Menjadi perempuan dengan sebuah sikap fanatisme

“Alay.” Adalah sebuah kata yang sering saya lihat atau baca ketika masuk pada sebuah platform sosial media, pernyataan tersebut sering dilontarkan—secara spesifik—pada target tertentu, yang paling atau mungkin setiap terlontarnya kata tersebut memang ditujukan untuk kepada sebuah kelompok penggemar wanita, penggemar korean pop? Oh tidak (itu saja).

Saya adalah seorang mahasiswa yang telah menggeluti dunia fangirling ini cukup lama, dari sejak 2012, hal yang saya gemari sudah bermacam macam dari mulai, boyband indonesia, penyanyi solo pria dari Amerika, bubblegum pop boyband dari britania raya, australians pop punk band, hingga saat 2016 saya menyukai apa yang akhirnya sangat lumrah disukai oleh remaja seusia saya—yang lebih berasal dari segala kalangan dan tidak ada tembok eksklusifitas (baca: image glamor hollywood) yang sangat kentara yaitu korean pop, dan juga pada 2018 saya menggemari band dan penyanyi penyanyi ‘Indienesia’.

Ada satu hal yang sama persis yang selalu konsisten didapatkan ketika saya ‘menjelajahi’ semua fandom tersebut, yaitu: olok olokan dari kaum pria. Tahun pertama atau kedua mungkin saya anggap serius dan selalu berpikir saya harus melawan stigma yang mereka terapkan kepada seorang fangirl. Tapi tahun ke 3 mungkin saya semakin yasudahlah, dan tahun ke 4 adalah dimana saya mempertanyakan segala hal.

Ya sudahlah, ya sudahlah, ya sudahlah. Hingga saya sadar ketika menulis artikel ini ternyata pemakluman terhadap komentar jahat dari laki laki kepada perempuan karena mereka memilih jalan kebahagiaan mereka sendiri adalah sebuah omong kosong.

Selama ini perempuan selalu lengket dengan image yang harus memiliki hati legowo dan menerima atas apa hal yang telah dipilihkan, entah itu dipilihkan untuk menjadi keren sehingga masyarakat hanya menunjuk A, B, C untuk digemari perempuan dan tidak di cap alay. Jadi menjadi sebuah ketabuan ketika perempuan memilih hal yang ingin ia sukai dan bahwa kebahagiaan bukanlah hal yang ditetapkan dari dan oleh orang lain terhadapnya.

Oh, kita kesampingkan korean pop yang memang sudah terang terangan dibenci karena disukai dan dihina hanya karena standar maskulinitas pada pria adalah suatu hal yang rapuh, hal yang konyol seperti rundungan pada kelompok penggemar pun terjadi pada fans sekelompok fans band pop punk dari australia 5 Seconds of Summer dengan alasan: para wanita hanya menyukai mereka karena mereka tampan. Halo?! Bagaimana bisa rupa sang pembawa pesan menjadi faktor penentu karya mereka?!

Sebagai komparasi, saya juga adalah penggemar musik indonesia yang sering mereka sebut dengan musik indie, saya adalah seorang penggemar kpop (secara diam diam) yang juga menggemari beberapa band rock yang ‘kampus banget!’ pada saat ini seperti .Feast, Panturas, Hindia, Fourtwnty, Barasuara yang anehnya ternyata saya dapat praising ketika saya ketahuan menyukai hal hal ini, kawan laki laki menganggap saya keren ketika saya adalah seseorang yang mendatangi konser konser .Feast, mengetahui brand clothing dari Olyver Sykes, atau dapat ngobrol baik karena mengetahui Iga Massardi dan Gerald Situmorang. Hal ini terjadi pada ketika saya lebih sering update mengenai hal hal tersebut, padahal bukankah itu sebuah sikap fanatisme juga? Sementara beberapa orang langsung menolak mentah ketika saya mengaku saya adalah seorang fans dari k-pop. Hei! Apa yang salah? Apa yang berbeda? Sifatnya tetaplah sama!

Hingga saya menyadari stigma bahwa menjadi penggemar adalah hal buruk menjadi lebih parah pada fans korean pop, laki laki sering mengolok olok dengan alasan yang lebih konyol karena sifat toxic masculinity bahwa yang benar benar seorang laki bukanlah orang yang merawat dirinya dan menari di panggung, dan dianggap orang yang laki hanyalah apa yang lumrah terjadi di lingkungan itu sendiri, sepak bola, action figure, politik, dan sebagainya. Melihat para lelaki kpop mungkin dianggap melemahkan standar maskulinitas yang sudah (katanya) lumrah pada laki laki, standar maskulinitas pada pria bahkan lebih rapuh ketika menyukai sebuah girlgrup, dianggap banci atau dikelompokan pada kaum gay.

Alasan mengapa saya sepertinya tidak kembali mendapat mockery di kalangan pria ketika saya juga adalah seorang fans dari band rock Indonesia adalah, karena sesimpel karena saya menyukai apa yang mereka sukai, saya secara kebetulan menggemari apa yang kaum adam juga sukai, padahal berada di level fanatik yang sama atau lebih.

Kunci agar akhirnya tidak dicemooh adalah ternyata ketika saya menggemari apa yang kaum pria juga gemari, namun apakah semua orang harus melakukan itu? Tidak!

Dibanding melakukan itu para perempuan tetaplah harus menjadi dirinya sendiri dan tetap mencintai apa yang mereka cintai, entah itu serandom menyukai salah satu band dari Finlandia atau bahkan menyukai boyband yang menari dari negeri Ginseng, we girls will doing just fine! Karena pada akhirnya yang mencemooh terkadang memiliki sisi konyol mengapa mereka tersakiti dan ternyata penghentian cemoohan terjadi hanya karena seolah olah kita mendapatkan kesamaan atas apa yang mereka (para) kaum pencemooh lakukan, dan kita tidak harus melakukan itu, kita para perempuan tidak harus memberi makan ego suatu kaum atau hanya menyukai hal hal yang telah mereka validasi agar mendapatkan justifikasi.

Perempuan adalah tetap seorang perempuan, seorang manusia individu yang berhak untuk mendapat bentuk kebahagiaan versi mereka sendiri dan tidak perlu bahagia karena hal yang telah ditetapkan orang lain, perempuan tidak harus kembali pada hobi hobi yang hanya dilakukan dibawah tanah dan merepresi hobi hobi yang sebenarnya ingin kita lakukan. Pada akhirnya perempuan tetaplah seorang manusia yang ingin melakukan hobinya dengan leluasa, sama seperti manusia lainnya.

Tapi, bagaimana menurut kamu? Apa kamu masih mendapatkan diskrimanasi dari orang sekitar karena hobimu?