Mengukur Sustainabilitas Energi Nuklir Dengan Uranium dan Thorium Domestik

https://i1.wp.com/warstek.com/wp-content/uploads/2018/03/npp.jpg?w=729&ssl=1

Nuklir belum digunakan sebagai bahan bakar pembangkit listrik di Indonesia. Walau rencananya telah ada sejak puluhan tahun lalu, dinamika politik dalam negeri menghalangi pembangunan Pembangkit Listrik Tenaga Nuklir (PLTN) hingga sekarang. Namun sejak pertengahan 2010-an, rencana pembangunan PLTN mulai menggaung lagi.

Teknologi PLTN kontemporer merupakan teknologi yang paling matang. Namun, teknologi ini memiliki kendala pada waktu pembangunan yang relatif lama dan pemanfaatan bahan bakar yang relatif rendah. PLTN kontemporer baru mampu mengekstrak 0,5-0,7% potensi energi yang terkandung dalam uranium[1].

Padahal, untuk memenuhi kebutuhan energi bersih saat ini, perlu teknologi reaktor nuklir yang mampu dibangun dengan cepat dan mampu mengekstrak 100% potensi yang terkandung dalam bahan bakar nuklir. Kebutuhan itu bisa dipenuhi menggunakan teknologi reaktor nuklir Generasi IV atau reaktor maju.

Reaktor maju memiliki kemampuan pembiakan. Artinya, reaktor nuklir mampu menghasilkan bahan bakar fisil lebih banyak daripada yang dikonsumsinya. Konfigurasi reaktor didesain agar mampu menghasilkan nilai ekonomi netron tinggi, yang memungkinkan netron berlebih digunakan untuk mengonversi bahan bakar fertil menjadi fisil[2]. Hasilnya, nilai pemanfaatan bahan bakar naik berkali lipat.

Baca juga Perkembangan Teknologi Reaktor Maju

Indonesia memiliki cadangan uranium dan thorium, walau belum tereksplorasi. Karena belum dianggap krusial, cadangan bahan bakar nuklir yang sudah terdeteksi pun belum begitu banyak. Tercatat, berdasarkan estimasi BATAN, Indonesia memiliki cadangan uranium sebesar 79.830 ton dan thorium sebesar 136.966 ton[3].

Sebelumnya, perlu diukur dulu kebutuhan energi nuklir di Indonesia. Kebijakan Energi Nasional (KEN) memproyeksikan energi baru dan terbarukan memegang peran 31% dari bauran energi nasional pada tahun 2050[4]. Ini sudah termasuk nuklir, seandainya termasuk dalam kebijakan tersebut. Climate-wise, tentu kebijakan seperti ini tidak bijak. Pasalnya, walau bauran EBT naik menjadi 31%, tetapi pasokan energi juga naik dari 400 MTOE pada tahun 2025 menjadi 1000 MTOE pada tahun 2050[4]. Artinya, konsumsi energi fosil juga melonjak, yang mengakibatkan emisi gas rumah kaca juga naik.

Proyeksi kebutuhan energi final (bukan raw) berdasarkan KEN untuk listrik adalah sebesar 200 MTOE. Dari angka ini, 62,2% diantaranya masih menggunakan energi fosil[4]. Berdasarkan asumsi ini, pada artikel ini akan dihitung berapa besar sustainabilitas energi nuklir nasional jika dipakai menggantikan energi fosil untuk listrik ini.

Pertama, dikonversi dulu berapa kebutuhan listrik dalam satuan yang lebih ‘manusiawi’. Konversi nilai 1 MTOE setara dengan 42 gigajoule (GJ)[5]. Dari sana, dibuat kalkulasi sebagai berikut.

Jadi, sebesar 1451 TWh listrik harus dibangkitkan oleh energi nuklir untuk menggantikan energi fosil.

Berikutnya, seberapa besar laju konsumsi bahan bakar nuklir?

Diasumsikan bahwa reaktor nuklir yang digunakan adalah reaktor maju. Artinya, secara teoretis, potensi bahan bakar nuklir dapat dimanfaatkan 100%. Setiap nuklida fertil, baik thorium maupun uranium-238 dapat dikonversi menjadi nuklida fisil, uranium-233 dan plutonium-239. Secara praktis, hal itu tidak realistis di dunia nyata. Pasti selalu ada yang tidak terkonversi. Jadi, diasumsikan bahwa pemanfaatan bahan bakar nuklir hanya 90%.

Berdasarkan tabel yang dibuat oleh Nick Touran PhD[6], diketahui densitas energi dari bahan bakar nuklir adalah sebagai berikut.

image

Tidak seluruh potensi energi ini bisa diambil. Tiap nuklida fisil memiliki peluang berfisi kurang dari 100%. Untuk uranium-233, peluang berfisinya 91%[7]. Tidak ada keterangan berapa peluang berfisi plutonium-239 pada spektrum netron cepat, yang merupakan spektrum paling optimal untuk plutonium. Jadi, diasumsikan sama dengan uranium-233. Karena pada spektrum netron cepat, peluang berfisi plutonium jauh lebih tinggi daripada spektrum termal (73%). Uranium-235 diabaikan karena kelimpahannya di alam kecil, hanya 0,7%.

Densitas energi pada tabel adalah energi termal, bukan elektrik. Jadi harus dikonversi dulu menjadi energi listrik. Reaktor maju memiliki efisiensi termal sekitar 44%, lebih tinggi dari reaktor kontemporer yang hanya 33%[8]. Turbin gas Brayton dan turbin CO2 superkritis bisa mencapai efisiensi termal hingga lebih dari 50%[8], tapi saat ini digunakan nilai 44% sebagai benchmark.

Jika menggunakan uranium saja, berapa lama ketahanannya?

Kalkulasinya adalah sebagai berikut.

Bagaimana jika keduanya dikombinasikan? Diasumsikan bahwa uranium berkontribusi dalam 35% bauran nuklir dan sisanya thorium. Maka, ketahanan masing-masing bahan bakar nuklir adalah sebagai berikut.

Pemanfaatan kedua jenis bahan bakar nuklir ini secara simultan cukup untuk membangkitkan listrik selama lebih dari 1000 tahun!

Maka, tampak sekali bahwa energi nuklir memang sangat sustainabel. Besarnya energi yang dilepaskan dari pembelahan inti atom nuklida berat menyebabkan konsumsi bahan bakar yang sangat sedikit. Sehingga, walaupun cadangan bahan bakar nuklir tidak bisa dikatakan benar-benar melimpah, tapi cukup untuk menjaga ketahanan energi nasional dengan sangat baik.

Syarat teknis dari sustainabilitas energi nuklir seperti di atas adalah penggunaan teknologi reaktor maju dan sistem reprosesing bahan bakar. Sehingga, nilai pemanfaatan bahan bakar nuklir dapat seoptimal mungkin. Yang tersisa tinggallah syarat politis, yakni kemauan politik untuk go nuclear, dengan langsung lompat pada teknologi reaktor maju alih-alih menggunakan reaktor kontemporer dan mengaplikasikan sistem reprosesing bahan bakar nuklir alih-alih sistem sekali pakai buang.

Aspek politis adalah aspek yang paling sulit untuk dipenuhi, bukan dari sisi teknologinya. Kalau negeri ini ingin memiliki ketahanan energi yang baik tanpa harus mencederai iklim, maka nuklir adalah solusi terbaik. Keputusan politik yang pro nuklir akan menjamin negeri ini memiliki ketahanan dan sustainabilitas energi pada level yang baik.

Referensi

  1. Max Carbon. 2006. Nuclear Power, Villain or Victim? Our Most Misunderstood Source of Electricity 2nd Edition. Madison: Pebble Beach Publisher.
  2. Bahman Zohuri, Patrick McDaniel. 2015. Thermodynamics In Nuclear Power Plant Systems. Swiss: Springer International Publisher.
  3. Potensi Uranium dan Torium di Indonesia. https://twitter.com/humasbatan/status/925209630514413568. Diakses pada 9 Maret 2018.
  4. Perpres No. 22 Tahun 2017 Tentang Rencana Umum Energi Nasional.
  5. British Petroleum. 2017. BP Statistical Review of World Energy June 2017. London: BP.
  6. Nick Touran. Energy density calculations of nuclear fuel. Computing the energy density of nuclear fuel. Diakses pada 9 Maret 2018.
  7. Uranium-233. https://www.nuclear-power.net/nuclear-power-plant/nuclear-fuel/uranium/uranium-233/. Diakses pada 9 Maret 2018.
  8. Robert Hargraves. 2012. Thorium Energy Cheaper Than Coal. Hanover: CreateSpace Independent Publishing Platform.