Menjernihkan Hati dan Membentuk Akhlakul Karimah Melalui Tasawuf di Dunia Modern

Korelasi Hati dan Akhlak

Hati yang bersih dan sehat merupakan keinginan dari setiap muslim. Karena dengan kondisi hati yang sakit dan kotor, akan berpengaruh kepada kesengsaraan dan kerusakan dalam kehidupannya. Setinggi apapun jabatan yang dimiliki, serta sebanyak dan selengkap kekayaan hartanya, tidak akan berarti bila unsur yang sangat berarti bagi diri manusia mengalami kerusakan, tidak hanya yang bersifat materi, lebih-lebih yang immateri, yaitu Hati. Dalam hal ini Nabi Muhammad SAW memberi penjelasan kepada kita:

أَلآ وَإِنَّ فِي الْجَسَدِ مُضْغَةً، إِذَا صَلَحَتْ صَلَحَ الْجَسَدُ كُلُّهُ، وَإِذَا فَسَدَتْ فَسَدَ الْجَسَدُ كُلُّهُ، أَلآ وَهِيَ الْقَلْبُ

“Ketahuilah, didalam tubuh manusia ada segumpal daging. Apabila segumpal daging itu baik, baiklah tubuh seluruhnya, dan apabila daging itu rusak, rusaklah tubuh seluruhnya. Ketahuilah olehmu, bahwa segumpal daging itu adalah qalbu (hati) (H.R. Bukhari).

Jika hati yang bersifat materi ini sakit, maka akan berdampak pada tubuh organ yang lain, misalnya penyakit lever atau hepatitis. Penyakit ini dapat merusak fungsi organ hati dan kerja hati sebagai penetral racun dan sistem pencernaan makanan dalam tubuh yang mengurai sari-sari makanan untuk kemudian disebarkan ke seluruh organ tubuh yang sangat penting bagi manusia.

Dalam sisi lain, hati yang dalam unsur immateri bersifat psikologis akan tampak dalam sehari-hari manusia. Jika hati ini sakit, dapat mengakibatkan penyakit yang bersifat batin, seperti takabur, iri hati, sum’ah, dengki, serakah, ujub, ghadhab, ananiah (egois), ghibah (menggunjing), namimah (adu domba), dsb.

Begitu pentingnya memerhatikan mutu dan kualitas hati, karena hati adalah tempat bersumbernya perilaku manusia buruk ataukah baik. Dalam keadaan bagaimana diri kita saat ini? Berperilaku dholim, hasud, riya, dan lain sejenisnya kepada orang lain ataukah berperilaku tawadhu’, menjauhi perbuatan tercela, husnuzhan (berbaik sangka), adil, dan lain sejenisnya kepada orang lain? Dua pertanyaan ini hanya dapat dijawab oleh hati.

Perilaku atau akhlak dinilai oleh Allah melalui hati seorang hamba. Seperti penjelasan Nabi Muhammad SAW kepada umatnya:

وَعَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ عَبْدِ الرَّحْمَنِ بْنِ صَخْرٍ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ قَالَ : قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ : إِنَّ اللَّهَ لاَ يَنْظُرُ إِلَى أَجْسَامِكُمْ وَلاَ إِلَى صُوَ رِكُمْ ، وَلَكِنْ يَنْظُرُ إِلَى قُلُوبِكُمْ

“Diriwayatkan dari Abu Hurairah Abdirrahman bin Syahrin radhiyallahu anhu, Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam bersabda, Sesungguhnya Allah tidak melihat kepada tubuh kalian dan tidak pula kepada rupa kalian, tetapi Dia melihat kepada hati kalian. (Hadits Riwayat Muslim).

Akhlak Zaman Now

Peradaban zaman terus berkembang seiring berjalannya waktu, baik dalam hal sosial budaya , teknologi, ekonomi, dan sebagainya. Era globalisasi ini mempunyai pengaruh yang sangat besar terhadap kehidupan seseorang, tidak terkecuali umat muslim. Globalisasi telah banyak memengaruhi generasi muslim saat ini, baik anak - anak, pemuda, remaja, bahkan orang tua.

Pengaruh positif yang ditimbulkan dari perkembangan zaman ini dapat kita rasakan saat ini, seperti Kecanggihan alat komunikasi, transportasi, dsb. Itulah yang kita alami sekarang dengan kemudahan menjelajahi berbagai hal. Akan tetapi, di lain sisi dampak negatif turut ikut menghantui globalisasi, seperti degradasi moral, kurangnya sopan santun, pergaulan bebas, akhlak tercela, dsb.

Untuk itu perlu adanya perbaikan akhlak dalam aspek kehidupan modern ini, sejalan dengan penjelasan di atas kunci dari perilaku atau akhlak seseorang terletak pada hatinya. Jika hati kita senantiasa suci, walaupun terjadi fenomena globalisasi kita dapat membentengi dan memfilter budaya - budaya yang semestinya kita jauhi.

Tasawuf sebagai Jalan Menuju Hati yang Bersih dan Akhlakul Karimah

Tasawuf secara etimologis berasal dari bahasa Arab, yaitu tashawwafa, yatashawwafu, tashawwufan. Selain dari kata tersebut ada yang mengatakan bahwa tasawuf berasal dari kata shuf (صوف yang artinya bulu domba), maksudnya adalah bahwa para penganut tasawuf ini hidupnya sederhana, tetapi berhati mulia serta menjauhi pakaian sutera dan memakai kain dari bulu domba yang kasar atau yang disebut dengan kain wol kasar. Yang mana pada waktu itu memakai wol kasar adalah simbol dari kesederhanaan.¹

Kata shuf tersebut juga diartikan dengan selembar bulu yang maksudnya bahwa para sufi dihadapan Tuhannya merasa dirinya hanya bagaikan selembar bulu yang terpisah dari kesatuannya yang tidak memiliki arti apa-apa.²

Tasawuf juga berasal dari kata shafa (صفاء yaitu jernih, bersih atau suci), makna tersebut sebagai nama dari mereka yang memilik hati yang bersih atau suci, maksudnya adalah bahwa mereka menyucikan dirinya di hadapan Allah SWT melalui latihan kerohanian yang amat dalam yaitu dengan melatih dirinya untuk menjauhi segala sifat dan sikap yang kotor sehingga mencapai pada kebersihan dan kesucian pada hatinya.³

Syekh Abdul Qadir al-Jailani berpendapat tasawuf adalah mensucikan hati dan melepaskan nafsu dari pangkalnya dengan khalawt, riyadloh, taubah dan ikhlas.⁴

Sedangkan menurut Syekh Al-Junaidi berpendapat bahwa tasawuf adalah membersihkan hati dari yang mengganggu perasaan, memadamkan kelemahan, menjauhi seruan hawa nafsu, mendekati sifat-sifat suci kerohanian, bergantung pada ilmu-ilmu hakikat, menaburkan nasihat kepada semua manusia, memegang teguh janji dengan Allah dalam hal hakikat serta mengikuti contoh Rasulullah dalam hal syariat.

Ilmu tasawuf bersumber dari ajaran agama islam sendiri, yaitu Al-Qur’an dan Hadis. Terdapat dari beberapa ayat - ayat Al-Qur’an menjelaskan hakikat kehidupan manusia, dunia yang sementara ini hanyalah permainan dan suatu yang melalaikan, sedangkan akhirat merupkan sejatinya tujuan manusia hidup dan kekal abadi. Sebagaiman Allah berfirman:

ٱعْلَمُوٓا۟ أَنَّمَا ٱلْحَيَوٰةُ ٱلدُّنْيَا لَعِبٌ وَلَهْوٌ وَزِينَةٌ وَتَفَاخُرٌۢ بَيْنَكُمْ وَتَكَاثُرٌ فِى ٱلْأَمْوَٰلِ وَٱلْأَوْلَٰدِ ۖ كَمَثَلِ غَيْثٍ أَعْجَبَ ٱلْكُفَّارَ نَبَاتُهُۥ ثُمَّ يَهِيجُ فَتَرَىٰهُ مُصْفَرًّا ثُمَّ يَكُونُ حُطَٰمًا ۖ وَفِى ٱلْءَاخِرَةِ عَذَابٌ شَدِيدٌ وَمَغْفِرَةٌ مِّنَ ٱللَّهِ وَرِضْوَٰنٌ ۚ وَمَا ٱلْحَيَوٰةُ ٱلدُّنْيَآ إِلَّا مَتَٰعُ ٱلْغُرُور سَابِقُوٓا۟ إِلَىٰ مَغْفِرَةٍ مِّن رَّبِّكُمْ وَجَنَّةٍ عَرْضُهَا كَعَرْضِ ٱلسَّمَآءِ وَٱلْأَرْضِ أُعِدَّتْ لِلَّذِينَ ءَامَنُوا۟ بِٱللَّهِ وَرُسُلِهِۦ ۚ ذَٰلِكَ فَضْلُ ٱللَّهِ يُؤْتِيهِ مَن يَشَآءُ ۚ وَٱللَّهُ ذُو ٱلْفَضْلِ ٱلْعَظِيمِِ

“Ketahuilah bahwa sesungguhnya kehidupan dunia itu hanyalah permainan dan suatu yang melalaikan, perhiasan dan bermegah-megah antara kamu serta berbangga-bangga tentang banyaknya harta dan anak, seperti hujan yang tanam-tanamannya mengagumkan para petani; kemudian tanaman itu menjadi kering dan kamu lihat warnanya kuning, kemudian menjadi hancur. Dan di akhirat (nanti) ada azab yang keras dan ampunan dari Allah serta keridaan-Nya. Dan kehidupan dunia ini tidak lain hanyalah kesenangan yang menipu. Berlomba-lombalah kamu kepada (mendapatkan) ampunan dari Tuhanmu dan surga yang luasnya seluas langit dan bumi, yang disediakan bagi orang-orang yang beriman kepada Allah dan Rasul-rasul-Nya. Itulah karunia Allah, diberikan-Nya kepada siapa yang dikehendaki-Nya. Dan Allah mempunyai karunia yang besar.”(Q.S Al-Hadid: 20-21)

Sedangkan dalam hadits Rasulullah SAW yang merupakan sumber hukum islam kedua setelah Al-Qur’anul Karim. Salah satu hadits yang dijadikan dasar dalam ilmu tasawuf adalah:

Hadith qudsi yang di riwayatkan oleh Abu Hurairah :

قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِنَّ اللَّهَ قَالَ مَنْ عَادَى لِي وَلِيًّا فَقَدْ آذَنْتُهُ بِالْحَرْبِ وَمَا تَقَرَّبَ إِلَيَّ عَبْدِي بِشَيْءٍ أَحَبَّ إِلَيَّ مِمَّا افْتَرَضْتُ عَلَيْهِ وَمَا يَزَالُ عَبْدِي يَتَقَرَّبُ إِلَيَّ بِالنَّوَافِلِ حَتَّى أُحِبَّهُ فَإِذَا أَحْبَبْتُهُ كُنْتُ سَمْعَهُ الَّذِي يَسْمَعُ بِهِ وَبَصَرَهُ الَّذِي يُبْصِرُ بِهِ وَيَدَهُ الَّتِي يَبْطِشُ بِهَا وَرِجْلَهُ الَّتِي يَمْشِي بِهَا وَإِنْ سَأَلَنِي لَأُعْطِيَنَّهُ وَلَئِنْ اسْتَعَاذَنِي لَأُعِيذَنَّهُ وَمَا تَرَدَّدْتُ عَنْ شَيْءٍ أَنَا فَاعِلُهُ تَرَدُّدِي عَنْ نَفْسِ الْمُؤْمِنِ يَكْرَهُ الْمَوْتَ وَأَنَا أَكْرَهُ مَسَاءَتَهُ

“Dari Abu Hurairah r.a, Rasulullah SAW bersabda, bahwa Allah SWT berfirman,
“Barang siapa memusuhi seseorang wali Ku, maka aku mengumumkan peperangan terhadapnya. Tidak ada sesuatu yang mendekatkan hamba Ku kepada Ku yang lebih Aku sukai daripada pengalaman yang Aku wajibkan atasnya. Kemudian hamba Ku yang senantiasa mendekatkan diri kepada Ku dengan melaksanakan amalan-amalan sunah, maka Aku senantiasa mencintainya. Jika Aku telah cinta kepadanya, jadilah Aku pendengarnya yang dengannya dia mendengar, Aku penglihatannya yang dengannya dia melihat, Aku tangannya yang dengannya dia memukul, dan Aku kakinya yang dengannya dia berjalan. Jika dia memohon kepada Ku, Aku perkenankan permohonannya. Jika dia minta perlindungan dia Aku lindungi, dan jika dia mengulang-ulang sesuatu maka Aku adalah pelakunya, sebagaimana keraguan seorang mukmin yang membenci kematian, sementara Aku membenci keburukan.”

Berdasarkan penjelasan di atas dapat disimpulkan bahwa metode tasawuf sangat tepat diterapkan untuk pembersihan hati dan penata akhlak. Perlu adanya pembelajaran, bahkan budaya hidup yang bersifat tasawuf bagi umat islam, dengan tujuan mendapatkan arti kehidupan yang sesungguhnya. Sehingga dengan kemajuan teknologi dan globalisasi umat islam tidak melupakan tujuan dari hidup di dunia yaitu beribadah kepada Allah SWT.

¹ Samsul Munir Amin, Ilmu Tasawuf, (Jakarta: Amzah, 2012), 4.
² Cecep Alba, Tasawuf dan Tarekat, Dimensi Esoteris Ajaran Islam, (Bandung: PT Remaja Rosdakarya, 2012), 9.
³ Amin, Ilmu Tasawuf, 3
⁴ Alba, Op. Cit., 11.