Mengenal Budaya Berkearifan Lokal

Bangsa Indonesia adalah bangsa yang memiliki beragam budaya, budaya yang dimiliki oleh Bangsa Indonesia merupakan kekayaan bagi Bangsa Indonesia yang harus dilestarikan karena dikhawatirkan generasi muda tidak mengenalinya dan mereka dapat tercerabut dari akar budaya sendiri, karena Bangsa Indonesia terdiridari beragam suku bangsa yang sangat banyak maka norma budaya di setiap daerah memiliki kekhasan yang berbeda antara satu daerah dengan daerah yang lainnya, sehingga dibutuhkan pemetaan budaya di Indonesia untuk menggambarkan keberagaman budaya itu sendiri. Dengan mengenali budaya Bangsa yang berkerifan lokal maka akan meningkatkan rasa cinta generasi muda terhadap tanah airnya. Inilah yang mendasari mengapa pentingnya kita mengenal dan mengajarkan budaya berkearifan lokal kepada generasi muda.

Mengenal budaya berkearifan lokal tidak terlepas dari pola pendidikan dasar menengah dan atas di lingkungan sekolah. Proses pendidikan sangat berperan dalam membendung gempuran budaya-budaya yang bersifat global.

Pertanyaannya adalah bagaimana pendidikan dapat membuat masyarakatnya mengenal budaya berkearifan lokal ?

Berikut artikel dari Dr. Putu Sudira, MP, dengan judul Pendidikan Mengharmoni Berkearifan Lokal yang mengupas terkait pendidikan berkearifan lokal.

Pendidikan seharusnya dapat mengharmoniskan hidup manusia pada setiap zamannya dan berkelanjutan tanpa batas dan keterbatasan. Dalam ajaran Tri Hita Karana digariskan keharmonisan hidup manusia ditentukan oleh tiga domain yaitu:

  1. Keharmonisan antara manusia dengan Tuhan;
  2. Keharmonisan antar sesama manusia;
  3. Keharmonisan antara manusia dengan lingkungan hidupnya.

Ketiga dimensi ini merupakan hukum yang semestinya harus dipatuhi. Ketiga dimensi ini mengimplikasikan bahwa pendidikan harus berkembang sejalan dengan konteks perkembangan jaman tetapi tetap kuat tidak tercerabut oleh budaya global tanpa bentuk. Kerusakan dari ketiga dimensi ini sama dengan rusaknya lingkungan dan atmosfir pendidikan.

Pada saat manusia lupa akan Tuhan, lupa sesama, dan lupa lingkungan hidupnya maka kesombongan adalah tamu utama yang akan berkunjung, bertamu, bahkan indekos dalam hatinya. Perkembangan lingkungan yang telah terintrusi oleh teknologi informasi, komunikasi, dan transportasi semakin mempercepat laju terbentuknya desa global dengan ciri budaya anonim yang hampir seragam.

Menurut Amir Sodikin (2005) Indonesia semakin kehilangan identitas di tengah-tengah kebhinekaan dan kebesaran budaya nusantaranya. Budaya lokal terbengkalai bagaikan pakaian kusut di gantungan terus menerus mengalami intrusi budaya global.

Disaat kekuatan kebangsaan sedang tidak sehat, gempuran budaya global tidak terelakkan, semangat sukuisme dan provinsialisme semakin menguat, bahkan terkadang keluar dari konteks ke-Indonesiaan, maka integritas dan identitas nasional menjadi semakin terancam (Hamengku Buwono X, 2008).

Penanganan dampak intrusi budaya global terhadap budaya lokal salah satunya dapat dilakukan melalui inovasi pengembangan kualitas, perluasan akses, dan relevansi pendidikan berbasis budaya dan kearifan lokal. Inovasi pengembangan kualitas, perluasan akses, dan relevansi pendidikan berbasis budaya dan kearifan lokal diharapkan dapat semakin mengenalkan dan meningkatkan kecintaan masyarakat terhadap budaya bangsa sekaligus meningkatkan kualitas dan daya saing tenaga kerja.

Disamping memperhatikan konteks perkembangan globalisasi, inovasi dan pengembangan pendidikan juga sangat perlu memperhatikan konteks lokal berupa kebutuhan-kebutuhan nasional dan kearifan-kearifan lokal masing-masing daerah. Sasarannya adalah agar pendidikan dapat berkembang secara seimbang dan berkelanjutan untuk keharmonisan dan kemajuan sosial bersama, memberi kontribusi pada keharmonisan dan pelestarian lingkungan, pelestarian nilai-nilai budaya, pengukuhan identitas bangsa, bijak dalam menggunakan sumber daya alam, efektif efisien dalam melakukan perbaikan tenaga kerja terdidik dan terlatih.

Untuk menghadapi globalisasi, wahana terbaik pengembangan pendidikan adalah melalui wawasan kebudayaan dengan menguatkan kearifan lokal, karena budaya memiliki asas-asas hakiki. Sejalan dengan pendapat Cheng (2005) bahwa pengembangan diri manusia melalui pendidikan berkearifan lokal dapat didekati menggunakan teori pohon, teori kristal, dan teori sangkar burung.

  • Teori Pohon memiliki karakteristik dasar bahwa pendidikan harus mengakar pada nilai-nilai dan tradisi lokal tetapi menyerap sumber-sumber dari luar yang relevan. Implikasinya bahwa kurikulum harus didasarkan pada aset-aset nilai-nilai budaya lokal ideologi Tri Hita Karana (THK) tetapi terbuka terhadap pengetahuan dan teknologi global. Dampak yang diharapkan dari pendidikan berdasarkan teori pohon adalah person atau pribadi yang berpandangan internasional, bertindak lokal dan tumbuh secara global (act locally and develop globally). Kelebihannya masyarakat lokal dapat memelihara nilai-nilai tradisi dan identitas budaya yang dimiliki dan menjadikan nilai-nilai budaya yang dimiliki berkembang menjadi pengetahuan dan nilai budaya yang bermanfaat bagi masyarakat global.

  • Teori Kristal dengan ciri pokok adalah dimilikinya bibit atau benih yang dapat dikristalisasikan dan diakumulasikan pada pengetahuan global persis seperti bentuk lokalnya. Desain dari kurikulum dan pembelajarannya diawali dengan identifikasi kebutuhan dan nilai-nilai sebagai benih atau bibit. Dampak yang diharapkan dari hasil pendidikannya adalah pribadi lokal yang utuh dengan beberapa pengetahuan global, mampu bertindak dan berpikir lokal menggunakan cara-cara global (act locally and think locally with increasing global techniques).

  • Teori Sangkar Burung dengan ciri keterbukaan terhadap pengetahuan dan sumberdaya global tetapi dibatasi dengan framework lokal yang tetap. Pengembangan pengetahuan lokal dalam globalisasi pendidikan membutuhkan framework lokal sebagai proteksi dan penyaring. Diperlukan setup framework lokal sebagai batasan ideologis yang jelas dan norma-norma sosial untuk perencanaan kurikulum dan keseluruhan aktivitas pendidikan. Ideologi Tri Hita Karana (THK) menjadi fokus lokal dalam menjaring tekanan pengetahuan dan masukan global. Masyarakat bali loyal terhadap kearifan lokal ideologi THK sebagai core atau bagian inti dari pembangunan pendidikan. Dampak yang diharapkan dari pendidikan dengan Teori Sangkar Burung adalah pribadi lokal dengan pandangan global yang dapat bertindak lokal dengan pengetahuan global terfilter/terpilih (act locally with filtered global knowledge).

Inovasi dan pengembangan kualitas pendidikan di era industri berbasis pengetahuan diharapkan mampu:

  1. menggerakkan siswa untuk berpikir kritis, bertanggungjawab dalam mengelola informasi dan pengetahuan (Goldberg & Caufal, 2009) ;
  2. mematangkan emosi, mental, dan moral siswa untuk bekerjasama satu sama lain dalam mengelola dan memecahkan permasalahan hidup;
  3. menggunakan teknologi baru (ICT) secara interaktif, efektif, efisien, dan bertanggungjawab;
  4. menumbuhkan kualitas diri individu siswa secara utuh;
  5. membangun budaya dan jiwa wirausaha dalam berkarya, belajar, dan melayani secara produktif;
  6. bersifat kontekstual sesuai dengan desa, kala, dan patra (tempat, waktu, kondisi riil di lapangan) (Sudira, 2011; Djohar, 1999; Wagner, 2008; Billet, S.,2009; Tessaring, M., 2009; Rychen, D.S., 2009; Overtom, 2000).

Kemampuan ini diperlukan guna menghadapi tantangan besar dalam milenium baru seperti globalisasi, dampak teknologi informasi dan komukasi, tranformasi internasional menuju ekonomi berbasis pengetahuan, dan persaingan antar bangsa.

Pendidikan tidak lagi dipahami secara sederhana hanya sebagai pendidikan dalam kerangka transmisi pengetahuan dan keterampilan kerja sebagai wahana pemenuhan kebutuhan ekonomi dan ketenagakerjaan wilayah suatu negara, melainkan sebagai pendidikan dalam rangka memproduksi kebudayaan, proses inkulturasi akulturasi memperadabkan generasi dan mengembangkan potensi diri. Pendidikan dituntut proaktif dan tanggap terhadap perubahan-perubahan ekonomi, politik, sosial, budaya, mengadopsi strategi jangka panjang, dan membumikan budaya masyarakat setempat untuk memenuhi kebutuhan pribadinya (Gleeson,1998:47; Rau, 1998:78; Bailey, Hughes, & More, 2004;100; Clarke & Winch, 2007:130; Raelin, 2008:46; Bruner, 2008).

Dalam era platinum memasuki tahun 2011 seluruh aspek pendidikan di seluruh dunia termasuk pendidikan semakin dihadapkan pada berbagai macam peluang dan tantangan seperti globalisasi politik, ekonomi, sosial, budaya, teknologi, dan otonomi daerah. Transformasi internasional menuju desa global (global village), ekonomi berbasis pengetahuan, kuatnya tuntutan kebutuhan pembangunan masyarakat, persaingan regional dan internasional telah berpengaruh besar terhadap perubahan paradigma pengembangan pendidikan vokasi dan di Indonesia. Menurut Cheng (2005) perlu pemikiran yang jernih dan pemahaman utuh menyeluruh tentang dampak dari pembangunan yang sangat cepat serta implikasinya untuk reformasi dan inovasi pendidikan secara umum dan pendidikan pada khususnya. Diperlukan adanya transformasi pendidikan dari paradigma lokal yang sempit atau paradigma global tanpa akar budaya yang kuat menuju paradigma baru yaitu triplisasi.

Triplisasi (triple-lisasi) adalah konsep berpikir reflektif yaitu berpikir mondar mandir diantara individualisasi, lokalisasi, dan globalisasi pendidikan. Bagaimana secara arif dan seimbang mendudukkan posisi proses individualisasi diantara perkembangan lokal dan global sehingga terjadi transformasi bernilai tinggi bagi perkembangan suatu bangsa, masyarakat suatu daerah, dan individu ditengah-tengah perkembangan dunia global platinum (glo-plat).

Ada keseimbangan diantara pandangan ke dalam diri dan ke luar diri, lahir-bathin, keseimbangan diantara kebutuhan lokal (nasional) dan global. Sebagai harapan adalah terjadi proses act locally develop globally secara utuh dan benar sesuai tahapan-tahapan kehidupannya.

Penulis :
Dr. Putu Sudira, MP. Dosen Jurusan Pendidikan Teknik Elektronika FT UNY Tinggal di Jepun Bali Kalongan Maguwoharjo