Orang dengan Gangguan Mental Juga Berhak Untuk Dimanusiakan

Orang dengan Gangguan Mental Juga Berhak Untuk Dimanusiakan

Depressed 2

Dalam kehidupan sehari-hari, sering kali kita melakukan pekerjaan diluar batas kemampuan diri kita seakan-akan semuanya tampak penting. Terutama pada hari kerja, dimana dalam melaksanakan rutinitas itu kita dituntut untuk melakukan segala pekerjaan dengan sempurna dan tak jarang dengan beban kerja yang berat secara terus-menerus. Hingga sampai pada suatu titik dimana kondisi tubuh kita melemah. Setelah itu barulah kita menyadari bahwa kesehatan jauh lebih penting daripada segalanya.

Umumnya masyarakat di Indonesia memandang kesehatan hanya berkaitan dengan penyakit-penyakit yang sifatnya patologis secara fisik. Sedangkan pengertian kesehatan menurut organisasi kesehatan dunia WHO ( World Health Organization ) dalam E-Book yang berjudul Kesehatan Mental dalam Kedaruratan menjelaskan bahwa kesehatan merupakan kondisi kesejahteraan fisik, mental dan sosial setiap individu, sehingga kesehatan tidak hanya dilihat dari ada tidaknya penyakit, kondisi patologi tubuh ataupun kecacatan. Penjelasan tersebut memberikan pandangan bahwa kesehatan mental juga perlu diperhatikan dalam diri setiap individu agar dapat menjalankan aktivitas kesehariannya dengan normal.

Studi Global Burden of Desease yang dilakukan oleh IHME ( Intitute for Health Metrics and Evaluation ) menunjukkan bahwa 6 jenis gangguan mental termasuk dalam 20 jenis penyakit yang mengakibatkan disabilitas seseorang serta mengakibatkan beban sosial dan ekonomi. Pada umumnya masyarakat di Indonesia saat ini memandang bahwa gangguan mental bukan sebagai ancaman epidemiologis yang serius. Beberapa individu menganggap bahwa orang dengan gangguan mental adalah seseorang yang aneh dan mengancam keselamatan orang lain. Sehingga tak jarang masyarakat memperlakukan Orang Dengan Gangguan Jiwa (ODGJ) dengan cara dikucilkan dan diasingkan. Seringkali keluarga penderita gangguan mental dengan kemampuan ekonomi menengah kebawah ditambah dengan kurangnya pengetahuan mengenai kesehatan mental, sehingga alternatif solusi yang diambil adalah mengasingkan, mengurung sampai memasung penderita ODGJ. Selain bertentangan dengan HAM (Hak Asasi Manusia) dan norma hal tersebut juga mengakibatkan kecilnya kemungkinan penderita gangguan mental untuk bisa pulih seperti sedia kala. Untuk Itu edukasi bagi masyarakat sangat penting terkait kesehatan mental agar stigma yang selama ini melekat dimasyarakat dapat dihilangkan dan penderita mendapatkan penanganan yang tepat dari para ahli dibidang kejiwaan. Pola pikir masyarakat yang primitif mengenai penanganan penderita gangguan jiwa yang tidak tepat akan mengakibatkan gangguan mental pada penderita semakin parah.

Berdasarkan Riset Kesehatan Dasar (Riskesda) tahun 2018 menyebutkan bahwa di Indonesia dengan Jumlah penduduk 265 juta jiwa dan proporsi gangguan jiwa berat 7 orang per 1000 jiwa penduduk sama dengan 1.855.000 orang yang mengalami gangguan mental dan 14 % atau sejumlah 260.000 orang pernah mengalami pemasungan. Selain kurangnya edukasi masyarakat mengenai pemahaman tentang gangguan mental, tindakan pemasukan dilakukan sebagai alternatif karena penanganan kasus ini cenderung lamban. Kesehatan jiwa belum dipandang sebagai masalah kesehatan yang serius sehingga penanganannya jauh dari harapan. Dilihat dari fasilitas pelayanan kesehatan hanya ada 48 Rumah Sakit Jiwa (RSJ) di 26 provinsi dari 34 provinsi yang ada di Indonesia. RSU dengan layanan jiwa 269 dari 445 RSU. Fasilitas yang ada saat ini jelas tidak mencukupi jika dibanddingkan dengan jumlah penderita ODGJ yang ada.Pemasungan yang selama ini terjadi tidak sekedar hanya kurangnya edukasi mengenai kesehatan mental, ketidakmampuan ekonomi keluarga namun juga kurangnya peran pemerintah dalam memperhatikan kesehatan jiwa dimasyarakat. Sehingga dibutuhkan sinergi antara masyarakat, komunitas dan lembaga-lembaga lainnya beserta dukungan pemerintah untuk menanggulangi masalah kesehtan mental di Indonesia.

Sumber :

Artikel Pendukug :

1 Like