Mitos atau Fakta? Limbah PLTN Bisa Dibuat Senjata Nuklir

https://i1.wp.com/warstek.com/wp-content/uploads/2018/04/nuclear-weapon.jpg?resize=800%2C445&ssl=1

Senjata nuklir menjadi momok besar sejak pertama kali (dan hanya sekali) digunakan pada perang sungguhan, tepatnya pada Perang Dunia II. Senjata berukuran kecil dengan bahan bakar sedikit, tetapi memiliki daya hancur jauh lebih kuat daripada senjata lain pada masanya. Kekuatan mengerikan ini, ditambah fisika radiasi yang belum banyak dipahami pada masa itu, kemudian melahirkan isu-isu terkait pemanfaatan lain dari energi nuklir, yakni PLTN.

Terkait dengan perang dan PLTN, salah satu isu yang beredar adalah limbah PLTN bisa disalahgunakan menjadi senjata nuklir, namun benarkah isu tersebut?

Isu ini muncul karena PLTN menggunakan bahan bakar yang sama dengan senjata nuklir (uranium) dan limbahnya (baca: bahan bakar bekas) juga mengandung bahan bakar senjata nuklir, yakni plutonium [1]. Karena kandungan bahan bakar itu, sebagian orang mengira bahan bakar PLTN (termasuk limbahnya) dapat disalahgunakan fungsinya dari untuk membangkitkan listrik menjadi senjata pemusnah massal.

Pertanyaan selanjutnya, limbah PLTN bisa disimpangkan jadi senjata nuklir itu mitos atau fakta?

Jawabannya, mitos.

Ada setidaknya dua alasan mengapa limbah PLTN tidak bisa disalahgunakan. Pertama, kandungan uranium dalam bundel bahan bakar. Seluruh PLTN di dunia ini menggunakan bahan bakar berupa uranium berpengayaan rendah (low-enriched uranium/LEU). Standari LEU adalah uranium mengandung kurang dari 20% berat isotop uranium-235, Realitanya, PLTN konvensional beroperasi dengan LEU dengan pengayaan kurang dari 5% [1]. Artinya, kandungan uranium-235 dalam bahan bakar tidak sampai 5% berat bahan bakar keseluruhan. Bahkan, reaktor Canadian deuterium uranium (CANDU) menggunakan uranium alam, yang hanya mengandung 0,72% uranium-235.

Baca juga Peningkatan Nilai Guna Bahan Bakar Nuklir Dengan Kombinasi PWR-CANDU

Apa relevansinya? Untuk membuat senjata nuklir, diperlukan uranium-235 dalam jumlah besar, pengayaannya minimal 90% alias terkategori dalam high-enriched uranium (HEU). Kira-kira, dibutuhkan 52 kg HEU agar sebuah senjata nuklir dapat mencapai massa kritis*. Semakin rendah pengayaan uranium, semakin besar massa kritis yang dibutuhkan [2].

  • massa kritis: massa minimal yang dibutuhkan sebuah susunan bahan bakar agar dapat menghasilkan reaksi fisi berantai yang berkesinambungan.

Agar dapat digunakan sebagai senjata nuklir, maka PLTN konvensional yang menggunakan LEU dibawah 5% membutuhkan sekitar 80 ton bahan bakar dalam reaktornya [1]. Itupun harus menggunakan moderator air untuk memperlambat kecepatan netron, sehingga reaksi fisi berantai dapat terjadi. Bayangkan memuat 80 ton uranium sekaligus air dalam satu senjata nuklir, apa mungkin?

Baca juga Molten Salt Reactor – Reaktor Nuklir Dengan Keselamatan Tinggi

Limbah PLTN mengandung lebih sedikit lagi kadar uranium. Dari 80 ton bahan bakar dalam reaktor, 30 ton dikeluarkan tiap tahunnya sebagai bahan bakar bekas. Sisa uranium-235 dalam bahan bakar itu hanya sekitar 1%, atau 300 kg. Sisanya adalah uranium-238 (95%), plutonium (1%) dan transuranik (3%) [3]. Lebih tidak mungkin lagi membuat senjata nuklir dari bahan bakar bekas PLTN.

Bagaimana kalau uranium-235 dipisah saja dari uranium-238? Tidak bisa. Kedua isotop itu memiliki nomor atom berdekatan, tidak mungkin diseparasi menggunakan cara apapun. Untuk menambah persoalan, uranium-235 di bahan bakar bekas sudah terkontaminasi isotop uranium-236. Isotop ini merupakan parasit yang membuat reaksi fisi berantai jadi kurang efektif.

Kedua, konten plutonium. Selain uranium, plutonium juga dapat digunakan sebagai senjata nuklir. Ketika reaktor nuklir beroperasi, sejumlah plutonium akan dihasilkan di dalam teras, sebagai hasil tangkapan netron oleh uranium-238. Sebagian orang menganggap ini bisa berpotensi disalahgunakan sebagai senjata nuklir. Tapi kenyataannya, hal ini tidak memungkinkan. Kenapa?

Plutonium dalam bahan bakar bekas memiliki kemurnian rendah. Sama seperti uranium, plutonium juga membutuhkan tingkat kemurnian tinggi agar bisa digunakan sebagai senjata nuklir, yakni plutonium grade senjata [2]. Sementara, plutonium dalam bahan bakar bekas PLTN sudah mengandung banyak kontaminan/pengotor.

Plutonium memiliki beberapa isotop, diantaranya plutonium-239 dan plutonium-240. Untuk bisa digunakan sebagai senjata nuklir, dibutuhkan plutonium-239 dengan kontaminasi plutonium-240 yang rendah. Batas maksimumnya adalah 7% plutonium-240 . Alasannya, plutonium-240 memiliki laju fisi spontan yang tinggi. Kontaminasi plutonium-240 terlalu tinggi akan membuat senjata nuklir meledak sebelum waktunya, dengan kekuatan ledakan jauh lebih rendah dari yang seharusnya. Istilahnya, fizzle. Senjata nuklir yang dihasilkan tidak reliabel dan daya ledaknya tidak mengesankan. [2].

Plutonium yang terdapat dalam bahan bakar bekas adalah plutonium grade reaktor, bukan plutonium grade senjata. Kontaminasi plutonium-240 di dalamnya sangat tinggi, lebih dari 7%. Tipikal kandungan isotop plutonium grade reaktor dapat dilihat pada tabel berikut [3].

Tampak dari tabel di atas bahwa kandungan plutonium-240 pada bahan bakar bekas minimal 17% dan paling besar hingga 31%. Semakin tinggi derajat bakar/burn-up*, artinya semakin lama bahan bakar berada dalam reaktor. Sehingga akumulasi plutonium-240 makin tinggi.

  • Walau angkanya berbeda, nilai derajat bakar riil PWR dan CANDU relatif setara, karena pengayaan PWR lebih tinggi daripada CANDU

Apakah tidak bisa kandungan plutonium-240 dipisahkan saja? Kalau uranium-235 tidak bisa dipisahkan dari uranium-238, walau ada selisih 3 nomor massa, apalagi plutonium-239 dan plutonium-240 yang hanya berselisih satu nomor massa?

Tidak bisakah produksi plutonium-240 dicegah? Tidak bisa. Akan selalu ada plutonium-240 yang terbentuk dalam reaktor nuklir. Semakin lama bahan bakar berada dalam reaktor, semakin banyak plutonium-240 yang terbentuk [2].

Untuk mencegah terlalu banyak plutonium-240 yang terbentuk, bahan bakar harus diganti tiap tiga bulan sekali. Bukan hal praktis, mengingat PLTN konvensional butuh waktu relatif lama untuk shutdown dan memulai kembali operasi akibat xenon poisoning [4]. Keanehan siklus penggantian bahan bakar seperti ini akan dengan mudah dideteksi International Atomic Energy Agency (IAEA) dan bisa segera ditindak. Mengingat bahan bakar PLTN berada dalam reaktor selama setahun hingga tiga tahun, tidak ada peluang menghindari kontaminasi tinggi plutonium-240 pada limbah PLTN [2].

Membuat senjata nuklir tidak harus punya PLTN. Untuk membuat bom nuklir uranium, cukup memiliki fasilitas pengayaan uranium. Sementara, untuk membuat bom nuklir plutonium, cukup mengiradiasi uranium-238 sampai terbentuk plutonium-239 menggunakan reaktor nuklir sederhana [1]. Tentu saja, ini bukan fungsi dari PLTN komersial.

Referensi:

  1. Max Carbon. 2006. Nuclear Power, Villain or Victim? Our Most Misunderstood Source of Electricity, 2nd Edition. Madison: Pebble Beach Publisher.
  2. Bernard L. Cohen. 1990. The Nuclear Energy Option. Pittsburgh: Plenum Press.
  3. World Nuclear Association. Plutonium. (Plutonium - World Nuclear Association). Diakses pada 14 April 2018.
  4. Equilibrium Xenon – Stationary Xenon Poisoning. (https://www.nuclear-power.net/nuclear-power/reactor-physics/reactor-operation/xenon-135/equilibrium-xenon-stationary-xenon-poisoning/). Diakses pada 5 Mei 2018.