Mengenal Tuhan dan Kebahagiaan Sejati

Mengenal Allah

Orang yang tak menginginkan pengetahuan ini tak beda dengan orang yang tak menyukai makanan sehat; atau layaknya orang yang lebih suka lempung ketimbang roti. Ketika kematian datang dan membunuh semua organ tubuh yang biasa diperalat nafsu, semua dorongan dan hasrat badani musnah, tetapi jiwa manusia tidak. Ia akan tetap hidup dan menyimpan segala pengetahuannya tentang Tuhan, malah pengetahuannya semakin bertambah.


Sebuah hadis Nabi saw. yang terkenal berbunyi “Barang siapa mengenal dirinya, ia mengenal Allah.” Artinya, dengan merenungi kan wujud dan sifat-sifatnya, manusia sampai pada sebagian pengetahuan tentang Allah. Mengingat banyak orang yang merenungkan dirinya tetapi tak juga menemukan Tuhannya, berarti ada cara-cara tersendiri untuk menjalani perenungan itu. Kenyataannya, ada dua metode untuk bisa sampai pada pengetahuan ini. Salah satunya terlalu musykil sehingga tak bisa dicerna kecerdasan biasa dan, karenanya, lebih baik tidak kita bahas di sini.
Metode lain adalah sebagai berikut. Jika seseorang merenungkan dirinya, ia akan mengetahui bahwa sebelumnya ia tidak ada, sebagaimana tertulis dalam Alquran:

Tidakkah manusia tahu bahwa sebelumnya ia bukan apa-apa?(Q. 76: 1)

Lalu ia akan mengetahui bahwa ia terbuat dari setetes air yang tak mengandung intelek, pendengaran, kepala, tangan, kaki, dan seterusnya. Jadi jelaslah, setinggi apa pun tingkat kesempurnaannya, ia tidak menciptakan dirinya, bahkan tak kuasa untuk menciptakan meski hanya sehelai rambut.
Betapa sangat tak berdayanya manusia ketika ia hanya berupa setetes mani! Jadi, sebagaimana telah dijelaskan, ia mendapati wujudnya sebagai miniatur atau pantulan dari kekuasaan, kebijakan, dan cinta Sang Pencipta. Jika semua orang pintar dari seluruh dunia dikumpulkan dan hidup mereka diperpanjang sampai waktu yang tak terbatas, mereka tak akan bisa memperbaiki sedikit saja dari struktur jasad manusia, yang paling kecil sekalipun. Keajaiban penciptaan manusia tampak dalam berbagai sisi, seperti kesesuaian antara geligi depan dan samping ketika mengunyah makanan, proporsi lidah di mulut, kelenjar air liur dan kerongkongan untuk menelan, dan berbagai organ lainnya yang begitu menakjubkan. Lihatlah pula struktur tangan dengan lima jarinya yang tak sama panjang—empat di antaranya punya tiga persendian dan jempol hanya punya dua—sehingga ia bisa dipergunakan untuk mencekal, menjinjing, atau memukul. Tidak mungkin manusia, secerdas apa pun ia, mampu membuatnya lebih baik lagi, misalnya dengan mengubah jumlah dan struktur jari-jari itu, atau dengan cara lainnya.
Lalu, jika ia memikirkan lebih lanjut mengenai hasratnya terhadap beragam makanan, penginapan, dan sebagainya, yang semuanya bisa didapatkan dari gudang penciptaan, ia akan menyadari bahwa kasih sayang Allah sama besarnya dengan kekuasaan dan kebijakan-Nya. Allah berfirman,

“Rahmat-Ku lebih luas dari kutukan-Ku.”

Dan sebuah hadis Nabi saw. menyebutkan bahwa kasih Allah lebih lembut daripada kasih seorang ibu pada bayinya yang sedang menyusu. Jadi, dengan mengenali penciptaan dirinya, manusia akan mengetahui keberadaan Tuhan. Dengan merenungi struktur tubuhnya yang menakjubkan ia menyadari kekuasaan dan kebijaksanaan Allah. Dan dengan merenungkan karunia yang berlimpah untuk memenuhi berbagai kebutuhannya, ia akan menyadari cinta Allah kepadanya. Begitulah, mengenal diri menjadi kunci untuk mengenal Allah.

Bukan saja sifat-sifat manusia merupakan pantulan sifat-sifat Tuhan, melainkan keberadaan ruhnya pun dapat mengantarkan manusia pada pemahaman tentang keberadaan Allah. Dengan demikian, bisa dikatakan bahwa Allah dan ruh manusia tidak terbatasi ruang dan waktu, gaib, tak terbagi, di luar definisi kualitas dan kuantitas, serta tak dapat dilekati oleh gagasan tentang bentuk, warna, atau ukuran. Manusia kesulitan untuk memersepsi bentuk hakikat-hakikat semacam itu yang berada di luar batasan kualitas, kuantitas, dan sebagainya, sebagaii mana ia tak bisa memersepsi bentuk perasaannya sendiri, seperti marah, sakit, senang, atau cinta. Semuanya itu merupakan konsep pikiran yang tak dapat dimengerti oleh indra, sementara kualitas, kuantitas, dan batasan-batasan lainnya merupakan konsep indriawi. Sebagaimana telinga tak bisa mengenali warna atau mata mengenali suara, kita berada di sebuah ruang, tempat persepsi indriawi tak bisa dipergunakan untuk membayangkan kedua hakikat puncak itu, Allah dan ruh.

Meski demikian, sebagaimana bisa kita lihat, Allah adalah pengatur jagat dan Dia—yang berada di luar batasan ruang dan waktu, kuantitas dan kualitas—mengatur segala sesuatu di alam semesta ini begitu sempurna. Seperti itu pulalah ruh mengatur jasad dan seluruh anggotanya sementara ia sendiri tak kasatmata, tak terbagi, dan tak beruang. Bagaimana mungkin sesuatu yang tak terbagi ditempatkan di suatu ruang yang terbagi. Dari sinilah kita bisa melihat kebenaran hadis Nabi saw.:

“Allah menciptakan manusia dalam kemiripan dengan diri-Nya.”

Setelah kita mengetahui sebagian esensi dan sifat-sifat Allah melalui perenungan terhadap esensi dan sifat-sifat ruh, kita akan memahami metode kerja, pengaturan, dan pendelegasian kekuasaan Allah kepada kekuatan-kekuatan malakut dan sebagainya dengan mengamati bagaimana kita mengatur kerajaan kecil dalam diri kita.

Contoh sederhananya, seseorang ingin menulis nama Allah. Mula-mula keinginan itu terbetik dalam hati, kemudian dibawa ke otak oleh ruh-ruh vital. Bentuk kata “Allah” tergambar dalam relung otak, kemudian berjalan mengikuti jalur saraf dan menggerakkan jari-jari, yang kemudian menggerakkan pena. Begitulah, nama “Allah” tergurat di atas kertas tepat seperti yang tergambar dalam otak penulisnya.

Demikian pula, jika Allah menghendaki sesuatu, ia tampil di alam ruhaniah yang dalam Alquran disebut “Singgasana” (Arasy). Dari sana ia mengikuti arus spiritual ke suatu alam yang lebih rendah yang disebut Kursi (al kursiy), kemudian bentuknya tampil di Lauh Mahfuzh; lalu, melalui perantaraan kekuatan-kekuatan yang disebut “malaikat”, bentuk itu mewujud dan tampil di atas bumi dalam bentuk tanaman, pohon, hewan, dan lain-lain sebagai cerminan keinginan dan pikiran Allah, sebagaimana huruf-huruf yang tertulis mencerminkan keinginan yang terbetik dalam hati dan bentuk yang hadir di otak sang penulis.

Tidak seorang pun bisa memahami seorang raja kecuali seorang raja. Karena itu, Allah telah menjadikan tiap-tiap kita sebagai, katakanlah, seorang raja kecil, penguasa atas sebuah kerajaan yang merupakan tiruan dari kerajaan-Nya. Di dalam kerajaan manusia, singgasana Allah dicerminkan oleh ruh, malaikat oleh hati, Kursi oleh otak, dan Lauh Mahfuzh oleh perbendaharaan pikiran. Ruh—yang tak tertempatkan dan tak terbagi—mengatur jasad sebagaimana Allah mengatur jagat. Pendeknya, kepada kita diamanatkan sebuah kerajaan kecil, dan kita diwajibkan untuk mengaturnya secara saksama, tidak ceroboh apalagi semena-mena.

Sementara berkenaan dengan pengaturan Allah terhadap alam semesta, pengetahuan manusia terbagi ke dalam beberapa tingkatan. Ada tingkatan fisikawan yang, seperti seekor semut yang merangkak di atas selembar kertas dan mengamati huruf-huruf hitam yang tersebar di atasnya, hanya mengetahui bahwa penyebabnya adalah pena. Ada tingkatan astronom yang, seperti seekor semut dengan pandangan yang lebih luas, bisa melihat jari-jari yang menggerakkan pena. Maksudnya, ia tahu bahwa berbagai elemen semesta dipengaruhi oleh kekuatan bintang-bintang, tetapi ia tidak tahu bahwa bintang-bintang itu berada di bawah kekuasaan malaikat-malaikat. Jadi, karena perbedaan tingkat persepsi setiap orang, tak heran jika muncul perbedaan paham mengenai Sebab Pertama dari segala akibat. Orang yang tak pernah melihat ke balik dunia gejala adalah seperti orang yang menganggap budak sebagai raja. Memang hukum alam harus bersifat tetap, karena jika tidak, tak akan ada sains dan sebagainya; tetapi, menganggap budak sebagai majikan adalah kesalahan besar.

Selama kapasitas persepsi manusia berbeda-beda, perdebatan akan terus berlanjut. Keadaan itu bagaikan beberapa orang buta yang mendengar kedatangan seekor gajah di kota mereka dan kemudian pergi menyelidikinya. Pengetahuan hanya mereka dapatkan lewat indra peraba sehingga ketika seorang memegang kaki gajah, orang kedua memegang gadingnya, dan yang lain telinganya, tentu persepsi mereka tentang gajah akan berbeda. Orang pertama menyebut gajah sebagai sebuah tiang, orang kedua menyebutnya tabung yang tebal, dan yang lainnya menganggap gajah sebagai sesuatu yang lembut bak kapas. Setiap orang menjadikan bagian kecil yang dipersepsinya sebagai keseluruhan.

Begitulah, fisikawan dan astronom menyamakan hukum-hukum yang mereka tangkap dengan Tuhan Sang Pembuat berbagai hukum. Kesalahan itu pulalah yang disimpulkan Ibrahim ketika ia berturut-turut berpaling kepada bintang, bulan, dan matahari sebagai objek sembahannya. Ketika menyadari kesalahannya dan mengetahui Dia yang menciptakan segala sesuatu, ia berseru:

“Aku tidak menyukai segala sesuatu yang terbenam.” (Q. 6:76).

Ada sebuah contoh umum tentang betapa sering manusia salah menyimpulkan sebab kedua sebagai Sebab Pertama, yakni rasa sakit yang diderita manusia. Misalnya jika ada orang yang tak lagi tertarik pada urusan dunia, menjauhi pelbagai bentuk kesenangan, dan tampak tenggelam dalam depresi, dokter akan menyimpulkan: “Ia menderita melankoli dan harus diobati dengan anu dan anu.” Fisikawan akan berkata, “Ia menderita kekeringan otak yang disebabkan oleh cuaca panas dan tidak akan sembuh hingga udara menjadi lembab kembali.” Dan berbeda lagi pendapat astrolog yang mengaitkan fenomena itu dengan konjungsi planet dan bintang-bintang. “Sejauh jangkauan kebijakm an mereka,” kata Alquran. Sama sekali tak terlintas dalam pikiran mereka bahwa yang sesungguhnya terjadi adalah sebagai berikut:

Yang Mahakuasa berkehendak mengurusi kesejahteraan orang itu, dan kemudian memerintah hamba-hamba-Nya, yakni planet dan elemen-elemen semesta lain, agar menciptakan situasi tertentu dalam diri orang itu sehingga ia berpaling dari dunia ke Penciptanya.

Pengetahuan tentang kenyataan ini merupakan mutiara paling berharga dari samudera pengetahuan yang diilhamkan. Dibanding mutiara itu, semua bentuk pengetahuan lain hanya seperti pulau-pulau di tengah lautan.

Memang pendapat ketiganya, yakni dokter, fisikawan, dan astrolog benar dari sisi cabang pengetahuannya masing-masing, tetapi mereka tak bisa melihat bahwa penyakit itu adalah, katakanlah, tali cinta yang digunakan oleh Allah untuk menarik para wali mendekat kepada-Nya. Tentang para wali ini Allah berfirman dalam sebuah hadis qudsi,

“Aku sakit dan kamu tidak menjenguk-Ku.”

Penyakit itu sendiri adalah salah satu di antara bentuk-bentuk pengalaman yang menjadi sarana bagi manusia untuk sampai pada pengetahuan tentang Allah, sebagaimana Dia berfirman melalui lisan Nabi saw.:

“Penyakit-penyakit itu sendiri adalah hamba-hamba-Ku, dan semuanya bergantung pada keputusan-Ku.”

Penjelasan di atas memungkinkan kita memahami lebih dalam makna seruan yang sering diucapkan orang beriman, seperti “subhânallâh”, “alhamdulillâh”, “lâ ilâha illâ ali lâh”, dan “Allâhu akbar.” Seruan terakhir, yang berarti Allah Mahabesar tidak berarti bahwa Allah lebih besar dari ciptaan, karena ciptaan adalah pengejawantahan-Nya, sebagaimana cahaya adalah pengejawantahan matahari. Tidak benar jika dikatakan bahwa matahari lebih besar dari cahayanya. Seruan itu berarti bahwa kebesaran Allah tak dapat diukur dan berada di luar kemampuan kognisi manusia dan bahwa kita hanya bisa membentuk suatu gagasan yang amat kabur dan tidak sempurna tentang kebesaran-Nya. Jika seorang anak meminta kita menjelaskan nikmatnya kekuasaan dan memerintah, kita bisa katakan bahwa hal itu tidak berbeda dengan kesenangannya bermain bola dengan pemukulnya meski pada hakikatnya keduanya tidak sama kecuali bahwa keduanya termasuk dalam kategori “senang”.

Jadi, seruan “Allâhu akbar” berarti bahwa kebesaran-Nya jauh di luar batas kemampuan pemahaman kita. Lagi pula, pengetahuan tentang Allah yang tak sempurna seperti itu— sebagaimana yang bisa kita peroleh—bukan sekadar pengetahuan spekulatif, tetapi mesti disertai dengan penyerahan diri dan ibadah. Jika seseorang mati, ia hanya akan berurusan dengan Allah. Dan jika kita harus hidup bersama seseorang, kebahagiaan kita bergantung sepenuhnya pada seberapa besar kita mencintainya.

Cinta adalah benih kebahagiaan, dan cinta kepada Allah dapat ditumbuhkan dan dikembangkan oleh ibadah. Ibadah dan zikir tak berkesudahan mencerminkan suatu tingkat keprihatinan dan pengekangan nafsu badani. Ini tidak berarti ia harus memusnahkan nafsu badani sepenuhnya, karena jika begitu, ras manusia akan musnah. Namun, pemuasan hasrat tubuh itu harus dibatasi dengan ketat. Dan, karena manusia bukan hakim yang terbaik untuk menghukum dirinya sendiri, ia harus mengonsultasikan penetapan batasan-batasan itu kepada pembimbing ruhani, yakni para nabi.

Hukum yang mereka tetapkan berdasarkan wahyu Tuhan menetapkan batasan-batasan yang mesti ditaati manusia. Orang yang melanggarnya berarti “telah menganiaya dirinya sendiri”, sebagaimana dikatakan dalam Alquran. Meski pernyataan Alquran ini teramat jelas, masih banyak orang yang, karena kebodohannya akan Allah, melanggar batas-batas tersebut. Ada beberapa penyebab kebodohan ini:

  • Pertama, ada orang yang gagal menemukan Allah lewat pengamatan, lantas menyimpulkan bahwa Allah tidak ada dan bahwa dunia yang penuh keajaiban ini menciptakan dirinya sendiri atau ada dari keabadian. Mereka bagaikan orang yang melihat tulisan indah kemudian menyatakan bahwa tulisan itu ada dengan sendirinya tanpa ditulis siapa pun, atau memang sudah ada begitu saja. Mereka yang berpola pikir seperti ini telah jauh tersesat sehingga penjelasan dan perdebatan dengan mereka takkan beri manfaat sedikit pun. Mereka mirip dengan fisikawan dan astronom yang kita sebut di atas.

  • Kedua, sejumlah orang yang, karena tidak mengetahui sifat jiwa yang sebenarnya, menolak adanya akhirat, tempat manusia akan dimintai pertanggungjawabannya dan diberi balasan baik atau disiksa. Mereka anggap diri mereka sendiri tak lebih baik dari hewan atau sayuran, yang akan musnah begitu saja dan tidak akan dibangkitkan lagi.

  • Ketiga, ada orang yang percaya kepada Allah dan kehidupan akhirat, tetapi kepercayaannya itu lemah. Mereka berkata, “Allah itu Mahabesar dan tidak bergantung kepada kita; tak penting bagi-Nya apakah kita beri ibadah atau tidak.” Pikiran mereka itu seperti orang sakit yang, saat dokter memberinya nasihat penyembuhan, berkata, “Yah, kuikuti atau tidak, apa urusannya dengan dokter itu.” Memang tindakannya itu tidak berdampak apa-apa pada diri si dokter, tetapi pasti akan merusak dirinya sendiri. Sebagaimana penyakit jasad yang tak terobati akan membunuh jasad, penyakit jiwa yang tak tersembuhkan pun akan menyebabkan penderitaan di masa mendatang. Allah beri firman,

    “Orang yang akan diselamatkan hanyalah yang datang kepada Allah dengan hati yang bersih.”

  • Keempat, kelompok orang kafir yang berkata, “Syariat mengajari kita untuk menahan amarah, syahwat, dan kemunafikan. Ini perintah yang musykil dilaksanakan, karena manusia diciptakan dengan sifat-sifat seperti itu. Itu sama saja dengan menuntut yang hitam agar menjadi putih.” Orang bodoh seperti mereka sepenuhnya tidak melihat kenyataan bahwa syariat tidak mengajari kita untuk memusnahkan nafsu-nafsu ini, tetapi untuk meletakkan mereka dalam batas-batasnya. Sehingga, dengan menghindari dosa-dosa besar, kita bisa mendapatkan ampunan atas dosa-dosa kita yang lebih kecil. Bahkan, Nabi saw. bersabda,

    “Aku manusia sepertimu juga, dan aku marah seperti yang lain.”

    Dan dalam Alquran tertulis:

    “Allah mencintai orang yang menahan amarahnya” (Q. 3: 134),

    bukan orang yang tidak punya amarah sama sekali.

  • Kelima, kelompok orang yang menonjol- nonjolkan kemurahan Allah seraya mengabaikan keadilan-Nya, kemudian berkata, “Ya, apa pun yang kita kerjakan, Allah Maha Pemaaf.” Mereka tidak berpikir bahwa meskipun Allah maha mengampuni, jutaan manusia hancur secara menyedihkan karena kelaparan dan penyakit. Sebenarnya mereka tahu bahwa siapa saja yang ingin umur panjang, kemakmuran, atau kepintaran tak boleh sekadar berkata, “Tuhan Maha Pemaaf,” tetapi mesti berusaha dengan keras. Meski Alquran mengatakan:

    “Rezeki semua makhluk hidup datang dari Allah,”

    di sana tertulis pula:

    “Manusia tidak mendapatkan sesuatu kecuali dengan berusaha” (Q. 53: 39).

    Kenyataannya, ajaran semacam itu berasal dari setan, dan orang seperti itu hanya berbicara dengan bibirnya, tidak dengan hatinya.

  • Keenam, kelompok orang yang mengaku telah mencapai suatu tingkat kesucian tertentu sehingga mereka tak lagi dipengaruhi dosa. Namun kenyataannya, saat orang lain memperlakukan salah seorang di antara mereka secara tidak hormat, ia akan mendendam selama bertahun-tahun. Dan jika salah seorang di antara mereka tidak mendapat sebutir makanan yang menurutnya telah menjadi haknya, seluruh dunia akan tampak gelap dan sempit baginya. Bahkan, jika ada di antara mereka benar-benar bisa menaklukkan nafsunya, mereka tak punya hak untuk membuat pengakuan semacam itu, mengingat para nabi—manusia paling mulia—pun selalu meratap mengakui dosa-dosa mereka. Sebagian kelompok ini bahkan begitu sombong sehingga mereka bahkan menjauhkan diri dari hal-hal yang halal.

    Diriwayatkan dari Nabi saw. bahwa suatu hari seseorang menyodorkan sebutir kurma kepadanya, tetapi beliau enggan memakannya lantaran tidak yakin kurma itu diperoleh secara halal. Sementara orang-orang yang berkehidupan bebas ini mau meneguk berliter-liter arak lalu mengaku (aku bergidik saat menulis ini) lebih unggul dari Nabi yang selalu menjaga kesuciannya bahkan dari sebutir kurma, sementara mereka merasa tak terpengaruh oleh arak sebanyak itu. Patutlah jika setan membenamkan mereka ke dalam kehancuran.

    Orang suci sejati mengetahui bahwa orang yang tidak bisa menguasai nafsunya tidak pantas disebut manusia. Dan bahwa seorang muslim sejati pastilah dengan senang hati mengakui batas-batas yang ditetapkan syariat. Orang yang berupaya dengan dalih apa pun untuk mengi abaikan kewajibannya berarti bisa dipastii kan berada dalam pengaruh setan. Bagi mereka, nasihat lisan maupun tulisan takkan lagi mempan; mereka harus diancam dengan pedang. Para mistikus palsu seperti mereka kadang-kadang berpura-pura tenggelam dalam samudra ketakjuban. Tetapi, jika kautanyakan kepada mereka apa yang mereka takjubkan, mereka tidak mengetahuinya. Biarkanlah mereka takjub sekehendak hati mereka, namun pada saat yang sama ingatkanlah bahwa Yang Mahakuasa adalah pencipta mereka, dan bahwa mereka adalah hamba-Nya.

Sumber : Imam al-Ghazali, Kimiya’ al-Sa‘adah : Kimia Ruhani untuk Kebahagiaan Abadi terj Dedi Slamet Riyadi & Fauzi Bahreisy, Penerbit Zaman.

Koreksi. Barangsiapa yg mengenal dirinya dia mengenal tuhan itu bukan hadits tp perkataan firqoh sufisme

Terimakasih banyak atas koreksinya. Tulisan diatas adalah tulisan Al Ghazali.

Memang sebaiknya kita tidak beranggapan bahwa pernyataan “Siapa yang mengenal dirinya, ia mengenal Tuhannya” adalah sebuah hadis, karena banyak ulama besar yang menganggap bahwa pernyataan tersebut bukanlah hadis. Lebih baik mengedepankan asas kehati-hatian.

Yang jarang menjadi perselisihan adalah bahwa pernyataan tersebut dipopulerkan oleh seorang ulama, bernama Yahya bin Muadz Ar-Razi. Begitu juga dengan makna dari pernyataan tersebut, banyak ulama yang mengakui bahwa pernyataan tersebut mengandung kebenaran.

Terkait dengan kandungan makna Imam As-Suyuthi menjelaskan bahwa ketika seseorang mengetahui bahwa sifat-sifat yang melekat di dalam dirinya merupakan kebalikan dari sifat-sifat Allah SWT. Ketika ia mengetahui bahwa dirinya akan hancur, niscaya ia akan sadar bahwa Allah mempunyai sifat baqa’ (abadi). Begitu juga ketika ia mengetahui dirinya diliputi oleh dosa dan kesalahan, maka ia akan menyadari bahwa Allah bersifat Maha Sempurna dan Maha Benar. Selanjutnya orang yang mengetahui kondisi dirinya sebagaimana adanya, maka ia akan mengenal Tuhannya sebagaimana ada-Nya.

Wallahu a’lam.

Referensi : https://islam.nu.or.id/post/read/85306/tinjauan-status-hadits-man-arafa-nafsahu-arafa-rabbahu