Mutasi Bakteri Sebabkan Malaria di Inggris Kebal Obat

Jakarta, CNN Indonesia – Para ilmuwan Inggris menemukan bahwa obat yang digunakan untuk mengobati kasus malaria di negara tersebut kini sudah tidak lagi ampuh. Akibatnya, empat pasien malaria harus mencari pengobatan alternatif.

Melansir Telegraph, menurut pengujian yang dilakukan London School of Hygiene and Tropical Medicine (LSHTM) kagagalan obat tersebut menangani malaria karena strain Plasmodium penyebab penyakit itu menunjukkan ketahanan pada obat atau resistansi.

Resistansi tersebut menurut temuan para ahli terutama pada kandungan artemether-lumefantrine atau AL yang terkandung dalam obat malaria.

Colin Sutherland, pemimpin penelitian, mengatakan menangani pasien malaria dengan pemberian obat AL menjadi salah satu rekomendasi umum di Inggris. Namun rekomendasi tersebut kini patut dikaji ulang.

“Beruntungnya, obat efektif lainnya masih tersedia. Tapi, banyak pasien yang mengobati diri sendiri dengan obat ini dan memungkinkan munculnya lebih banyak kasus gagal terobati,” papar Sutherland.

“Para dokter harus waspada terhadap kegagalan kemungkinan obat berbasis artemisinin atau AL, dan dokter juga harus membantu pengumpulan informasi rinci tentang hal ini,” tambahnya.

Sutherland juga mengatakan saat ini dibutuhkan sebuah upaya bersama untuk memantau hasil penggunaan AL pada pasien malaria. Hal ini akan menentukan sejauh mana ketidakefektifan obat malaria tersebut.

Berdasarkan statistik terbaru dari Badan Kesehatan Dunia (WHO), hampir setengah dari populasi planet ini berisiko terjangkit malaria.

Pada 2015, ada sekitar 212 juta kasus malaria dan diperkirakan ada 429.000 peristiwa kematian terkait malaria.

LSHTM mengatakan penelitian ini juga mencakup kasus kegagalan AL pertama yang didokumentasikan pada pasien Inggris. Penelitian tersebut dilakukan pada Oktober 2005 hingga Februari 2016.

Meskipun malaria tidak ditemukan di Inggris, namun ada sekitar dua ribu kasus yang terdiagnosis setiap tahun. Kebanyakan pasien adalah wisatawan usai menjalani perjalanan di negara tempat penyakit ini mewabah, seperti di negara-negara Afrika.

Sutherland berpendapat kejadian resistansi ini dapat sebagai peringatan bagi Afrika untuk berbenah diri.

“Resistansi obat adalah salah satu ancaman terbesar yang dihadapi dalam memerangi malaria,” ujarnya.

Penelitian WHO terbaru menunjukkan sekitar 3,2 miliar orang atau hampir setengah dari populasi dunia masih berisiko terjangkit malaria.

Malaria dapat disebabkan oleh gigitan nyamuk tunggal dan bisa berakibat fatal dalam kasus yang paling ekstrim. Gejala lain malaria adalah demam, berkeringat dan menggigil, sakit kepala, muntah dan nyeri otot.

(end/les)