Berikut adalah karya tulisan dari Kyai Husein Muhammad
Ada adagium yang selalu dipegang begitu erat oleh lembaga-lembaga pendidikan Islam konvensional. Yaitu :
الحافظ حجة على من لم يحفظ
al-hâfizh hujjah alâ man lam yahfazh, (orang yang hapal menjadi argumen terhadap orang yang tidak hapal).
Dengan kata lain orang yang hapal teks-teks akan selalu dapat memenangkan perdebatan atau diskusi ketika berhadapan dengan orang-orang yang hanya mengandalkan logika, nalar atau akal semata. Ini karena tekstualisme dalam tradisi itu menjadi ukuran otoritatif atas suatu masalah. Maka pendidikan kemudian diarahkan agar anak-anak didik mampu menghapal sebanyak-banyaknya teks.
Dalam sistem pendidikan Islam di banyak pesantren, untuk tidak mengatakan semua pesantren, metode hapalan sangatlah ditekankan. Pada umumnya para santri diwajibkan menghapal ilmu-ilmu agama yang sudah diringkas dalam bentuk syair-syair yang mudah dinyanyikan dengan lagu-lagu yang beraneka ragam. Ilmu-ilmu yang sudah disyairkan tersebut, misalnya “Matn Zubad” untuk fiqh mazhab Syâfiî, “Tuhfah al-Athfal” (ilmu Tajwid), “Al-Kharidah ak-Bahiyyah”(ilmu Tauhid), “Nazham Amrithî”, dan “Alfiyah Ibnu Mâlik” (nahwu, gramatika bahasa Arab), “Al-Sullam al-Munawaraq” (mantiq, logika), “Al-Jauhar al-Maknûn” (sastra Arab), “Nazham al-Baiquniyah” (ilmu hadits), “Nazham Waraqat” (ushûl fiqh), “Al-Faraid al-Bahiyyah” (kaedah-kaedah fiqh) dan lain-lain.
Di Mesir dan negara-negara Timur Tengah sebagian besar mahasiswa dan pelajar, bahkan menghapal kitab atau diktat/muqarrar yang masih dalam bentuk prosa atau narasi yang berpuluh halaman itu.
Tradisi menghapal tersebut terus berlangsung sampai saat ini, di banyak pusat-pusat pendidikan Islam, entah sampai kapan. Tradisi ini dipraktikkan mulai dari tingkat ibtidaiyah (dasar) sampai perguruan tinggi. Saat saya belajar di pesantren Lirboyo, Kediri, beberapa puluh tahun lalu, saya dan para santri kelas Tsanawiyah, tiap malam jumat “lalaran”(mengulang hapalan secara bersama-sama) nazham Alfiyah ibnu Malik.
Saya pernah hapal 1000 bait ilmu nahwu itu dalam tempo 45-60 menit. Saya juga pernah menghapal “Jauhar al-Maknun” (ilmu sastra Arab) dan “Al-Sullam al-Munawraq” ( ilmu mantiq/logika Aristotelian). Sekarang saya sudah lupa semua hapalan itu.
Pada momentum khataman atau ujian akhir yang diselenggarakan pada akhir tahun ajaran, (haflah akhir al-sanah atau imtihânah), kemampuan menghafal syair-syair ilmu tersebut di atas biasanya ditampilkan oleh para santri di hadapan para guru, orang tua-wali dan khalayak/masyarakat. Para orang tua tersebut merasa sangat gembira dan bangga melihat anaknya hafal nazham Amrithi atau Alfiyah dan seterusnya itu. Mereka tidak terlalu menganggap penting apakah anak-anaknya memahami apa yang dihapalnya atau tidak. Atau mereka justeru menganggap bahwa hapal itu mengindikasikan paham dan mengerti.
Metode menghapal untuk masyarakat tertentu mungkin saja baik, tetapi akan lebih baik jika ilmu-ilmu tersebut juga dipahami. Penggabungan dua sistem ini; memahami dan menghapal dalam diri seseorang tentu saja ideal.
Mengenai ini ada sebuah syair yang menyatakan: wa jami al-fahma maa al-hifzhi yafi "Gabungkan pemahaman dan hapalan, niscaya akan memadai/sempurna).
Pertanyaannya adalah apakah dengan menjalani keduanya (hapal dan nalar) akan menghasilkan keunggulan dan kemampuan yang sama?. Ini pertanyaan yang konon pernah dibahas para ulama zaman klasik. Mungkin menarik pandangan Al-Jahiz, Abu Utsman Amr, (w. 868 M), sastrawan dan teolog Mutazilah terkemuka. Dia menulis dalam bukunya yang terkenal : “Rasail Jahizh” :
متى ادام الحفظ اضر ذلك بالاستنباط ومتى ادام الاستنباط اضر ذلك بالحفظ
“menekankan kebiasaan menghapal bisa mengurangi kemampuan menganalisis, dan kebiasaan menganalisis bisa mengurangi kemampuan menghapal”. (Rasail al-Jahizh).
Pernyataan al-Jahizh di atas mungkin dapat berarti bahwa orang yang banyak menghapal atau kuat hapalannya, pada umumnya kurang cerdas atau tidak cukup mampu berpikir rasional. Dan orang yang banyak berpikir atau seorang rasionalis pada umumnya tidak banyak hapalan atau hapalannya lemah.
Tetapi boleh jadi ada orang yang dianugerahi keduanya dalam porsi yang sama: kuat dalam hapalan sekaligus cerdas. Sejumlah ulama dahulu ada yang memiliki kemampuan dua-duanya, seperti Imam Abu Hanifah, Imam al-Syafi’i, Imam al-Ghazali dan lain-lain.
Lalu mana yang lebih baik dilakukan atau diutamakan jika kedua keinginan tersebut berhadapan? Lebih baik memilih yang hapalan atau yang berpikir rasional?.
Pandangan Ibnu Rusyd al-Hafid
Pertanyaan penting lain yang sering di ajukan orang ialah siapakah yang disebut Ulama?
Pada masa klasik Islam kecenderungan umum berpendapat bahwa orang âlim atau ulama adalah orang yang hapal pendapat-pendapat para ulama sebelumnya, dalam arti hapal redaksi pendapat mereka. Pandangan ini mendapat kritik tajam dari Ibnu Rusyd al-Hâfid (w. 1198 M), seorang sarjana muslim terkemuka dari Spanyol dengan keahlian ganda; filsuf, dokter dan ahli hukum (fâqih).
Ia pernah melontarkan kritik terhadap para ulama pada masanya yang lebih rajin menghapal teks-teks keilmuan dan mengikuti pandangan-pandangan tekstual para ulama daripada melakukan penelitian dan kajian-kajian rasional dan filosofis.
Menurutnya, para ahli fiqh seyogyanya tidak selalu bertaklid kepada orang lain dan tidak hanya sibuk menghafal produk-produk fiqh mereka. Orang yang hapal produk-produk hukum para mujtahid, betapapun banyaknya, tidak bisa disebut faqîh. Seseorang baru bisa disebut faqîh (ahli fiqh), jika dia mampu menganalisis dan menggali/mengeksplorasi makna dari teks-teks hukum secara mendalam, melalui argumen-argumen yang dapat diterima akal pikiran dan mengembangkan dasar-dasarnya.
Untuk menjelaskan pikiran itu, Ibnu Rusyd al-Hafid, membuat analogi seorang ahli/tukang bikin sepatu dan penjual sepatu. Ahli sepatu, menurutnya bukanlah orang yang di rumah atau di tokonya tersedia banyak sepatu, atau sebutlah pemilik banyak sekali sepatu yang dengan itu orang yang datang memerlukannya akan bisa langsung memilih dan memakainya. Akan tetapi repotnya adalah jika pada suatu saat ada seorang pembeli atau pencari sepatu tetapi dia di situ tidak mendapatkan ukuran sepatu yang pas dengan kakinya atau dia menginginkan model sepatu yang terbaru.
Si penjual sepatu tersebut tentu saja tidak bisa melayani kebutuhan orang tersebut. Apalagi dapat dipastikan bahwa masyarakat terus berkembang dari waktu ke waktu dengan membawa kecenderungan (trend) yang semakin berubah-ubah dan inovatif. Maka, menurutnya, ahli sepatu adalah orang yang bisa membuat sepatu dan menciptakan model-model yang sesuai dengan trend zamannya. Jadi bukan pemilik toko sepatu.
Jika dihubungkan dengan kasus “al-Hafizh” (orang yang hapal/penghapal) dan “al-Mufakkir” (pemikir/penalar), maka al-hafizh sama dengan pemilik/penjual sepatu, dan “al-Mufakkir” sama dengan pembuat sepatu. Begitulah kira-kira analogi sang filsuf yang faqih: Ibnu Rusyd tersebut.