Mengenai Hukuman Tutupan


Apakah yang dimaksud dengan pidana tutupan?

Pidana tutupan merupakan salah satu bentuk pidana pokok yang diatur dalam Pasal 10 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (“KUHP”). Penambahan pidana tutupan ke dalam ketentuan KUHP didasarkan pada ketentuan Pasal 1 UU No. 20 Tahun 1946 tentang Hukuman Tutupan (“UU 20/1946”). Di dalam Pasal 2 UU 20/1946 disebutkan bahwa:

  1. Dalam mengadili orang yang melakukan kejahatan yang diancam dengan hukuman penjara, karena terdorong oleh maksud yang patut dihormati, hakim boleh menjatuhkan hukuman tutupan.
  2. Peraturan dalam ayat 1 tidak berlaku jika perbuatan yang merupakan kejahatan atau cara melakukan perbuatan itu atau akibat dari perbuatan tadi adalah demikian sehingga hakim berpendapat, bahwa hukuman penjara lebih pada tempatnya.
    Berdasarkan Pasal 5 ayat (2) UU 20/1946 tempat untuk menjalani hukuman tutupan ini, mengenai tata usaha dan tata tertibnya diatur oleh Menteri Kehakiman dengan persetujuan Menteri Pertahanan. Ketentuan mengenai tempat menjalani hukuman tutupan diatur lebih lanjut dalam ketentuan PP No. 8 Tahun 1948 tentang Rumah Tutupan (“PP 8/1948”).

Pelaksanaan pidana tutupan berbeda dengan penjara karena ditempatkan di tempat khusus bernama Rumah Tutupan yang pengurusan umumnya dipegang oleh Menteri Pertahanan (Pasal 3 ayat [1] PP 8/1948). Walaupun berbeda pelaksanaannya, penghuni Rumah Tutupan juga wajib melaksanakan pekerjaan yang diperintahkan kepadanya dengan jenis pekerjaan yang diatur oleh Menteri Pertahanan dengan persetujuan Menteri Kehakiman (Pasal 3 ayat [1] UU 20/1946 jo. Pasal 14 ayat [1] PP 8/1948). Penghuni Rumah Tutupan tidak boleh dipekerjakan saat hari minggu dan hari raya, kecuali jika mereka sendiri yang menginginkan (Pasal 18 ayat [1] PP 8/1948). Selain itu, Penghuni Rumah Tutupan wajib diperlakukan dengan sopan dan adil serta dengan ketenangan (Pasal 9 ayat [1] PP 8/1948).

Mr. Utrecht dalam buku Hukum Pidana II (hal. 321) berpendapat Rumah Tutupan bukan suatu penjara biasa tetapi merupakan suatu tempat yang lebih baik dari penjara biasa, selain karena orang yang dihukum bukan orang biasa, perlakuan kepada terhukum tutupan juga istimewa. Misalnya ketentuan Pasal 33 ayat (2) PP 8/1948 yang berbunyi “makanan orang hukuman tutupan harus lebih baik dari makanan orang hukuman penjara” serta ketentuan Pasal 33 ayat (5) PP 8/1948 yang berbunyi “buat orang yang tidak merokok, pemberian rokok diganti dengan uang seharga barang-barang itu.”

Menurut Andi Hamzah dalam buku Asas-Asas Hukum Pidana (hal. 191), pidana tutupan disediakan bagi para politisi yang melakukan kejahatan yang disebabkan oleh ideologi yang dianutnya. Tetapi, dalam praktik dewasa ini tidak pernah ketentuan tersebut diterapkan.

Akan tetapi, menurut pendapat Adam Chazawi dalam buku Pelajaran Hukum Pidana Bagian I (hal. 43) serta pendapat Wirjono Prodjodikoro dalam buku Asas-Asas Hukum Pidana di Indonesia (hal. 174), sepanjang sejarah praktik hukum di Indonesia, pernah terjadi satu kali hakim menjatuhkan pidana tutupan yaitu putusan Mahkamah Tentara Agung pada tanggal 27 Mei 1948 yang mengadili para pelaku kejahatan yang dikenal dengan sebutan peristiwa 3 Juli 1946 atau dikenal juga dengan sebutan “Tiga Juli Affaire”.

sumber: hukumonline.com