa tertular virus dong, Bu?”, tanya si sulung.
“Iya, Nak. Tenaga medis sangat rentan tertular virus.  Sebenarnya tidak sedikit pula tenaga medis yang tertular virus lalu meninggal dunia, Nak. Tapi mereka yang masih tersisa tetap berjuang dengan segenap jiwa raga,” ucapku.
“Wahh hebat banget dokter-dokter itu, Bu. Apa aku bisa jadi seperti mereka, Bu?” tanya si kakak sambil menatap langit-langit.
“Tentu bisa, Nak. Tetap semangat belajar, rajin berdoa, dan jangan pernah menyerah. Ibu yakin kamu pasti bisa lebih hebat. Kamu kan anak Ibu,” ucapku menyemangatinya.
“Iya, dong. Aku anak Ibu. Ehh anak ayah juga sih, masa aku lupa, hehe,” jawabnya sambil terkikik geli.
“Nah, anak Ibu yang satu ini, Ibu mau tanya nih. Kalau kamu jadi dokter nanti, apa kamu siap, Nak mempertaruhkan keselamatan diri demi pasienmu? Ya seperti yang Ibu ceritakan tadi, tenaga medis juga rentan terhadap penularan penyakit,” aku bertanya padanya dengan seksama.
“Harus siap, Bu. Kesehatan dan kesembuhan pasien itu penting buat tenaga medis. Makanya aku harus selalu jaga kesehatan juga biar bisa nyembuhin pasien. Kalau dokternya sakit, terus siapa nanti yang bakal obatin pasien,” jawabnya antusias.
“Wah anak Ibu memang pintar yah. Sekarang masih mau dengerin lanjutan ceritanya?” tanyaku sambil membuka lembar selanjutnya. 
“Masih dong, Bu. Ayo, Bu, bacain lagi,” jawabnya tak sabar.
Aku pun mulai melanjutkan membaca lembar berikutnya. Perlahan kubuka lembar berhalaman 32 itu. Di sudut kanan dan kiri sudah sedikit berwarna kecoklatan menunjukkan usia yang sudah cukup lama.


                                                   **Catatan Kelima - Arunika**

Halo, Mar di sini.
Hari ini tanggal 13 Mei 2020. Puasa yang ke berapa ya?
Kelamaan di rumah jadi lupa waktu.

Bagaimana kabar?
Sudah bosan? Sama. Saya juga.
Lelah. Muak. Penat. Malas.

Tell me something. Are you happy in this modern world? Or do you need more? Is there somethin’ else you searchin’ for.

Capek? Saya juga. Jujur sudah jenuh dengan semua ini. Rasanya sejak aku kembali dari Semarang berita kenaikan jumlah pasien positif tiap hari terus bertambah. Setiap sore notif dari browser terasa biasa. Biasa. Karena setiap hari berita yang sama. Pasien positif. Lagi. Dan lagi.
Ramadhan ini memang terasa berbeda, Nak. Terasa lebih hambar. Terasa terlalu cepat. Sekarang bahkan sudah memasuki 10 hari terakhir Ramadhan. Secepat itu kah?
Orang-orang di luar sana, beragam sikapnya. Ada yang tetap semangat bekerja, demi menuntaskan dahaga. Mereka yang tak bisa pulang sebab sayang. Mereka yang terpaksa menutup usahanya karena keadaan. Mereka yang di-PHK. Mereka yang putus asa, nekad mudik demi bertemu keluarga. Keadaan yang memaksa, daripada terlunta di kota. Sudah berapa banyak yang harus terluka?

Kebosanaan yang meraja lela. Desa-desa menutup aksesnya. Di mana lagi semarak berbuka? Aku rindu.

Sampai kapan? Bukan hanya aku yang bertanya.
Seluruh dunia.
Tapi… Mungkin ini saatnya, kita berkaca
Semua ada maknanya.

Kita manusia, bukan siapa-siapa.
Hilangkan kesombongan di dada.
Kita yang bukan siapa-siapa.
Bahkan kalang kabut oleh makhluk mini tak kasat mata.

Lelah manusiawi.
Jenuh sudah pasti.
Tapi hidup harus tetap berjalan lagi.

Yang sekolah, yang kuliah, tetap belajar meski di rumah.
Yang bekerja, semoga selalu berkah.

Ingat ya, kalau kamu baca tulisan ini, berarti sudah 3 bulan sejak pasien COVID-19 terdeteksi di negeri kita. Saya jadi sadar bahwa bersama itu mermakna. Teknologi penting nyatanya. Kesabaran, kebersamaan, gotong royong, hal-hal kecil yang harus tetap ada. Saling menguatkan. Memang tidak mudah bertahan. Harus bagaimana? Kangen teman-teman. Ingin kembali ke kampus tercinta. Kulihat Unnes semakin sepi dari beberapa cerita di media. Ciee kangen.
Banyak yang saya renungkan selama karantina. Apa yang harus saya lakukan? Kok saya gini-gini aja? Kadang rasa malas memang ada. Lelah dengan sistem perkuliahan tanpa tatap muka. Oh ternyata pertemuan itu memang berharga. Jadi begini ya rasanya menunggu tanpa kepastian. Begini ternyata rasanya mereka yang gapyear. Bosan. Tak tahu harus apa. Jenuh dengan rutinitas. Saya jadi merasa tidak produktif, kurang baca, malas pokoknya. Tugas berdatangan silih berganti. Aku paham, dosen pun binngunng dengan cara apa agar bisa menyelesaikan agenda. Seharian di depan handphone dan laptop. Download jurnal sampai numpuk. Rapat online. Kajian online. Kurang asyik memang. Tapi memang ini jalan satu-satunya, sebab semua harus tetap berjalan.
Download aplikasi video conference, google meet, google class, discord, zoom. Bolak-balik buka Elena. Jalan saja
Pesan whatsapp tertumpuk, kebanyakan grup, tak tahu kapan dibaca. Entahlah, maaf ya kawan.
Kenapa aku jadi malas begini ya? Sewaktu nonton drama, teringat ada tugas tentang Sriwijaya. Ah ya, benar. Sepertinya lebaranku kali ini berisi kenangan tentang Sriwijaya. Lebaran mau ke mana ya? Hah.
Sampai kapan aku #dirumahaja?
Maaf ya, aku mengeluh saja.
Aku sadar, ini pikiran jenuhku yang jadi penyebabnya. Sehari tanpa sosial media. Sehari tanpa harus memikirkan, “Oh ya, ada tugas A”. Aku rindu aku yang produktif. Aku rindu aku yang tertata. Hariku yang normal. Apakah setelah semua ni masih bisa kita hidup normal? Apa aku butuh beristirahat sejenak? Menenangkan pikiran.

Apa yang akan kamu lakukan setelah semua ini selesai?

  1. Alhamdulillah Ya Allah
  2. Bisa jadi aku menangis bahagia, akhirnyaaaa…
  3. Terima kasih kepada:
  1. Diri sendiri, kamu sudah bertahan sejauh ini.
  2. Orang tua, terima kasih banyak dan maaf merepotkan selama #dirumahaja
  3. Bapak /Ibu Dosen dan atas segala kesabarannya.
  4. Teman-teman, atas semangatnya.
  5. Telkomsel, PLN, bakul pulsa, tukang ojek, bakul masker, bakul hand sanitizer, jasa antar paket, bakul buku online (Gramedia dan kawan-kawan).
  6. Google dan anak-anaknya (Meet, Classroom, Chrome, Mail, Asisten, Maps, Play).
  7. YouTube, Zoom, Instagram, Microsoft Office, Oppo, Lenovo, Discord, Elena, dll.
  8. BTN, BNI
  9. Dan semuanya yang turut membantu dalam perang lawan Corona
  1. Menata ulang hari-hari
  2. Jaga kesehatan, jaga kebersihan.

  3. Jangan tanya IPK ya. Saya juga ngga tahu harus apa.
    Dengar, Nak. Kamu harus tetap belajar apapun kondisinya. Terlepas dari dunia yang semakin tua, dengan segala kondisinya, kamu harus selalu belajar. Itu tugas manusia. Belajar itu luas, Nak. Tidak terbatas pada membaca buku, menghafal teori, menganalis cerita. Lebih dari itu. Kamu bisa belajar dari berita. Belajar bersabar. Belajar memasak. Belajar menolong. Belajar sedekah. Belajar pola hidup baru. Belajar menulis. Belajar membaca, suasana misalnya. Belajar beropini. Belajar menunggu. Belajar memahami bahwa manusia bukan siapa-siapa. Kalah oleh makhluk mini yang bahkan tak tampak oleh mata. Apa? Corona.
    Jangan lupa terus berdoa.
    Bukan kita yang punya kuasa.
    #dirumahaja

Ditulis oleh mahasiswi semester dua ketika jenuh melanda.
Corona, pulang sana.

                                                                                                     Bumiayu, 14 Mei 2020

Arunika • Sansekerta
Kbbi /a.ru.ni.ka/
(n.) Cahaya fajar

Aku tersenyum mengenangnya. Ramadhan saat itu benar-benar berbeda. Jangan harap ada buka bersama. Berbuka #dirumahaja. Suasana Ramadhan saat itu lebih sepi dari biasanya. Tapi sebenarnya di balik Ramadhan yang berbeda, kita diajari sebuah makna. Kebersamaan yang berharga. 
“Pandemi saat itu benar-benar merubah aktivitas manusia. Sedih juga sebenarnya mengingat dulu. Tarawih di rumah masing-masing. Nggak ada buka bersama. Mungkin itulah saatnya, buat lebih khusyuk ibadah di rumah aja. Nggak ada tuh pemandangan habis Subuh masjid ramai dengerin ceramah. Pengajian beralih ke Youtube dll,” ucapku sambil mengingat suasana Ramadhan kala itu.
“Hmm, kalau menurut kakak nih, Bu, dari dengerin cerita tadi, yang palib bikin sedih itu masjid yang jadi semakin sepi. Wah nggak ada Tarawih? Rasanya seperti bukan bula puasa, deh,” jawabnya sambil menggeleng-gelengkan kepala.
“Yah memang sudah kebijakannya seperti itu. Supaya mengurangi resiko penularan, ya makanya dihimbau sholat di rumah masing-masing. Tapi ada kok orang-orang yang merasa lebih khusyuk ibadah saat itu. Ya, mungkin itu salah satu hikmahnya Kak,” terangku.
“Iya juga yah, Bu. Terus, Bu. Ceritain dong, Bu lebaran dulu seperti apa?” pintanya dengan mata berbinar.

“Hmm… Ada syaratnya tapi, hehe. Habis ini Ibu cerita lebaran, sana kakak main sama kakek nenek. Mumpung mereka di sini lhoo, kan kangen sama cucunya yang cantik ini, yah kak?” pintaku sambil mencubit pelan pucuk hidungnya dengan gemas.
“Ihh Ibu… Iya deh, iya. Habis ini kakak main sama adek, sama kakek, sama nenek.”jawabnya sedikit kesal.
Aku tertawa melihat kekesalannya. Si sulung ini memang menggemaskan.

                                      **Catatan Keenam – Berbeda**

Halo, hari yang cerah akhir-akhir ini.
Apa kabar semua?
Semoga baik-baik saja.
Sehat-sehat ya, pulang ataupun tidak pulang.

Hari ini sudah H-2 lebaran. Tidak terasa, satu bulan berpuasa. Rasanya singkat sekali.
Saya paham, tahun ini tidak sama. Ragu, apakah suasananya akan tetap menyenangkan? Lebaran yang aku rindukan.
Rindu bisa shalat Id, silaturahmi ke sana ke mari. Jalan ke tempat temen. Ya, bukan hanya Anda yang merasakan, rindu itu. Gema takbir yang berkumandang. Riuh anak-anak di halaman. Ramadhan kali ini memang berbeda. Alhamdulillah masih menjumpai Ramadhan, meskipun sedikit berbeda.
Dua bulan terakhir di rumah saja. Bosan sudah pasti. Tapi bersyukurlah kamu yang masih merasa bosan. Bersyukur kamu masih bisa pulang ke rumah. Menyantap masakan ibu. Bandingkan dengan mereka yang tidak bisa pulang. Tertahan di kota orang.

Tetap semangat, baik-baik di sana. Jaga kesehatan. Jangan lupa makan. Maskeran. Cuci tangan. Semoga diberi kekuatan.
Semangat puasanya…
Tinggal dua hari saja.
Bersabar, bertahan, sampai semua reda.
Selalu jaga kesehatan, yah semua.

                                                                                                           Bumiayu, 22 Mei 2020


“Ihh.. Ibu, itu kan belum lebaran, katanya mau cerita lebaran? Ayo Bu, ceritain satu lagi .....” ucapnya mulai cemberut.
“Lucu deh si kakak ini kalau cemberut. Iya iya... Ibu ceritain lagi, kok, spesial buat kakak,” jawabku sambil menggodanya.

Catatan Ketujuh-Lebaran yang Berbeda

Bumiayu, 2 Syawwal 1441 H
Taqobbalallahu minna wa minkum. Mohon maaf lahir dan batin ya semua. Alhamdulillah masih diberi kesempatan berjumpa lagi dengan Ramadhan dan lebaran tahun ini. Terlepas dari apapun yang terjadi dan bagaimanapun suasananya, kita harus tetap bersyukur.
Hari ini, H+1 setelah lebaran. Iya, lebaran. Kenapa? Kamu ngga ngrasa ini kaya lebaran? Hehe sama kok. Rasanya agak hambar.
Malam takbiran kali ini rasanya lebih sendu. Saya agak terharu, rindu, dan sendu mendengar gema takbir itu. Bagaimana keadaan teman-teman yang tidak pulang? Memikirkannya saja sudah membuat sedih. Bayangkan saja, berlebaran di kota orang, sendirian pula. Makanya alhamdulillah saya masih bisa pulang ke rumah. Makan opor ayam. Makan ketupat. Shalat Id. Pakai baju baru. Dapat angpau. Makan peyek. Dan tentunya bertemu sanak saudara. Alhamdulillah, sebosan apapun kamu di rumah, kamu bisa pulang menikmati lebaran.
Kemarin pagi, saya (bukan hanya saya sih) tidak seperti biasanya tidak shalat Id di lapangan. Meskipun beberapa masjid menyelenggarakan Shalat Id berjamaah, saya memilih shalat #dirumahaja. Untuk pertama kali dalam hidup saya, shalat Id munfarid.
Selanjutnya ya seperti biasa, berkeliling desa. Kali ini lebih sepi dari biasanya. Banyak yang tidak mudik, terpaksa tidak mudik.
Mohon maaf ya, semua. Kalau saya banyak salah dalam berucap atau bertindak. Semoga Allah senantiasa melindungi kita.

Karena sebelum lebaran banyak waktu luang, jadilah deh belajar bikin donat, bikin biji ketapang, bikinn bolu pisang, bikin coklat kurma. Ya iseng, semangat buatnya, tidak tahu mau buat siapa. Kalau tidak ada tamu ya buat saya saja. Haha.
Teman-teman yang tidak pulang… Harap bersabar ya, semoga selalu dikuatkan dan dilindungi. Saya juga rindu kuliah.
Teman-teman di manapun berada, sepertinya tahun ini kita tidak diperkenankan bertemu secara lagsung. Jadi, mohon maaf lahir dan batin nggih. Taqobbalallahu minna wa minkum. Maaf kalau ada salah-salah kata, salah tindakan dari saya.

Semoga kita bisa berjumpa di Ramadhan dan lebaran tahun depan dengan damai yah semua. Mohon maaf lahir dan batin.
Nanti kita cerita tentang hari ini.
Tugas saya masih banyak.
THR (Tugas Hari Raya).
Sampai jumpa, saya mengantuk.

Bumiayu, 2 Syawwal 1441 H
25 Mei 2020 M

    “Lho, masa lebaran nggak ada liburan, Bu?” tanya si sulung setelah mendengar ceritaku bahwa lebaranku diisi tugas saja.
“Ya, libur sih libur tapi nggak kerasa liburan, Nak. Mau silaturahmi ke saudara juga nggak leluasa,” jawabku.
“Dulu, Nak. Pasar biasanya ramai menjelang lebaran. Tapi di tahun itu memang lebih lengang dari biasanya. Tapi, nggak papa, demi kesehatan bersama. Yang kuliah sibuk kuliah,, dapat banyak THR juga pastinya. Iya, Tugas Hari Raya (THR). Yang merantau nggak bisa pulang. Semuanya punya tanggungan sendiri-sendiri,” lanjutku menambahkan.
“Jadi nggak ada mudik-mudik gitu Bu?” ucapnya dengan alis bertaut.
“Nggak ada, Nak. Saat itu orang keluar-masuk Jabodetabek sangat diatasi. Kalaupun ada harus mengurus surat-surat dan sebagainya. Kereta, pesawat, bus, dll sangat dibatasi. Tapi tradisi mudik memang sudah melekat di kalangan masyarakat kita.  Makanya ada orang-orang yang nekat mudik sembunyi-sembunyi. Ada yang ngumpet di mobil pick up, ada yang rela bayar berkali lipat dengan naik travel, dan sebagainya. Ya wajar saja mereka begitu. Keinginan bertemu keluarga di rumah. Bahkan ada pula yang terpaksa mudik karena bingung tak dapat pekerjaan di kota. Daripada terlunta-lunta,” jelasku menjawab rasa ingin tahunya.
“Wah kasihan sekali  mereka...”ucapnya.
“Iya, Nak. Ibu beryukur masih bisa pulang ke rumah. Meskipun banyak tugas, meskipun bosan, setidaknya bisa lebaran di rumah,” tuturku.
“Nah, jadi Ibu udah cerita kan soal lebaran. Jadi sekarang kakak sana ikut main sama kakek nenek dan adek-adek. Tuh mereka mau jalan-jalan kelilinh kampung kayanya. Sana...sana, kakak ikut,” pintaku padanya sambil memandang keluar jendela.
“Ihh iya iya, Bu. Kakak kan ngga suka panas-panasan, lagian Ibu cuma cerita lebaran Idul Fitri, berarti lebaran Idul Adha belum dong, hehe,”kilahnya.
“Iya kapan-kapan Ibu ceritain ke kakak. Sana-sana cepat susul mereka, Kak,” ucapku.
“Iya deh... Dah Ibu..,” ucapnya sambil berlari keluar.
“Hati-hati, jangan lari-lari. Ehh kakak jangan lupa nanti jam 10 ikut ayah ke toko buku,” ucapku sedikit berteriak.
Mataku tetap memperhatikan setiap langkahnya. Kaki kaki kecilnya menciptakan langkah yang cepat. Seiring ia menjauh, pikiranku berkelana. Rupanya sudah lama sejak aku menulis catatan itu. Lima belas tahun bukan waktu yang singkat bukan? Si sulung yang baru saja beranjak pergi bahkan sudah beranjak remaja. Bukan hanya sudah cukup lama, aku sadar aku yang semakin menua. Mengingat usia, kembali pada lima belas tahun yang lalu saat aku masih seorang mahasiswa dengan segala kerumitannya. 
Tanganku perlahan membuka catatan selanjutnya, catatan bertanggal 15 Agustus 2020. Catatan dengan judul Pancarona seakan membawaku kembali pada hari-hari penuh makna.

Pancarona

Orenmanirago…
Sudah lama ya, hehe maafkan daku yang sok sibuk.
Terakhir aku tulis diary sepertinya Juni lalu, setelah lebaran. Wah sudah lama yah, bahkan sekarang sudah lewat dari Idul Adha. Apa kabar semua? Fisik sehat. Psikis sepertinya menjerit meminta jalan-jalan. Hati gimana kabar? Bosan iya, kangen apa lagi. Sebenarnya di antara sekian banyak hal, yang paling aku kangeni adalah kehidupanku yang teratur. Mar yang disiplin. Jam segini ngapain aja? Kapan yah aku kembali ke hari-hari sibuk tapi jelas dan teratur?
Ngomong-ngomong sekarang aku masih liburan. Belum ngapa-ngapain sih. Masih gini-gini ajah. Di kamar seharian, scroll instagram, nonton story orang, nunggu paketan, nonton drama, sekali-kali baca fiksi, sesekali baca buku sejarah, melukis, journaling, buat kue, hunting info, merangkum buku. Ohhh hari-hariku yang datar. Bosan sudah pasti. Aku yang biasa tertata jadi merasa tidak produktif sekali.
Sekarang tanggal 15 Agustus 2020, sudah selama itu aku di rumah. Tapi bulan kemarin aku sempat ke Semarang sih, nengok kostan, beres-beres, ambil buku, dan begadang. Aku kangen deh beneran sama keseharian di Semarang. BTW, Unnes jadi sepi sekaliii… Warung-warung banyak yang tutup. Kampus apalagi… Huhu siapa yang huni yah?
Btw, Idul Adha sudah lewat sekitar dua minggu yang lalu. Akhir-akhir ini temen-temen banyak yang nikahan dong, lebaran gini. Pokoke hampir tiap hari rasanya lihat story orang isinya kondangan, nikahan, undangan, tunangan, lamaran, syukuran, skripsian, KKN-an. Wajar sih di Idul Adha kemarin banyak yang nikahan. Asumsiku mungkin karena Idul Fitri kemarin nggak boleh ada kondangan-kondangan jadi akhirnya dialihkan ke Idul Adha. Aku cukup senang akhirnya karena lagi pada #dirumahaja jadi ada momen kondangan sekaligus reunian bareng teman-teman. Berbagi cerita dengan mereka mengenang masa-masa SMA. Aku menjumpai banyak pertanyaan,”Apa kabar?”, “Gimana kuliahmu?”, “Banyak tugas nggak?”, dan sebagainya. Pertanyaan-pertanyaan semacam itu membuatku sadar bahwa aku nggak sendirian. Aku punya banyak teman, dan mereka pun mengalami hal yang hampir sama di dunia perkuliahan daring. Perasaan bosan, lelah, stress, penat yang kami alami belumlah seberapa. Daripada kami terus berfokus pada rasa lelah, bukankah lebih baik jika menikmati masa-masa ini dengan sabar dan menerima? Karena bukan hanya kita yang mengalaminya, orang-orang di seluruh dunia pun merasakan hal serupa. Kalau kamu lagi capek, lagi bosan dengan hiruk pikuk perkuliahan, cukup ingat saja bahwa lelahmu adalah tanda bahwa kamu masih hidup. Perasaan lelah adalah tanda bahwa ada proses yang sedang kamu lalui. Bukankah dulu kita begitu bersemangat masuk kampus?
Aku menemukan sebuah catatan kecil di sudut word. Catatan yang sudah tenggelam di balik banyaknya tugas. Catatan ini aku tulis di masa awalaku kuliah daring sebagai pengingat diri. Kelak di masa depan ketika kamu membaca tulisan ini, semoga kamu masih tetap bersemangat dalam menimba ilmu, bagaimana pun keadaanya. Saat ada corona ataupun tidak.

Dialog Imajiner

Nyong : “Nyong kesel ih, akeh tugas, kuliah online. Siji durung rampung, ehh nambah maning. Bolak-balik WA, MS Word, WPS, Google Classroom, Google Meet, Zoom, Elena, Chrome, Sikadu, muter-muter bae. Unggal dina uplek ning kono.”
Aku : “Apa Kha? Kuliah capek? Hehe memangnya kamu nggak inget?”
Nyong : “Hah? Inget apa?”
Aku : “Ehem. Mari bernostalgia. Dulu siapa yang mati-matian pengin kuliah? Dulu siapa yang rela begadang demi bisa masuk server SNMPTN yang saat itu error? Siapa? Katanya pengin kuliah. Ndaftar ke sana ke mari, ngurus berkas ini itu. Lah sekarang udah kuliah kok sambat terus? Capek ya wajar. Istirahat sebentar. Lalu lanjut nugas lagi. Pelan-pelan.”
Nyong : “Hmm.”
Aku : “Gini aja deh, inget ya, lelahmu saat kuliah belum seberapa dibandingkan sama lelahnya orang yang banting tulang demi bisa kuliahin kamu. Udah lah, banyakin bersyukur, kurangi sambat. Tau ngga? Kamu harusnya bersyukur banyak-banyak. Alhamdulillah bisa kuliah. Alhamdulillah sehat. Alhamdulillah dapat tugas. Alhamdulillah bisa pulang ke rumah. Alhamdulillah ada sarana buat kuliah di rumah. Alhamdulillah masih dikasih rasa capek, tandanya aku masih hidup dan berproses. Coba bandingkan sama orang lain. Temenmu mungkin yang nggak bisa kuliah karena biaya. Temanmu yang masih belum diterima kuliah di mana saja. Atau mereka yang hari ini sedang sakit, berjuang melawan penyakit. Mereka yang nggak bisa pulang ke rumah. Mereka yang sekarang nggak punya pekerjaan karena PHK. Atau bahkan kamu perlu bandingkan dengan orang-orang yang sudah nggak dikasih rasa capek alias sudah meninggal?
Nyong : “…”
Aku : “Kuulangi yah, capek itu tanda kamu masih hidup dan terus berproses. Bersyukur, ingat bersyukur. Kursi yang kamu duduki sebagai mahasiswa adalah impian ribuan orang di luar sana yang mungkin tidak seberuntung kamu. Masa gini aja udah ngeluh? Kuota ada, word, classroom, meet, ppt,wps nyambung semua. Ayo dong jangan kalah sama keadaan. Perangi malasmu. Udah ya, tetep semangat berproses. Jaga kesehatan. Jangan lupa istirahat. Banyakin Alhamdulillah. Aku tau kita semua juga capek. Sabar, ya. Banyakin berdoa. Semoga kuat kita semua. Semoga semua kembali reda. Dan semoga sinyal lancar terus buat kuliah dan nugas tentunya. Sabar dulu, sabar lagi, sabar terus. Oke Dear?
Nyong : “Astaghfirullah… Aku…”

                                                                    Bumiayu, 18 Maret 2020
                              ---Untuk Mar yang dulu ‘katanya’ pengin kuliah

Tetap semangat jalani hari, sebab semua harus tetap berjalan lagi.

Selama aku di rumah aja ternyata banyak hal yang saya saksikan, yang saya dengar, dan saya ketahui. #Dirumahaja jadi banyak hal terjadi. Banyak hal yang aku lihat dengan lebih jelas. Tentang kehidupan sehari-hari yang selama ini tidak benar-benar diperhatikan. Sesekali kudengar ibu-ibu tetangga memarahi anaknya yang sulit diajari belajar. Sesekali kudengar adikku dimarahi ibu karena main terus. Sesekali kudengar ada saudara melahirkan. Selamat datang ke dunia fana ini, Nak. Sesekali kudengar para sepuh satu per satu kembali ke pangkuan Yang Maha Kuasa. Sesekali kudengar ada berita bahagia, entah teman, saudara, atau tetangga yang menyambut hari bahagia, memulai berumah tangga. Sesekali pula kudengar ada berita seseorang terbaring sakit karena usia. Ternyata banyak hal yang aku lewatkan selama ini.
Ternyata kehidupan orang dewasa itu kompleks banget sekali. Ada yang baru keluar dari tempat kerja. Ada yang kebingungan dengan skripsi yang tertunda. Ada yang bekerja keras membangun hunian untuk sanak keluarga. Ada yang semakin semangat bekerja, jualan ke mana-mana. Ada yang baru bertengkar dengan pasangannya. Ada yang baru saja meminang gadis pujaannya. Ohh jadi begitu yah hubungan dengan mertua. Ohh mendidik anak ternyata luar biasa. Kira-kira seperti itulah kata-kata yang sering saya gumamkan dalam hati. Semakin sadar bahwa hidup adalah pelajaran berharga.
Hal-hal kecil yang sering saya lewatkan. Di rumah aja ternyata buat saya lebih banyak berpikir. Banyak pertanyaan berseliweran di kepala. Semacam quarter life crisis. Aku ini siapa. Mau ngapain. Apakah jalan yang saya lalui ini sudah benar? Apakah saya akan berhasil? Apa yang saya kejar? Apakah saya sudah hidup sebagai manusia dengan benar? Apakah saya mampu memikul tanggung jawab yang lebih besar? Bukankah menjadi guru bukan pekerjaan yang mudah? Apakah saya mampu melanjutkan impian saya hingga magister? Apakah saya bisa membahagiakan orang tua? Bukan hanya soal materi, tapi juga soal rasa. Akankah saya bisa melalui semuanya? Bukankah pertanyaanku cukup banyak? Semakin lama saya semakin sadar bahwa saya harus banyak membenahi diri. PR saya masih sangat banyak. Kadang juga bingung menyelesaikan yang mana dahulu? Semoga Allah selalu menguatkanku.
Manusia bukan siapa-siapa. Memangnya apa yang dipunya? Nyatanya dalam keadaan sekarang, harta, tahta, tak ada bedanya. Si Corona menyerang siapa saja korbannya. Tak peduli kaya, tua, muda, tak punya. Dalam kondisi ini, siapa yang menang bukan soal siapa yang punya banyak uang. Tapi yang dapat beradaptasi dengan cepat akan muncul sebagai pemenang. Orang-orang boleh saja mengeluh sebanyak mungkin. Tapi kehidupan yang terus berjalan ini, hanya akan dimenangkan oleh orang-orang yang terus berjalan pula. Mengeluh tidak jadi solusi. Belajar, bersabar, bertahan. Bukankah hidup ini adalah kumpulan pelajaran? Tetap semangat, semua. Jaga kesehatan, ya. Sayangi diri Anda.

/Bukankah orang diam adalah orang dengan pikiran paling sibuk?/
Terima kasih, diri. Sudah bertahan sejauh ini.

Bumiayu, 7 Desember 2020.

Theme song:
Road-g.o.d
.
.
.

Pancarona adalah bagian terakhir yang akan aku kisahkan padamu. Meskipun kisahku sebenarnya masih panjang, kurasa sampai di sini saja dahulu. Pancarona kupilih sebagai judul catatanku sebab kisah selama Corona ada buatku memang beraneka warna. Mungkin kebetulan pula sekilas hampir terdengar seperti kata Corona, hehe.
Kusebut beraneka warna karena memang banyak rasa. Ada perasaan sedih ketika melihat korban yang semakin hari bertambah saja. Atau ketika mendengar lagi-lagi ada saja tenaga medis yang tertular si corona. Ketika mendengar teman-teman yang tidak bisa wisuda seperti biasa. Ketika mendengar himbauan tentang sholat Id di rumah aja. Ketika melihat berita orang-orang yang di PHK. Ketika melihat tayangan tentang mayat-mayat tergeletak di negeri tetangga. Ketika lagi-lagi acara demi acara yang tertunda atau dihapus dari rencana. Rasa sedih ketika Masjidil Haram ditutup sementara.
Ada pula rasa senang ketika menyaksikan kepedulian sesama. Rasa senang ketika bisa membantu anak-anak belajar meski #dirumahaja. Rasa senang ketika menyaksikan sedikit demi sedikit pasien sembuh dari corona. Perasaan senang ketika bertemu teman lama. Senang ketika langit akhir-akhir ini jadi semakin cerah saja. Perasaan bangga ketika buku yang tertumpuk akhirnya selesai dibaca. Ada perasaan haru dan bahagia ketika akhirnya saudari-saudari muslimah di luar sana tidak lagi dikecam karena cadarnya.
Semua perasaan itu bagaikan warna-warna yang berbeda. Terlepas dari itu semua, aku harap kita bisa lebih bijaksana. Bukan tidak boleh untuk berkeluh kesah. Tapi bukankah berkeluh kesah tak menyelesaikan masalah?
Kalau kamu ingat, dalam sebuah buku yang pernah kamu baca, isinya “Masalah ada karena kamu menganggapnya ada. Apapun yang hadir dalam hidup kita bersifat netral sebenarnya. Tergantung bagaimana kamu menyikapinya.” Ya, memang benar bahwa pandemi membawa banyak dampak bagi kita. Melelahkan memang. Membosankan iya. Tapi apakah kita hanya akan fokus pada rasa lelah dan bosan tanpa melakukan apa-apa?
Sadarilah bahwa setidaknya dari pandemi ini kita mendapat pelajaran berharga. Bahwa kesehatan itu utama. Bahwa kebersamaan itu bermakna. Semoga pandemi ini membuat kita lebih bijaksana, dengan perenungan penuh makna. Semoga pandemi ini membuat kita jauh lebih bersyukur atas segalanya. Semoga kesabaran dan kekuatan masih dalam hati kita. Semoga Allah selalu melindungi kita. Semoga semua kembali reda. Seperti dahulu ketika hari-hari yang damai dan leluasa. Terima kasih Corona.
Baiklah, terima kasih telah setia membaca tulisanku sampai sini. Jadi, bagaimana? Kamu mengantuk membacanya? Apa kamu menikmatinya? Aku hanya ingin bercerita, semoga ketika kamu membacanya kelak, kamu akan mengingat kisah ini sebagai sebuah pelajaran berharga dari Corona. Sedikit saja tak apa, semoga kamu dapat menangkapnya. Tulisanku ini, catatanku ini, kalau nggak ada Corona, mungkin kamu tidak akan membacanya. Satu lagi pesanku, akhiri harimu dengan baik. Sebelum beranjak tidur, sempatkanlah untuk meminta maaf atas kesalahan diri dan berterima kasih atas perjuangan hari ini. Sampai jumpa di hari-hari yang damai di mana kamu sudah jadi lebih dewasa. Seorang Mar’a di masa depan yang membaca tulisan ini, semoga kamu masih tetap mengingatnya. Hari-hari penuh makna. Hari-hari penuh warna. Selama Corona menyapa dunia. Pancarona.

Terima kasih. Jangan lupa bersyukur.

Bumiayu, 7 Desember 2020

⸻Kanigara