Pahlawan Revolusi Teknologi itu bernama Mekanika Kuantum

https://i2.wp.com/warstek.com/wp-content/uploads/2017/02/5_tubes.jpg?resize=800%2C445&ssl=1

Hampir semua teknologi kita saat ini bergantung pada kemampuan untuk “mengendalikan” elektron. Dengan kecepatan kerja yang luar biasa cepat dan juga ukurannya yang kecil, di 60 tahun lalu teknologi canggih tersebut tentu akan dianggap sebagai suatu bualan, sulap, bahkan sihir. Mengutip pernyataan seorang inventor Arthur C. Clarke, “advanced technology is indistinguishable from magic”. Fondasi dari teknologi canggih tersebut tentu saja fisika, tetapi fisika sangat luas karena mempelajari dari sesuatu yang berukuran amat sangat kecil seperti atom hingga sesuatu yang amat besar seperti galaksi. Nah, kira-kira fisika di bagian mananya?

Tidak ada pencapaian dalam fisika yang lebih penting bagi manusia daripada mekanika kuantum. Jika Anda berkarir sebagai fisikawan di 110 tahun yang lalu, Anda bisa dikira sebagai orang gila dan sesat! Tidak ada lagi hal-hal besar yang bisa dikerjakan, semua rumus penting telah ditemukan. Mekanika Newton dan kelistrik-magnetan Maxwell sudah berdiri kokoh. Yang bisa Anda lakukan adalah mengais sisa penemuan-penemuan remeh yang hanya memperluas ruang lingkup kedua mazhab fisika tadi. Seakan-akan tidak ada ruang bagi kelahiran dewa fisika baru. Begitulah pandangan para profesor fisika pada awal abad ke 19.

Orang sial yang masih bekerja di lab fisika pada saat itu adalah Max Planck. Meneliti radiasi dari sebuah benda yang memancarkan (radiasi) dan menyerap cahaya secara sempurna di Universitas Munich, Planck berusaha mendapatkan suatu formula/persamaan/rumus untuk menjelaskan spektrum intensitas yang dipancarkan benda aneh semacam itu. Hanya suatu formula yang merupakan pengembangan dari mazhab fisika yang sudah ada, tidak berharap menjadi seorang dewa, hanya seorang abdi yang setia pada dewa dewa fisika klasik. Setelah itu? Mungkin menjadi guru SMA atau pemain musik sekalian, karena sudah tidak ada tantangan lagi di dunia fisika. Siapa tahu sonata Beethoven masih belum lengkap?

Namun nasib berkata lain.

Alam memang seringkali menyimpan rahasianya hingga saat-saat terakhir. Planck menghabiskan waktu berbulan bulan untuk mencari formula yang cocok dengan hasil eksperimen radiasi tadi. Beberapa fisikawan lain yang juga kurang kerjaan ikut-ikutan mencoba namun tidak berhasil, beberapa bermain tebak tebakan namun tidak bisa menjelaskan keseluruhan spektrum intensitas secara utuh. Ada apa ini?

Energi bersifat diskrit?

Hanya ada satu cara, cara ini gila setidaknya untuk standar orang waras pada saat itu. Planck mengemukakan bahwa agar formulanya cocok maka atom-atom yang mengisi benda aneh itu haruslah meradiasi cahaya tidak seperti gelombang kontinyu, tetapi dalam “kuanta” diskrit (paket/terputus-putus). Energi diskrit? Planck sangat terganggu dengan gagasannya sendiri. Seperti orang yang berpindah dari satu tempat ke tempat lain, bukanya dengan cara berjalan tetapi melompat-lompat seperti pocong, you have to be kidding me!

Kemudian datang “orang gila lain” bernama Einstein. Nyeleneh seperti saat ia selalu menghindari kuliah yang dirasa membosankan. Orang yang datang dari kantor paten di Swiss dengan ijasah fisika pas-pasan itu mengusulkan lebih jauh bahwa cahaya sendiri (bukan hanya benda radiasi) juga membawa energi dalam bentuk kuanta, energi diskrit seperti partikel, seperti sekumpulan peluru yang dinamai foton! Mendengar ini, mungkin Young (penemu sifat gelombang cahaya) atau barangkali fisikawan klasik Huygens akan bangkit dari kubur dan tidak akan kembali ke kuburnya sebelum mencekik Einstein!

Yang terjadi kemudian adalah sebuah revolusi fisika yang telah mengubah hidup milyaran orang di muka bumi ini. Louis De Broglie, bangsawan perancis yang tidak mau hidup enak (foya-foya) tetapi lebih memilih mengutak atik rumus fisika, kemudian menunjukkan bahwa gagasan foton Einstein dapat diperluas untuk elektron dan partikel elementer (dasar) lainnya. Eksperimen kemudian dirancang dan hasilnya mencengangkan. Ternyata semua partikel memiliki panjang gelombang, bukan panjang gelombang klasik tetapi panjang gelombang yang dapat menunjukkan keberadaannya. Jika panjang gelombang tersebut diolah dalam suatu persamaan yang mungkin paling gila sepanjang masa temuan Erwin Schrödinger, maka akan menjadi kunci untuk menguak rahasia dunia atom yang kasat mata, dunia mekanika kuantum.

Persamaan Schrödinger (dan versi pengembangannya yakni persamaan Dirac) itu gila karena tidak pernah gagal! Tidak pernah gagal menjelaskan jutaan eksperimen fisika pada skala kasat mata hingga detik tulisan ini dibuat. Masukkan gelombang de Broglie dan informasi energi (jargon fisikanya: Hamiltonian) suatu partikel semacam elektron atau cahaya (foton) kedalam persamaan gila ini, kemudian biarkan komputer kita menghitung solusinya. Tadaaaaa, maka terkuaklah gembok menuju pintu rahasia dunia kasat mata; bahwa atom-atom terdiri dari level-level energi yang mengikuti suatu pola pengisian tertentu, probabilitas transisi antar level energi yang dapat dihitung, ikatan molekuler yang dapat dijelaskan, dan banyak fenomena mistis lainnya semacam efek terobosan yang memungkinkan suatu elektron menembus tembok potensial meskipun energinya secara klasik tidak memungkinkan.

Seandainya kita tidak memiliki Persamaan Schrodinger, kita tidak akan pernah dapat membuat transistor. Transistor memerlukan pengetahuan mengenai pengisian elektron dalam atom semacam Silikon atau Germanium. Transistor juga hanya dapat bekerja jika kita mengetahui bagaimana cara pengisian level-level energi oleh elektron, berapa energi yang diperlukan untuk menyuruh elektron berlari menghantarkan arus, bahan apa (doping) yang diperlukan untuk menghasilkan transistor yang efisien, dll. Semua itu tidak mungkin tanpa mekanika kuantum. Dapatkah kita membangun pesawat tanpa memahami aerodinamika? Tentu dapat, tapi hanya terbang sesaat dan hancur berkeping keping tak pernah menjadi pesawat yang bermanfaat.

Mengapa transistor begitu penting? Teknologi kita saat ini bersandar pada kemampuan rekayasa elektronika pada skala nano. Kemampuan untuk membelokkan elektron dan menentukan kapan ia dapat mengalir, juga kemampuan untuk memperkuat sebuah sinyal listrik, semua ini tidak akan mungkin tanpa transistor berukuran nano. Kemampuan hantar arus suatu transistor juga sangat bergantung pada perhitungan kuantum, khususnya efek terobosan dan probabilitas transisi. Benar, kita tentu masih bisa membuat komputer dan telefon tanpa transistor, misalnya dengan tabung trioda yang ukurannya segede tutup botol. Bayangkan prosesor Intel Core 2 Duo memiliki 230.000.000 transistor berukuran 45 nm, 230 juta tutup botol trioda digabung menjadi satu? Lebih baik cari mainan lain!

Lagi pula era transistor sebentar lagi akan berakhir. Dikarenakan transistor sudah berukuran begitu kecil hingga mencapai limit kuantum elektronik, maka daya (panas) yang dihasilkan akan menggangu kerja arus elektron secara signifikan. Jika hal tersebut terjadi maka kita harus beralih pada transistor cahaya, pada qubits (mekanika kuantum). Apa jadinya dunia tanpa mekanika kuantum dan betapa besarnya potensi teori ini 10 atau 20 tahun kedepan? Saat kita mendownload data berukuran gigabite di internet dalam hitungan detik dan menjalankan pengobatan DNA via komputer kuantum yang mampu mengolah semua informasi biologis manusia dalam sekejap, apa yang dikira sebagai suatu teori gila maka telah merevolusi kehidupan kita.

Sumber: