Orang Kafir Dan Orang Beriman, Keduanya Sama-sama Bertasbih

Taman Surga

Seseorang berkata: “Sesungguhnya Qadhi ‘Izzuddin mengirimkan salam penghormatan untuk kalian, dan beliau selalu memuji dan memuja kalian.”

Malulana Rumi berkata: “Setiap orang yang menyebut kita dengan ucapan yang baik, alam akan menyebutnya dengan ucapan yang baik pula.”

Ketika manusia membicarakan kebaikan manusia lainnya, kebaikan itu akan kembali kepadanya. Pada hakikatnya ia memuji dan mengapresiasi dirinya sendiri. Seperti sekuntum mawar dan bunga mewangi di sekitar rumahnya, yang setiap kali memandanginya, ia akan melihat mawar dan bunga-bunga. Selamanya ia akan berada di taman, dengan kadar yang membuat tabiat selalu mengingat kebaikan manusia. Setiap kali manusia sibuk membicarakan kebaikan orang lain, maka orang yang ia bicarakan itu akan menjadi kekasihnya. Saat ia mendengar namanya disebut, ia akan segera mengingat kekasihnya itu. Sementara mengingat kekasih itu ibarat sekuntum mawar, taman mawar yang beraroma surgawi. Namun saat dia membicarakan kejelekan orang lain, orang yang dibicarakannya akan menjadi musuh dalam pandangannya. Setiap kali ia mengingatnya, akan tergambar sosok orang itu di hadapannya, seakan-akan di depan kedua matanya terdapat ular, kalajengking, duri dan tumbuhan beracun.

Demikianlah, saat kamu mampu melihat mawar dan taman-tamannya di siang dan malam hari, dan kau lihat kebun-kebun Iram, mengapa kamu berbalik ke bumi yang penuh duri dan ular ini? Cintailah setiap manusia sehingga selamanya kamu berada di taman-taman mawar. Karena ketika kamu memusuhi setiap manusia, maka bayangan permusuhan akan nampak di depanmu. Seakan-akan kamu mengelilingi bumi yang penuh duri dan ular-ular, siang dan malam. Dari sini, sesungguhnya para wali mencintai semua manusia dan selalu meyakini kebaikan mereka. Karena saat mereka melakukan hal itu, hakikatnya bukan untuk orang lain melainkan untuk mereka sendiri. Karena mereka tidak ingin gambar yang ia benci dan membuatnya sakit tampak dalam pandangannya.

Karena mengingat orang lain serta memandang mereka merupakan hal yang tidak mungkin bisa dihindari, maka para wali berusaha sungguh-sungguh agar apa yang ada dalam akal dan memori mereka adalah hal positif yang dicintai dan dicarinya. Hingga kebencian terhadap orang yang dibenci tidak dapat mengganggu jalannya. Demikianlah, karena setiap hak orang lain yang kamu kerjakan serta kebaikan dan keburukan mereka yang kamu ingat akan kembali pada dirimu. Itulah mengapa kemudian Allah SWT berfirman:

“Barang siapa yang berbuat kebaikan, maka (pahala kebaikan) itu untuk dirinya, dan barang siapa yang berbuat keburukan maka (pahala keburukan) itu untuk dirinya pula.” (QS. Fushilat: 46)

“Maka barang siapa yang melakukan kebaikan sebiji zarah pun, niscaya ia akan melihat (balasan)nya, dan barang siapa yang melakukan keburukan sebiji zarah pun, maka ia akan melihat (balasan)nya pula.” (QS. al-Zalzalah: 7-8)

Seseorang bertanya:“Allah telah berfirman:

“Aku akan menjadikan seorang khalifah di muka bumi [QS. al-Baqarah: 30]

Kemudian malaikat berkata:

“Mengapa Engkau hendak menciptakan di bumi ini, orang yang berbuat kerusakan di dalamnya dan menumpahkan darah, padahal kami senantiasa bertasbih dengan memuji dan menyucikan-Mu [QS. al-Baqarah: 30]

padahal ketika itu Adam belum tiba di dunia. Lantas bagaimana mungkin malaikat dapat mengklaim jika manusia akan berbuat kerusakan dan menumpahkan darah?”

Maulana Rumi menjawab: “Hal itu bisa diketahui melalui dua pendekatan: pendekatan naqli dan pendekatan aqli .” Jika menggunakan pendekatan pertama, berarti malaikat telah membaca di Lauh Mahfuz tentang adanya suatu kaum yang akan muncul dengan perangai demikian, dan setelah itu mereka mengabarkannya.

Sementara dengan pendekatan yang kedua, berarti malaikat telah mengambil dalil dari akal bahwasanya mereka (manusia) adalah satu kaum yang akan muncul di bumi dan berperangai layaknya binatang. Jalan semacam ini pasti akan muncul pada diri binatang. Meskipun karakter tersebut juga ada pada diri manusia, karena dengan adanya tabiat kebinatangan pada jiwa mereka, tak dapat dipungkiri jika mereka akan merusak dan menumpahkan darah, karena itu adalah sebagian dari karakter manusia.

Beberapa orang menyebutkan makna lain. Mereka berkata: “Sesungguhnya malaikat hanya memiliki akal murni dan kebaikan saja. Mereka tidak memiliki pilihan apapun dalam melakukan sesuatu. Seperti halnya kamu melakukan sesuatu ketika tidur, sungguh kamu tidak punya pilihan dalam melakukannya. Tidak diragukan lagi bahwa tak seorang pun yang akan menyalahkanmu saat kamu tertidur, entah kamu mengucapkan kekufuran, bertauhid, atau bahkan berzina. Semacam itulah malaikat dalam kesuciannya.

Hal ini berbeda dengan manusia. Mereka mempunyai pilihan, syahwat dan penyakit jiwa. Mereka menghendaki setiap sesuatu untuk diri mereka sendiri. Mereka siap untuk menumpahkan darah agar segalanya bisa menjadi miliknya. Itulah sifat kebinatangan yang berbeda dengan keadaan makhluk lain, yaitu malaikat, yang berlawanan dari keadaan manusia.

Jadi, pemberitaan mereka bisa sepenuhnya diterima, karena mereka berkata dengan cara ini. Meski di alam sana tidak ada obrolan dan lisan. Demikian juga perkiraan jika seandainya saja kedua keadaan yang berlawanan ini dapat diungkapkan dengan pembicaraan dan obrolan di antara keduanya, maka kandungan obrolan itu akan tetap sama. Seperti ucapan seorang penyair: [Sebuah kolam bergumam: “Aku sudah penuh.” ] Tentu saja kolam tidak dapat berbicara. Maksud dari penyair adalah: “Seandainya kolam itu memiliki lisan, maka ia akan mengatakan demikian.”

Setiap malaikat memiliki sebuah papan di hatinya, yang mana dari papan itu malaikat sudah dapat membaca—dengan kadar kemampuannya—keadaan alam dan fenomena yang akan terjadi di kemudian hari. Ketika apa yang dia baca menjadi kenyataan, maka keimanan, kerinduan, dan rasa syukurnya pada Sang Pencipta akan semakin berlipat. Keagungan Allah dan pengetahuan-Nya akan hal gaib akan mencengangkannya. Bertambahnya rindu dan keimanan serta ketakjuban tanpa lafal dan ungkapan itu adalah wujud dari tasbih malaikat kepada Allah.

Ini seperti ucapan seorang arsitek kepada muridnya: “Di istana yang mereka bangun itu, pada bagian ini menggunakan kayu, bagian itu menggunakan batu bata, bagian ini menggunakan batu, dan bagian itu menggunakan tanah liat.” Ketika pembangunan istana sudah selesai dan jumlah material bangunan telah terpasang dengan sempurna, tanpa kekurangan dan kelebihan suatu apapun, maka keyakinan si murid akan bertambah kuat. Demikian juga yang terjadi dengan malaikat.

Seseorang berkata pada seorang syekh: “Sungguh Rasulullah Saw. memiliki keagungan yang sama, seperti diisyaratkan dalam firman-Nya: “Jika bukan karena engkau (Muhammad), tak akan Kuciptakan alam semesta.” Muhammad berkata: “Seandainya Tuhan Muhammad tidak menciptakan Muhammad, bagaimana alam ini akan ada?”

Sang syekh menjawab: “Pembahasan ini akan menjadi jelas dengan sebuah perumpamaan, sehingga dirimu dapat memahami maknanya.” Sang syekh melanjutkan: “Di sebuah desa ada seorang laki-laki yang mencintai seorang perempuan. Rumah dan kemah mereka berdekatan. Mereka berdua hidup penuh suka cita dan bahagia. Demikianlah mereka berdua saling bersandar untuk tumbuh dewasa. Kehidupan mereka saling bergantung satu sama lain, seperti ikan yang hidup di dalam air. Beberapa tahun mereka lalui bersama. Di tengah-tengah masa itu, Allah menganugerahkan mereka kekayaan yang berlimpah, mulai dari sapi jantan, kuda, harta, emas, kesederhanaan dan anak-anak.

Karena limpahan karunia dan kenikmatan yang dimilikinya, mereka berdua hendak pindah ke kota. Di sana masing-masing dari mereka membeli istana raja yang besar. Si lelaki tinggal di satu wilayah dan si perempuan tinggal di wilayah yang lain. Namun ketika mereka mencapai tingkat kesuksesan ini, mereka berdua tidak dapat menyambung kebersamaan lagi. Hati mereka terbakar dan secara diam-diam mereka merasakan penderitaan meski tidak mereka nyatakan. Api yang membakar di hati mereka telah mencapai puncaknya, sehingga mereka lebur dalam api perpisahan ini. Ketika kebakaran sudah sampai pada batas akhirnya, kerinduan dalam diri mereka berdua didengar oleh Allah. Kuda dan kambing mereka semakin mengurus, dan perlahan-lahan mereka kembali pada keadaan semula. Setelah masa yang lama, mereka kembali berkumpul di desa dan menikmati kehidupan bersama. Ketika mereka mengingat pahitnya perpisahan mereka, mereka menangis:

“Seandainya Tuhan Muhammad tidak menciptakan Muhammad.”

Demikian juga ketika roh Muhammad bersemayam di Alam Kesucian dan menyatu dengan Allah, ia tumbuh dan menjadi besar, laksana ikan yang tenggelam di lautan rahmat. Meskipun di kehidupan dunia ini beliau memperoleh pangkat kenabian, hadiah dari manusia, keagungan, keluhuran, kemasyhuran dan sahabat yang banyak, namun saat beliau kembali ke kehidupan yang pertama, beliau berkata:

“Andai saja aku tidak menjadi Nabi dan tidak datang ke dunia ini, yang jika dibandingkan dengan pertemuan dan penyatuan mutlak ini, maka semuanya hanyalah kesedihan, siksaan dan penderitaan.”

Semua ilmu, kesungguhan, dan ketaatan ini, jika dibandingkan dengan kemurahan dan kemuliaan Allah, seperti seseorang yang datang dengan berlutut di depanmu dan memberikan pelayanannya kemudian ia pergi. Seandainya kamu meletakkan seluruh bumi di atas kepalamu karena khidmat kepada Allah, maka seakan-akan kamu menundukkan kepalamu ke bumi satu kali. Itu karena kemurahan dan kelembutan Allah mendahului keberadaan dan pelayananmu. Dari mana Dia mengeluarkanmu, mewujudkanmu, dan membuatmu mampu beribadah serta berkhidmat, sampai-sampai kamu merasa bangga dan sombong dengan pelayananmu? Seluruh ibadah dan ilmu tersebut ibarat seseorang yang terluka karena membuat ayaman dari kayu dan bulu kempa lalu ia datang mempersembahkan anyaman itu kepada Allah seraya berkata: “Benda-benda ini Engkau berikan padaku karena aku mengharap rida dan penerimaan-Mu. Kini aku telah membuatnya, bila Engkau berkenan memberinya roh, maka pemberian-Mu adalah hak-Mu. Bila Engkau memberinya roh, maka Engkau telah menghidupkan amal-amalku. Namun jika Engkau tidak memberinya roh, maka segala sesuatu hanyalah milik-Mu.”

Nabi Ibrahim as. berkata:

“Tuhanku adalah yang menghidupkan dan mematikan [QS. al-Baqarah: 258] .”

Namrud menimpali:

“Akulah yang menghidupkan dan mematikan [QS. al-Baqarah: 258] .”

Ketika Allah memberinya kekuasaan, ia mengira dirinya memiliki kemampuan. Ia tidak menyandarkan perbuatannya kepada Allah. Ia berkata: “Aku juga bisa menghidupkan seseorang dan bisa mematikan orang yang lain, dan apa yang aku kehendaki di seluruh penjuru kekuasaanku ini adalah karena ilmuku.” Saat Allah memberikan manusia ilmu, kecerdasan, dan kecermatan, ia menyandarkan segala perbuatannya pada dirinya seraya berkata: “Sesungguhnya aku dengan perbuatan ini akan menghidupkan seluruh perbuatan dan memperoleh kebahagiaan.” Ibrahim berkata: “Tidak, Dialah yang menghidupkan dan yang mematikan.”

Seseorang berkata:

“Sesungguhnya Ibrahim berkata pada Namrud: “Sungguh Allah menerbitkan matahari dari timur, maka terbitkanlah dia dari arah barat, maka tercenganglah orang yang kafir itu; dan Allah tidak memberi petunjuk kepada orang-orang yang zalim." [QS. al-Baqarah: 258]

Maksudnya, jika kamu mengaku sebagai Tuhan, maka kerjakanlah hal yang sebaliknya.” Dari sini, dapat dimaklumi jika Namrud memaksa Ibrahim untuk meninggalkan pembahasan yang pertama tanpa memberi kesempatan untuk ia jawab, hingga ia pun beralih ke argumen yang lain.

Maulana Rumi menjawab: “Apa yang mereka katakan dalam masalah ini adalah omong kosong, begitu juga dengan apa yang kamu katakan. Ini adalah satu argumen yang diutarakan dalam dua contoh yang berbeda. Kamu salah dan mereka juga salah. Sesungguhnya keterangan ini memiliki makna yang berlimpah. Salah satu maknanya adalah: Allah telah membentuk dirimu dari rahasia ketiadaan dalam rahim ibumu. Tempat terbitmu adalah rahimnya. Dari sana kamu terbit lalu tenggelam di dalam kuburan. Inilah kesempurnaan pernyataan yang pertama. Tetapi dengan menggunakan ungkapan yang lain, yaitu: “Dia yang menghidupkan dan mematikan.” Maka maksudnya adalah: Jika kamu mampu, terbitkanlah ia dari dalam kubur dan kembalikan ia ke dalam rahim . Ini adalah salah satu maknanya.

Sedang makna yang lain ialah seorang yang bijak saat ia berhasil menggapai ketaatan, kerja keras, dan amal-amal sunnah, semua itu adalah tempat terbit, kemabukan, (kebahagiaan roh) dan suka cita. Dengan meninggalkan kepatuhan serta kerja keras, kebahagiaan itu akan tenggelam. Dua keadaan; kepatuhan dan meninggalkan kepatuhan, laksana tempat terbit dan tempat tenggelam bagi sang bijak. Jika kamu mampu menghidupkan, dalam keadaan lahiriah yang berupa kefasikan, penghancuran, dan perbuatan maksiat, maka tampakkanlah kebahagiaan yang biasa muncul dari berbagai amalan ketaatan dari tempat terbenamnya kebahagiaan yaitu kefasikan sekarang juga. Penampakan ini bukanlah perbuatan hamba, sebab dia tidak memiliki kemampuan untuk melakukan hal itu. Itu adalah perbuatan Allah. Jika Dia menghendaki, Dia akan mengeluarkan matahari dari tempat terbenamnya atau mengeluarkan matahari dari tempat ia terbit, karena:

“Dia-lah yang menghidupkan dan yang mematikan [QS. al-Mu’min: 68] .”

Orang kafir dan orang beriman, keduanya sama-sama bertasbih. Karena Allah telah memberitakan bahwa setiap orang yang menyusuri jalan yang lurus dan menetapi keistikamahan serta mengikuti syariat para nabi dan wali, Allah akan memberinya kebahagiaan, ia akan mampu menggenggam tempat terbitnya matahari dan kehidupan ini. Ketika ia melakukan amalan yang berlawanan dengan semua itu, Allah akan memberinya berbagai kegelapan, kecemasan, kuburan dan macam-macam cobaan. Hal ini karena orang kafir maupun orang beriman sama-sama berbuat sesuai dengan aturan Tuhan. Karena janji Allah tidak akan bertambah dan berkurang. Perbedaan ini akan semakin jelas ketika kedua orang tersebut (mukmin dan kafir) sama-sama menyucikan Allah, di mana yang satu bertasbih dengan lisannya, dan yang lain dengan lisan lainnya.

Misalnya, ada seorang pencuri yang digantung di atas tiang gantungan. Pencuri itu bisa menjadi peringatan bagi umat Islam. Karena darinya dapat dipahami bahwa setiap orang yang mencuri, maka keadaannya akan seperti itu. Di saat yang sama, ketika sang raja memberikan jubah pada salah seseorang dari mereka karena keistikamahan dan kepandaiannya dalam menjaga amanah, maka ia pun jadi peringatan bagi umat Islam. Si pencuri memperingati dengan lisannya, dan orang yang terpercaya itu memperingati dengan lisan yang lain. Renungkanlah perbedaan antara dua orang yang memberi peringatan tersebut.

Sumber : Jalaluddin Rumi, 2014, Fihi Ma Fihi, F Forum