Mileanial, SALAHMU! (SAdari akhLAk dan ilMU)

Kaum mileanial, sebutan yang kerap dikaitkan dengan pemuda di zaman ini, kini semakin hari kaum ini malah mengalami krisis moral. Negara bahkan turun lansung menyikapi hal ini dengan menerapkan kurikulum pendidikan berkarakter. Apa yang menyebabkan karakter atau dalam islam kita sebut akhlak, menjadi sangat penting? Sebagai tolak ukur, kita bisa berkaca dengan permasalahan yang terjadi pada kaum muda atau kaum milenial saat ini. Budaya penyuapan, menyontek, bullying, hate-comments, mengolok-olok dan perilaku sejenisnya kerap menjadi lumrah di kalangan ini. Maka pantas saja, jika mereka menjadi pemimpin di masa depan, budaya ini akan terbawa bersama mereka sehingga tidak heran, muncullah yang dinamakan koruptor, penjahat berdasi, yang memiliki otak cemerlang namun tak berhati. Kecerdasannya tidak mendatangkan manfaat melainkan merugikan masyarakat.

Rasulullah Shallalu’alaihi wa sallam bersabda

“Tidak akan bergeser kaki manusia di hari kiamat dari sisi Rabbnya sehingga ditanya tentang lima hal: tentang umurnya dalam apa ia gunakan, tentang masa mudanya dalam apa ia habiskan… (HR. At-Thirmidzi).

Masa muda menjadi tolak ukur yang sangat penting dalam agama kita. Disinilah peran akhlak menjadi sangat penting. Sebagaimana perkataan Ibnu Qayyim rahimahullah,

“agama secara keseluruhan adalah akhlak. Barangsiapa akhlaknya lebih baik darimu, maka agamanya pun lebih baik darimu”.

Akhlak dapat menunjang kaum milenial menjadi pribadi berkualitas yang bermanfaat dan terberdayakan. Sebaliknya dengan menyepelekan akhlak akan terbentuk kaum milenial yang merugikan umat.

Kisah fir’aun, manusia yang diabadikan sebagai orang kafir,dzalim,dan binasa dalam kitab suci alquran. Padahal fir’aun adalah orang yang dikenal cerdas, pandai berstrategi perang, seorang raja yang perkasa, memiliki banyak prajurit, harta kekayaan yang melimpah serta berperawakan gagah. Namun semua kelebihan dunia yang dimiliki fir’aun tidak ada artinya di hadapan Allah, karena akhlaknya yang buruk.

وَقَالَ فِرْعَوْنُ يَا هَامَانُ ابْنِ لِي صَرْحاً لَّعَلِّي أَبْلُغُ الْأَسْبَابَ -٣٦- أَسْبَابَ السَّمَاوَاتِ فَأَطَّلِعَ إِلَى إِلَهِ مُوسَى وَإِنِّي لَأَظُنُّهُ كَاذِباً وَكَذَلِكَ زُيِّنَ لِفِرْعَوْنَ سُوءُ عَمَلِهِ وَصُدَّ عَنِ السَّبِيلِ وَمَا كَيْدُ فِرْعَوْنَ إِلَّا فِي تَبَابٍ -٣٧-

Dan Fir‘aun berkata, “Wahai Haman! Buatkanlah untukku sebuah bangunan yang tinggi agar aku sampai ke pintu-pintu, (yaitu) pintu-pintu langit, agar aku dapat melihat Tuhan-nya Musa, tetapi aku tetap memandangnya seorang pendusta. ” Dan demikianlah dijadikan terasa indah bagi Fir‘aun perbuatan buruknya itu, dan dia tertutup dari jalan (yang benar); dan tipu daya Fir‘aun itu tidak lain hanyalah membawa kerugian. (Ghofir 36-37)

Sifat pembangkannya pada ajaran yang dibawa nabi Musa dan kesombongannya yang diabadikan sejarah, menjadi pelajaran bagi umat di muka bumi ini. Tidak ada berkah dari kelebihan duniannya, justru malapetaka yang dijadikan sejarah.

Dilain sisi, kisah teladan Abdullah bin abbas atau lebih dikenal dengan ibnu abbas, seorang pemuda yang memiliki akhlak mulia dan keluasan ilmu yang tidak sebanding dengan usianya. Ketinggian ilmu ini membuatnya menjadi kawan dan lawan diskusi para sahabat senior. Umar bin khattab suatu waktu mengundang beliau pada musyawarah yang diisi para petinggi ulama. Para petinggi itu pun mempertanyakan kehadiran anak muda di musyawarah penting mereka. Namun ketika Umar memperlihatkan ketinggian ilmu pemuda itu, dengan menanyakan tafsir dari suatu ayat. Tidak ada dari petinggi senior itu yang lebih baik jawabannya dari ibnu abbas.

Ketinggian ilmu yang seperti ini diawali dengan akhlak mulia seorang ibnu abbas. Suatu ketika, benaknya dipenuhi rasa ingin tahu yang besar tentang bagaimana cara Rasulullah shalat. Malam itu, ia sengaja menginap di rumah bibinya, Maimunah binti Al-Harits, istri Rasulullah. Sepanjang malam ia berjaga, sampai terdengar olehnya Rasulullah bangun untuk menunaikan shalat. Ia segera mengambil air untuk bekal wudhu Rasulullah. Di tengah malam buta itu, betapa terkejutnya Rasulullah menemukan Ibnu Abbas masih terjaga dan menyediakan air wudhu untuknya. Betapa akhlaknya terhadap rasulullah shalllalahu ‘alaihi wasallam menuntun beliau mendapatkan doa “Ya Allah, berikan dia keahlian dalam agama-Mu, dan ajarilah ia tafsir kitab-Mu.” dari rasulullah shalllalahu ‘alaihi wasallam.

Menerapkan akhlak mendatangkan keberkahan. Sebagaimana kisah ibnu abbas mendapatkan keberkahan ilmu karena akhlak beliau. Keberkahan sangat penting dalam agama kita. Dalam kamus Al munawwri barakah atau keberkahan artinya karunia Allah yang mendatangkan kebaikan bagi kehidupan manusia. Keberkahan bisa datang dalam bentuk apapun baik dari keberkahan waktu, keberkahan ilmu, keberkahan rezeki dan keberkahan lainnya… Keberkahan ilmu misalnya, dengan berakhlak lebih baik kepada guru, dengan menghargai mereka, keberkahan akan datang berupa lebih mudah memahami pelajaran yang diberikan. Keberkahan waktu juga dapat diperoleh ketika milenial bersikap jujur saat ujian dengan tidak menyontek dan menaati aturan, boleh jadi Allah mendatangkan keberkahan, sehingga soal yang sulit untuk dikerjakan dan memerlukan waktu 30 menit untuk menyelesaikannnya dapat menjadi 15 menit saja.

Berikut kisah nyata mengenai keberkahan waktu. Kisah ini telah disaksikan dan diceritakan lansung dari pemilik kisah. Kisah seorang mahasiswi tingkat akhir yang sedang disibukkan skripsi. Mahasiswa ini adalah seorang penghafal AlQuran. Ia menyadari betapa skripsi banyak menyita waktunya. Dia azamkan kepada hatinya, Ya Rabb saya tidak mau perkara dunia ini menghalangi saya dalam beribadah kepadaMu. Membatasi saya mendekatkan diri dengan kalamMu. Saya kuliah agar dapat bermanfaat bagi orang lain dan menjadi sebaik baik manusia, sehingga semakin dekat kepadaMu. Betapa ia sering melihat temannya mengeluh pulang balik kampus menunggu dosen, konsultasi sana sini bahkan hingga malam hari.

Jujur, memang sangat sulit baginya. Apalagi dengan sikap dosen yang acuh tak acuh padanya. Ada dosen yang memarahinya di depan umum, ada dosen yang selalu menuda kosultasinya bahkan ada yang sampai menunda-nuda ujian skripsinya. Tapi tidak pernah ia tunjukkan sedikitpun pengurangan kehormatan pada dosen-dosennya itu dengan tetap percaya pada janji Allah. Masyaa Allah hari ketika ia ujian hasil yang normalnya satu jam untuk semua mahasiswa, mahasiswi itu hanya menghabiskan kurang dari 20 menit, pertanyaan dari penguji dosen killer bisa di jawabnya bahkan dosen tersebut memujinya. Semua temannya yang bahkan tidak paham agama serentak mengucapkan “masyaa Allah, kamu sungguh dimudahkan” mereka semua menyadari pertolongan Allah ada disitu. Belum sampai disitu, ketika tiba ujian tutup saat dimana gelar sarjana yang dipertaruhkan. Mahasiswi itu sekali lagi membuat teman temannya memandang takjub dan meneriakkan nama Allah. Betapa tidak, durasi waktu normal untuk ujian tutup semua mahasiwa adalah dua jam, bahkan ada yang lebih dari itu. Dua orang yang ujian satu jam yang lalu sebelum dirinya bahkan belum keluar dari ruangan. Ia keluar tidak sampai 30 menit. Pertanyaan yang diajukan hanya satu pertanyaan. Karena dosen itu merasa sudah mempercayai mahasiswi ini, melihat perjuangannya. Ia sama sekali tidak diarahkan untuk revisi skripsi, semua dosen memberikannya nilai A. Belum lagi ia mendengar kabar bahwa semua mahasiswi yang terdaftar memiliki dosen penguji ‘A’ semuanya ditunda ujiannya dan dipindahkan ke tahun selanjutnya kecuali si mahasiswi ini. Waktunya bersama alquran yang tidak ingin ia kurangi, kehormatannya pada dosen meskipun berbagai masalah menimpalinya, dan keyakinannya pada janji Allah membuatnya mendapatkan keberkahan pada skripsinya.

Kini, sebagai milenial yang sadar akhlak dan ilmu, tentukan langkah kita selanjutnya. Bonus demografi yang ada saat ini, perlu kita manfaatkan dengan sangat baik. Bukan hanya dengan meningkatkan kecerdasan, keterampilan dan status sosial kita, namun yang lebih penting adalah kita mulai memperbaiki akhlak kita. Problematika yang terjadi hari ini jangan kita mulai dengan menyalahkan pendidikan, menyalahkan negara atau bahkan membawa agama. Namun kita mulai dengan meneriakkan semboyan “Milenial, SALAHMU! ((SAdari akhLAk dan ilMU). Sebagaimana nasehat dari syaikh Muhammad bin Shalih Al-‘Utsaimin rahimahullah, “Seorang penuntut ilmu, jika tidak menghiasi diri dengan akhlak yang mulia, maka tidak ada faidah menuntut ilmunya.” (Syarhul Hilyah Fii Thalabul Ilmi, hal. 7).

Referensi