Mission (not) Impossible: Cara Lebah Terbang yang Memukau

Sekitar awal abad ke-20 ada mitos yang berkembang bahwa lebah (dan serangga pada umumnya) mustahil dapat terbang. Proporsi ukuran sayap dengan badan lebah menjadi sebab mengapa ada yang berpikir demikian. Pendapat itu juga didukung oleh hasil hitung-hitungan fisikawan di zaman itu. Ludwig Prandtl, misalnya, yang pada akhirnya membuat banyak orang percaya bahwa kasus terbang lebah adalah fenomena yang menyalahi hukum fisika. Kini satu abad telah berlalu. Apakah hal ini memang suatu anomali?

Sebenarnya cara terbang lebah telah lama terungkap. Bahkan kini telah ada microrobot menyerupai lebah buatan sebuah laboratorium di Harvard University yang mampu terbang. Kesalahpahaman yang terjadi dalam kasus ini mungkin disebabkan oleh minimnya teknologi pada waktu itu. Manusia mengetahui cara burung terbang jauh-jauh hari sebelumnya. Prinsip Bernoulli yang mampu menjelaskan kasus burung dan pesawat terbang dengan baik, kembali dipakai dalam kasus lebah. Wajar jika melihat bentuk sayap lebah yang kaku dan sama sekali tidak airfoil, mereka berkesimpulan bahwa hal ini mustahil dilakukan. Mereka belum tahu bahwa lebah dan burung memiliki cara terbang yang berbeda. Seratus tahun yang lalu, teknologi masih belum semaju sekarang. Meski kamera slow motion telah ada di masa itu, namun kemampuannya belum secanggih saat ini.

Prinsip Bernoulli dalam Fenomena Burung Terbang
Hukum Bernoulli mampu menjelaskan kasus burung terbang dengan sangat baik. Salah satu kesimpulan yang dapat diambil dari persamaan ini adalah kaitan antara tekanan fluida dengan kecepatannya.

Hukum Bernoulli menunjukkan bahwa semakin cepat kecepatan fluida, tekanannya justru semakin turun. Sebaliknya, semakin lambat kecepatan alir fluida, tekanannya akan naik. Konsep inilah yang menjadi rahasia di balik trik burung menaklukkan gaya gravitasi. Sayap burung memiliki bentuk airfoil, memungkinkan fluida di bagian atas sayap mengalir lebih cepat dibanding bagian bawah. Sehingga, tekanan di bagian bawah sayap lebih besar daripada bagian atas, membuat burung mendapat gaya angkat dari udara di bawahnya. Bentuk seperti ini juga dipakai pada sayap pesawat terbang.
selain bentuk sayap, faktor lain adalah proporsi ukuran sayap burung dengan badan yang cukup lebar. Itulah mengapa meski memiliki bentuk sayap yang mirip, ayam tidak mampu terbang seperti burung. Tubuh ayam terlalu besar jika dibanding dengan lebar sayapnya.

Lebah Terbang Menggunakan Trik yang Berbeda
Lantas apa bedanya dengan lebah? Prinsipnya mirip, tapi praktiknya berbeda. Yang membedakan antara burung dengan lebah adalah cara mereka menggerakkan sayap. Burung mengepakkan sayap mereka ke atas dan ke bawah, sedangkan lebah mengepakkan sayap mereka ke depan dan ke belakang. Ketika lebah mengepakkan sayapnya ke depan, mereka akan memutarnya terlebih dahulu hampir 90 derajat sebelum menariknya lagi ke belakang.

Gerakan ini menghasilkan vortex (aliran udara yang berputar) di bagian atas sayap lebah, membuat tekanan udara di bagian itu lebih rendah dibanding tekanan udara di sekitarnya, sehingga tubuhnya terangkat ke atas. Untuk lebih jelas dapat dilihat pada gambar simulasi 3D di bawah ini yang memperlihatkan vortex -warna merah- yang muncul akibat gerakan sayap lebah.

Uniknya, cara terbang ini sangat efisien. Ketika lebah berada di tengah angin yang cukup kencang, mereka tidak memerlukan tenaga lebih untuk mempertahankan kondisi terbangnya. Sebuah penelitian yang dilakukan oleh R. Dudley dan C.P. Ellington dari Universitas Cambridge menunjukkan bahwa tenaga yang mereka butuhkan untuk terbang tidak dipengaruhi oleh kecepatan udara sekitar.

Sumber: