Metode dan Pendekatan Apa Saja yang Ada dalam Sosiologi?


Sosiologi sebagai ilmu pengetahuan tentu saja juga menggunakan metode ilmiah dalam memahami dan mengerti masyarakat dan hubungan-hubungan antar-manusia.

Metode dan pendekatan apa saja yang ada dalam sosiologi?

Metode penelitian dalam sosiologi sebagaimana dikemukakan oleh Paul B. Horton antara lain:

Studi Cross-sectional dan Longitudinal

Studi cross-sectional merupakan suatu pengamatan yang meliputi suatu daerah yang luas dan dalam jangka waktu tertentu. Sedangkan, studi longitudinal adalah studi yang berlangsung sepanjang waktu yang menggambarkan suatu kecenderungan atau serangkaian pengamatan sebelum dan sesudahnya.

Eksperimen Laboratorium dan Eksperimen Lapangan

Dalam penelitian dengan eksperimen laboratorium, subjek orang dikumpulkan dalam suatu tempat atau “laboratorium” kemudian diberi pengalaman sesuai dengan yang diinginkan si peneliti, kemudian dicatat kesimpulan-kesimpulannya. Sedangkan, penelitian eksperimen lapangan dalam pengamatan di luar laboratorium yang dalam hal ini peneliti memberikan pengalaman-pengalaman baru kepada objek secara umum kemudian diamati hasilnya.

Penelitian Pengamatan

Penelitian pengamatan hampir sama dengan eksperimen, tetapi dalam penelitian ini kita tidak memengaruhi terjadinya suatu kejadian.

Soerjono Soekanto mengemukakan bahwa pada dasarnya ada dua metode yang digunakan dalam sosiologi, yaitu:

Metode Kualitatif

Metode kualitatif adalah metode yang mengutamakan bahan yang sukar dapat diukur dengan angka-angka atau dengan ukuran-ukuran lain yang bersifat eksak walaupun bahan-bahan tersebut secara nyata ada dalam masyarakat. Dalam metode kualitatif ini, terdapat beberapa jenis metode, antara lain:

  • Metode historis , yaitu metode yang menggunakan analisis atas peristiwa yang terjadi di masa lampau untuk menghasilkan prinsip-prinsip umum dari pola-pola sosial, proses, dan perubahannya;
  • Metode komparatif , yaitu metode yang mementingkan perbandingan antara berbagai jenis masyarakat beserta bidangbidangnya, tujuannya untuk menghasilkan persamaan-persamaan dan perbedaan-perbedaan serta sebab dan akibat-akibatnya; dan
  • Metode studi kasus , yaitu metode pengamatan tentang suatu keadaan kelompok, masyarakat setempat, lembaga-lembaga, maupun individu-individu. Alat-alat yang digunakan dalam studi kasus antara lain: wawancara (interview), daftar pertanyaan (questionnare), dan participant observer technique (pengamat terlibat dan ikut dalam kehidupan sehari-hari masyarakat) yang diamati.

Metode Kuantitatif

Metode kuantitatif adalah penelitian yang menggunakan bahanbahan penelitian berupa angka-angka sehingga gejala yang diteliti dapat diukur dengan skala, neraca, indeks, tabel, dan formula, termasuk dalam hal ini adalah metode statistik, yaitu gejala masyarakat sebelum diteliti dikuantifi kasi lebih dahulu.

Selain metode di atas, ada metode-metode atau penalaran lain yang perlu dipahami, antara lain:

  1. Metode deduktif , metode berpikir yang dimulai dari hal-hal yang berlaku umum untuk menarik kesimpulan yang khusus. Dalam hal ini, data-data dan fakta dianalisis berdasarkan panduan teori atau kesimpulan umum yang telah ada. Jadi, dari yang umum menuju yang khusus. Oleh karenanya, metode ini dikenal sebagai metode “teori sentris”;
  2. Metode induktif , yaitu metode berpikir dengan mempelajari gejala-gejala khusus untuk mendapatkan kesimpulan yang bersifat umum. Metode ini adalah cara menarik kesimpulan umum dari data dan fakta yang diperoleh dari melakukan pengumpulan data di lapangan. Yang dilakukan adalah menarik kerangka umum sebagai teori dari data-data atau fakta-fakta yang dianggap sebagai gejala-gejala khusus. Dari hal-hal yang khusus, dihasilkan generalisasi yang umum yang dinamakan teori;
  3. Metode empiris , yaitu suatu metode yang mengutamakan keadaankeadaan dari pengalaman nyata yang ada di masyarakat;
  4. Metode rasional , yaitu metode yang mengutamakan penalaran dan logika akal sehat untuk memahami suatu masyarakat; dan
  5. Metode fungsional , metode yang digunakan untuk menilai kegunaan lembaga-lembaga sosial masyarakat dan struktur sosial masyarakat.

Selain metode berpikir dan metode di atas, dalam sosiologi juga dikenal beberapa pendekatan teoretis atau paradigmatis yang masingmasing memiliki asumsi-asumsi terhadap masyarakat. Beberapa perspektif yaang saling bertarung, antara lain:

Perspektif Evolusionis

Paradigma evolusionisme merupakan pandangan yang menarik garis dari pangkal keterbelakangan menuju ujung kemajuan. Ini adalah paradigma paling awal dalam sejarah sosiologi. Evolusionisme merupakan perspektif teoretis yang paling awal dalam sosiologi. Perspektif ini didasarkan pada karya Auguste Comte (1798—1857) dan Herbert Spencer (1820—1903).

Perspektif ini memberikan keterangan tentang bagaimana masyarakat manusia berkembang dan tumbuh. Para sosiolog yang memakai perspektif evolusioner, mencari pola perubahan dan perkembangan yang muncul dalam masyarakat yang berbeda, untuk mengetahui apakah ada urutan umum yang dapat ditemukan. Contoh: apakah paham komunis China akan berkembang sama seperti paham komunis Rusia yang memperoleh kekuasaan tiga dasawarsa lebih dulu? Apakah pengaruh proses industrialisasi terhadap keluarga di negara berkembang sama dengan yang ditemukan di negara Barat?

Perspektif evolusioner adalah perspektif yang aktif sekalipun bukan merupakan perspektif utama dalam sosiologi.

Perspektif Interaksionisme Simbolis

Dalam perspektif ini, dikenal nama sosiolog George Herbert Mead (1863—1931), Charles Horton Cooley (1846—1929), yang memusatkan perhatiannya pada interaksi antara individu dan kelompok. Mereka menemukan bahwa individu-individu tersebut berinteraksi dengan menggunakan simbol-simbol, yang di dalamnya berisi tanda-tanda, isyarat, dan kata-kata. Sosiolog interaksionisme simbolis kontemporer lainnya adalah Herbert Blumer (1962) dan Erving Goff man (1959).

Seperti yang dikatakan Francis Abraham dalam Modern Sociological Theory (1982), interaksionisme simbolis pada hakikatnya merupakan sebuah perspektif yang bersifat sosialpsikologis yang terutama relevan untuk penyelidikan sosiologis. Teori ini akan berurusan dengan struktur-struktur sosial, bentuk-bentuk konkret dari perilaku individual, atau sifat-sifat batin yang bersifat dugaan, interaksionisme simbolis memfokuskan diri pada hakikat interaksi, pada pola-pola dinamis dari tindakan sosial, dan hubungan sosial . Interaksi dianggap sebagai unit analisis. Sementara, sikap-sikap diletakkan menjadi latar belakang.

Perspektif ini tidak menyarankan teori-teori besar tentang masyarakat karena istilah “masyarakat”, “negara”, dan “lembaga masyarakat” adalah abstraksi konseptual saja, yang dapat ditelaah secara langsung hanyalah orang-orang dan interaksinya saja.

Para ahli interaksi simbolis seperti G.H. Mead (1863—1931) dan C.H. Cooley (1846—1929) memusatkan perhatiannya terhadap interaksi antara individu dan kelompok. Mereka menemukan bahwa orang-orang berinteraksi, terutama dengan menggunakan simbolsimbol yang mencakup tanda, isyarat, dan yang paling penting, melalui kata-kata tulisan dan lisan. Suatu kata tidak memiliki makna yang melekat dalam kata tersebut, tetapi hanyalah suatu bunyi, dan baru akan memiliki makna bila orang sependapat bahwa bunyi tersebut memiliki suatu arti khusus.

W.I. Th omas (1863—1947) mengungkapkan tentang defi nisi suatu situasi, yang mengutarakan bahwa kita hanya dapat bertindak tepat bila kita telah menetapkan sifat situasinya. Sementara itu, Peter L. Berger dan Luckman dalam bukunya Social Constructions od Reality (1966) beranggapan bahwa masyarakat adalah suatu kenyataan objektif, dalam arti orang, kelompok, dan lembaga-lembaga adalah nyata, terlepas dari pandangan kita terhadap mereka.

Masyarakat adalah juga suatu kenyataan subjektif, dalam arti bagi setiap orang, orang dan lembaga-lembaga lain tergantung pada pandangan subjektif orang tersebut. Apakah sebagian orang sangat baik atau sangat keji, apakah polisi pelindung atau penindas, apakah perusahaan swasta melayani kepentingan umum atau kepentingan pribadi—ini adalah persepsi yang mereka bentuk dari pengalamanpengalaman mereka, dan persepsi ini merupakan “kenyataan” bagi mereka yang memberikan penilaian tersebut. Para ahli dalam bidang perspektif interaksi modern, seperti Erving Goff man (1959) dan Herbert Blumer (1962), menekankan bahwa orang tidak menanggapi orang lain secara langsung. Sebaliknya, mereka menanggapi orang lain sesuai dengan “bagaimana mereka membayangkan orang itu”.

Prespektif Struktural-Fungsional

Pandangan ini sangat berakar kuat dalam sosiologi, mencirikan diri pada kepercayaannya pada tradisi keteraturan (menekankan pentingnya cara-cara memelihara keteraturan sosial ). Aliran ini memberi perhatian pada kemapanan, ketertiban sosial, kesepakatan, keterpaduan sosial, kesetiakawanan sosial, serta pemuasan kebutuhan dan realitas (empiris ).

Pandangannya mengutamakan rasionalitas dalam menjelaskan peristiwa sosial dan berorentasi pragmatis (berusaha melahirkan pengetahuan terapan untuk pemecahan masalah). Pandangan ini mengatakan bahwa realitas sosial terbentuk oleh sejumlah unsur empiris nyata; hubungan semua unsurnya dapat dikenali, dikaji, diukur dengan cara dan alat yang berfungsi memelihara keteraturan sosial.

Yang jelas, suatu masyarakat dilihat sebagai suatu jaringan kelompok yang bekerja sama secara terorganisasi yang bekerja dalam suatu cara yang agak teratur menurut seperangkat peraturan dan nilai yang dianut oleh sebagian besar masyarakat tersebut. Masyarakat dipandang sebagai suatu sistem yang stabil dengan suatu kecenderungan ke arah keseimbangan, yaitu suatu kecenderungan untuk mempertahankan sistem kerja yang selaras dan seimbang.

Tokoh-tokoh aliran ini antara lain Talcott Parsons (1937), Kingsley Davis (1937), dan Robert Merton (1957), yang menganggap bahwa kelompok atau lembaga melaksanakan tugas tertentu dan terus-menerus karena hal itu fungsional. Perubahan sosial mengganggu keseimbangan masyarakat yang stabil, namun tidak lama kemudian terjadi keseimbangan baru. Bila suatu perubahan sosial tertentu mempromosikan suatu keseimbangan yang serasi, hal tersebut dianggap fungsional; bila perubahan sosial tersebut mengganggu keseimbangan, hal tersebut merupakan gangguan fungsional; bila perubahan sosial tidak membawa pengaruh, hal tersebut tidak fungsional. Dalam suatu negara demokratis, partai-partai politik adalah fungsional, sedangkan pengeboman, pembunuhan, dan terorisme politik adalah gangguan fungsional, dan perubahan dalam kamus politik dan perubahan dalam lambang adalah tidak fungsional.

Prespektif Konflik

Menurut perspektif ini, masyarakat terdiri dari individu yang masingmasing memiliki berbagai kebutuhan (interests) yang sifatnya langka. Keberhasilan individu mendapatkan kebutuhan dasar tersebut berbeda-beda karena kemampuan individu berbeda-beda. Persaingan untuk mendapatkan pemenuhan mendapatkan kebutuhan memicu munculnya konfl ik dalam masyarakat.

Perspektif konflik menitikberatkan pada konsep kekuasaan dan wewenang yang tidak merata pada sistem sosial sehingga menimbulkan konfl ik. Tugas pokok analisis konfl ik: mengidentifi kasi berbagai peranan kekuasaan dalam masyarakat.

Perspektif konflik secara luas terutama didasarkan pada karya Karl Marx (1818—1883), yang melihat pertentangan dan eksploitasi kelas sebagai penggerak utama kekuatan-kekuatan dalam sejarah

Tokoh-tokoh berikutnya adalah C. Wright Mills (1956— 1959), Lewis Coser (1956), Aron (1957), Dahrendorf (1959, 1964), Chambliss (1973), dan Collines (1975). Jika kaum fungsionalis melihat keadaan normal masyarakat sebagai suatu keseimbangan yang mantap, para teoretikus konfl ik melihat masyarakat sebagai berada dalam konfl ik yang terus-menerus di antara kelompok dan kelas.

Teoretikus konflik melihat perjuangan meraih kekuasaan dan penghasilan sebagai suatu proses yang berkesinambungan terkecuali satu hal ketika orang-orang muncul sebagai penentang kelas, bangsa, kewarganegaraan, bahkan jenis kelamin. Para teoretikus konfl ik memandang suatu masyarakat sebagai terikat bersama karena kekuatan dari kelompok atau kelas yang dominan.

Mereka mengklaim bahwa “nilai-nilai bersama” yang dilihat oleh para fungsionalis sebagai suatu ikatan pemersatu tidaklah benar-benar suatu konsensus yang benar. Sebaliknya, konsensus tersebut adalah ciptaan kelompok atau kelas yang dominan untuk memaksakan nilai-nilai serta peraturan mereka terhadap semua orang.

Dari keempat aliran di atas, tampaknya perspektif teori fungsionalis dan perspektif konfl ik merupakan dua perspektif utama dalam sosiologi.