Objektifikasi Seksual Berdasarkan Buku Perawan Remaja Dalan Cengkraman Militer Catatan Pulau Buru oleh Pramoedya Ananta Toer

“…Kalian para perawan remaja, telah aku susun surat ini untuk kalian, bukan saja agar kalian tahu tentang nasib buruk yang biasa menimpa para gadis seumur kalian, juga agar kalian punya perhatian terhadap sejenis kalian yang mengalami kemalangan itu…….
surat kepada kalian ini juga semacam pernyataan protes, sekalipun kejadiannya telah puluhan tahun lewat…” - Pramoedya Ananta Toer.



Sungguh malang sekali nasib perawan remaja di Indonesia yang mempunyai impian untuk memiliki pendidikan tinggi dan bekerja dengan baik di masa depan namun dirampas begitu saja kehormatannya oleh penguasa Jepang. Ironis sekali membaca kisah dari buku Perawan Remaja Dalam Cengkraman Militer yang ditulis oleh Pramoedya Ananta Toer. Sejarah pilu dan tragis ini dialami oleh perempuan yang masih remaja kisaran umur 14 - 19 tahun dengan jumlah 200.000 seluruh Asia yang sempat di jajah oleh Jepang termasuk Indonesia. Mereka mengalami ketidakadilan ini pada zaman perang Jepang pada tahun 1943-1945. Mereka membuat alasan-alasan bahwa remaja-remaja perempuan ini akan disekolahkan di Tokyo dan Shonanto (Singapura). Namun semua itu hanyalah kepalsuan dan mereka hanya dijadikan “boneka pemuas” untuk tentara Dai Nippon. Pram ingin menyampaikan dengan Ia menulis novel ini kita sebagai generasi pemuda dan pemudi Indonesia mungkin memang tidak tahu keberadaannya sampai mereka mati dengan sangat pilu tetapi setidaknya kita tahu hal ini pernah terjadi di bangsa Indonesia yakni negara kita sendiri.

Pramoedya Ananta Toer menulis catatan Perawan Remaja Dalam Cengkraman Militer berdasarkan keterangan teman-teman sepembuangannya di Pulau Buru, Maluku. Semua itu berawal dari sulitnya hubungan transportasi laut dan udara akibat Perang Pasifik menyebabkan balatentara Dai Nippon yang sudah tidak bisa lagi mendatangkan wanita penghibur dari Jepang, Cina dan Korea. Maka dari itu, perawan remaja perempuan Indonesia dikirimkan kepada para serdadu Jepang.

Semua sirna sudah harapan dari remaja perempuan muda terpelajar yang terperangkap dalam angan-angan untuk mendapatkan pendidikan tinggi, memiliki impian kelak menjadi sukses dan mempunyai jabatan di negerinya sendiri. Beberapa orang tua dari para perempuan muda tidak merelakan anaknya pergi jauh namun penguasa Jepang tetap maksa secara paksa kepada masyarakat untuk mengikuti dan tunduk kepadanya termasuk pejabat-pejabat daerah. Penguasa jepang membuat para perawan remaja tidak bisa melawan dengan kekerasan dan para perawan remaja hanya bisa pasrah dan terlanjur masuk ke dalam jurang kegelapan.

Perawan remaja ditangkap dan dibawa menggunakan kapal-kapal dan siap menempuh perjalanan ke pulau-pulau yang siap memakai mereka dan menjadikan budak seks. Salah satu pulaunya adalah Pulau Buru, Maluku. Di Pulau Buru terapat ribuan orang-orang yang telah dibuang yakni para perawan remaja termasuk Pramoedya Ananta Toer. Di sini lah Pram menemukan bukti-bukti adanya para perawan remaja yang telah diambil dari keluarganya dan dijadikan pemuas nafsu oleh para serdadu Jepang.

Ironisnya lagi adalah setelah dipakai sebagai pemuas nafsu atau bisa dibilang budak seks, para serdadu Jepang meninggalkan begitu saja dan tidak memulangkan mereka kembali ke keluarganya. Sedangkan para korban perawan remaja sudah sangat takut dan tidak punya nyali untuk kembali ke rumah dan merasa kehilangan kehormatannya sebagai perempuan karena telah dirampas oleh mereka. Bagi para korban dunia sudah gelap gulita, masa depan dan kehormatan mereka sebagai wanita dirampas begitu saja. Bahkan mereka juga kehilangan orang-orang yang disayang seperti keluarga besarnya.

Dalam bab akhir ada suatu yang menarik yakni Pram menceritakan tentang pencarian Ibu Mulyati dari Klaten yang terdampar di Pulau Buru. Pram berhasil menggambarkan tentang keaslian dari Pulau Buru lengkap dengan segala budaya dan juga peradaban masyarakat aslinya. Perjalanan selama 20 jam yang lampaui sangat berat akhirnya membuahkan hasil, meskipun hasil nya tidak membawa solusi atau derita yang dialami oleh Ibu Mulyati dari perawan remaja sampai akhir hidupnya. Namun, dari hasil itu bisa dapat diperkuat fakta, pengalaman betapa sulitnya hidup para perawan remaja tersebut.

Bukan hal yang baru bukan kalian para pembaca melihat bahwa perempuan memang sudah lama hanya dijadikan objektifikasi seksual. Perempuan tidak memiliki kesempatan dan hak untuk menyatakan suatu pendapat, mengambil suatu keputusan, bahkan keputusan untuk dirnya sendiri. Dalam buku ini Pram ingin kita para perawan remaja Indonesia dimasa sekarang bukan hanya memiliki pandangan tertuju pada impian duniawi, tetapi dibuku ini kita bisa melihat pandangan jendela dunia dan kehidupan besar. Namun secara alur mungkin untuk para pembaca yang belum terbiasa dengan alurnya yang tidak runtut. Para pembaca mungkin akan kesulitan karena buku ini ditulis dengan penyajian data dan alur nya yang menyambungkan satu cerita mengenai korban propadaganda, dan menghubungkan dengan kisah-kisah lain.

Jika kita lihat dimasa sekarang bahwa juga masih banyak perempuan hanya dijadikan objektifikasi seksual, contohnya adalah seperti anak perempuan yang dijual untuk memuaskan pria karena keterbatasan ekonomi dari keluarga. Bukan hanya itu saja, masih terdapat perempuan juga yang belum memiliki hak dalam pendidikan, menduduki kursi-kursi jabatan dalam politik karena masih diberlakukannya perempuan sebagai kaum-kaum terbelakang. Pram juga menyampaikan “Seorang terpelajar harus juga berlaku adil sudah sejak dalam pikiran, apalagi dalam perbuatan.” yang dapat juga diartikan bahwa dalam dunia ini harus ada perubahan yang mampu mengeluarkan masyarakat dari perspektif tersebut. Sudahkah kalian pemuda-pemudi Indonesia menjadi penerus dan peradaban dunia lebih baik?