Mengapa wanita yang berusia lanjut yang hamil memiliki “kehamilan berisiko?”

wanita hamil

Wanita yang berusia 30-an akhir dan di atasnya sering dianjurkan untuk tidak hamil, karena dikhawatirkan akan memiliki kehamilan berisiko. Apa yang menyebabkan kehamilan jadi berisiko pada wanita golongan usia ini?

Kehamilan di usia tua adalah kehamilan yang terjadi pada wanita berusia lebih dari atau sama dengan 35 tahun, baik primi maupun multigravida.

Semua kehamilan memiliki risiko, dan risiko-risiko tersebut semakin meningkat pada kehamilan di usia tua. Berbagai faktor risiko ini berkumpul pada satu kelompok yang dinamakan penyulit kehamilan atau kehamilan risiko tinggi, dimana hal tersebut mengancam mortalitas dan morbiditas tidak hanya pada janin namun juga pada ibu.

Berikut adalah alasan-alasan mengapa kehamilan di usia tua merupakan kehamilan dengan risiko tinggi.

Penyulit Kehamilan

Preeklampsia dan Eklampsia

Sehubungan dengan makin tingginya usia ibu, a. uterine semakin mengalami degenerasi. Patofisiologi terjadinya preeklampsia sampai saat ini pun belum diketahui dengan jelas. Banyak teori yang telah dikemukakan mengenai terjadinya hipertensi dalam kehamilan. Harrison et al menyebutkan bahwa preeklampsia dapat terjadi akibat kelainan implantasi plasenta, serta akibat perubahan pada ginjal dan sistem vaskuler secara keseluruhan, dimana, akibat adanya disfungsi endotel, faktor-faktor yang memungkinkan perkembangan pembuluh darah menjadi berubah, menyebabkan pelepasan vasokntriktor serta prokoagulan ke dalam pembuluh darah plasenta.

Disfungsi endotel juga menyebabkan timbulnya lesi yang khas pada sel endotel glomerulus, yang ditandai dengan adanya mikroskopis trombus, sehingga mengakibatkan menurunnya fungsi ginjal.

Salah satu faktor risiko yang berpengaruh dalam kejadian preeklampsia ialah usia maternal. Penelitian di Finland menyatakan bahwa insiden preeklampsia meningkat 1,6x lebih banyak pada ibu hamil di usia tua dibanding ibu hamil yang berusia lebih muda. Mekanisme terjadinya hal ini belum banyak dibicarakan, namun dipercaya berhubungan dengan proses penuaan pada pembuluh darah pada uterus.

Hal ini sejalan degan pernyataan Taddei et al, bahwa proses penuaan berhubungan dengan disfungsi endotel baik pada grup dengan normotensi maupun grup dengan hipertensi esensial. Perubahan ini disebabkan oleh ketidakseimbangan pada jalur nitrit oksida dan produksi stress oksidatif yang berlangsung progresif, dimana disfungsi endotel yang diakibatkan oleh penurunan jumlah nitrit oksida dan peningkatan stress oksidatif merupakan indikator awal dari kerusakan atherotrombitik dan penyakit kardiovaskular.

Seiring dengan tingginya angka kejadian pada ibu hamil di usia tua, maka angka terjadinya komplikasi akan meningkat. Komplikasi- komplikasi yang umumnya menyertai ibu hamil dengan preeklampsia antara lain prematuritas, berat bayi lahir rendah (BBLR), bayi lahir asfiksi (yang kemudian akan meningkatkan kebutuhan perawatan di NICU), serta meningkatnya angka kematian neonatal. Sementara komplikasi pada ibu antara lain peningkatan kebutuhan persalinan dengan induksi, sectio caesaria, serta peningkatan kebutuhan transfusi darah.

Diabetes Gestasional

Kehamilan merupakan sutau keadaan intoleransi glukosa, meskipun begitu hanya 3-5% wanita hamil yang kemudian menderita diabetes gestasional. Seiring bertambahnya usia kehamilan, jaringan yang mengalami resistensi terhadap insulin semakin meningkat, sehingga menciptakan peningkatan kebutuhan insulin.

Pada kehamilan normal, resistensi insulin dan pemenuhan kebutuhannya berada dalam keadaan seimbang. Namun, apabila resistensi menjadi dominan, ibu akan mengalami kondisi hiperglikemi. Hal ini biasanya terjadi pada paruh terakhir kehamilan, ditandai dengan meningkatnya resistensi insulin secara progresif sampai proses persalinan. Risiko ini semakin tinggi pada usia >35 tahun.

Prevalensi diabetes gestasional 3x lebih tinggi pada ibu hamil berusia ≥ 35 tahun dibanding ibu hamil berusia 25-29 tahun dan 9x lebih tinggi dibanding ibu hamil usia 20-24 tahun. Pada suatu penelitian dikatakan bahwa risiko diabetes gesatsional meningkat secara progresif pada usia 25 tahun dan lebih. Hal ini sesuai dengan rekomendasi American Diabetes Association yang menggunakan usia ≥ 25 tahun sebagai batasan usia untuk skrining dan observasi.

Peningkatan insidensi diabetes gestasional pada ibu hamil yang berusia lebih tua mungkin berhubungan dengan faktor penuaan dari sisi maternal. Jolly et al menyebutkan, dengan mengacuhkan faktor-faktor perancu seperti obesitas dan etnik/ras, kejadian diabetes gestasional pada ibu usia tua berhubungan dengan penurunan sensitifitas insulin.

Toleransi terhadap glukosa merupakan akibat dari sensitifitas dan sekresi insulin. Sementara itu, fungsi sel B pankreas maupun sensitifitas insulin menurun seiring bertambahnya usia. Selain itu, adanya diabetes pregestasional turut berpengaruh. ibu dengan predisposisi diabetes tipe 2 cenderung memiliki respon sel B yang inadekuat terhadap stimulus dan menjadi lebih insulin-resisten daripada ibu berusia lebih muda, karenanya, jika dikombinasikan kedua alasan ini, kejadian diabetes gestasional pada ibu usia tua menjadi lebih sering terjadi.

Plasenta Previa

Plasenta previa digunakan untuk menggambarkan plasenta yang berimplantasi di atas atau sangat berdekatan dengan ostium uteri internum.

Usia ibu yang semakin lanjut meningkatkan risiko plasenta previa. Terdapat 1 insiden dalam 1500 kehamilan pada perempuan kelompok usia ≤19 tahun dan sebesar 1 insiden dalam 100 kehamilan pada perempuan kelompok usia >35 tahun. Selain itu bertambahnya usia ibu di Amerika telah menyebabkan peningkatan insiden total plasenta previa dari 0.3% pada tahun 1976 menjadi 0,7% pada tahun 1997. Penelitian FASTER juga menyebutkan, mereka yang berusia >35 tahun memiliki risiko 1,1% untuk mengalami plasenta previa dibandingkan dengan wanita yang berusia <35 tahun yang hanya berisiko 0.5%.

Insidensi plasenta previa meningkatkan risiko terjadinya prematuritas serta kejadian mortalitas dan morbiditas janin. Pada ibu, plasenta previa meningkatkan risiko dilakukannya transfusi darah, septikemia, thrombophlebitis, serta stress pada ibu akibat perdarahan berulang selama rawat inap di rumah sakit.

Ketuban Pecah Dini

Ketuban Pecah Dini (KPD) adalah keadaan pecahnya selaput ketuban sebelum persalinan. Bila KPD terjadi sebelum usia kehamilan 37 minggu disebut Ketuban Pecah Dini pada kehamilan prematur atau Premature Prematur Rupture of Membran (PPROM).

Pecahnya ketuban pada kehamilan prematur pada banyak kasus tidak diketahui sebabnya, namun infeksi intrauterin asimptomatik merupakan prekusor tersering terjadinya KPD. Usia tua merupakan faktor risiko terjadinya bakteriuria asimptomatik pada kehamilan, hal ini didasarkan bahwa pada ibu usia tua umumnya telah terjadi beberapa kehamilan sebelumnya (multiparitas), dan multiparitas adalah salah satu faktor risiko dari bekteriuria asimptomatik.

Patofisiologi terjadinya KPD dapat terjadi melalui berbagai jalur yang mengakibatkan melemahnya selaput ketuban. Kolagenase dan protease bakteri dapat secara langsung menyebabkan terjadinya proses tersebut. Adanya infeksi pada traktus urinarius akan mengakibatkan produksi protease bakteri yang akan menginisiasi kaskade inflamasi. Proses inflamasi ini diperantarai oleh sitokin proinflamasi (IL-1β, IL-6, IL-8, TNFα) yang mengakibatkan degradasi MMP (matrix metalloproteinase) pada selaput amnion melalui aktivitas kolagenase yang mengakibatkan ketidakseimbangan MMP dengan TIMP (tissue inhibitor of matrix metalloproteinase).

Proses apoptosis akan berjalan akibat teraktivasinya kaskade inflamasi ini, selain itu adanya protease bakteri akan meningkatkan produksi glukokortikoid yang menyebabkan penurunan kekuatan kolagen selaput amnion. Semua proses ini menyebabkan terjadinya KPD.

Paritas

Studi yang dilakukan Wang et al menunjukkan terdapat 21,8% nuliparitas dan 42,1% multiparitas pada kelompok ibu usia tua. Dimana berbagai komplikasi akan muncul seiring dengan jumlah paritas ibu. Nuliparitas dapat menimbulkan risiko komplikasi selama persalinan seperti obstruksi persalinan. Sementara, paritas tinggi dihubungkan dengan peningkatan risiko hipertensi, plasenta previa, dan rupture uterus.

Hal ini berbanding terbalik dengan studi yang dilakukan Callaway et al. Studi tersebut menyatakan bahwa tidak ditemukan perbedaan yang signifikan baik pada luaran maternal dan perinatal antara ibu yang berusia tua (≥45 tahun) dengan ibu yang berusia lebih muda, selain meningkatnya jumlah persalinan dengan sectio caesaria pada kelompok ibu usia tua. Hal ini kembali berlawanan dengan studi yang dilakukan Wang et al yang menyatakan bahwa wanita multiparitas berusia ≥40 tahun memiliki risiko komplikasi antepartum yang lebih tinggi, termasuk didalamnya Intrauterine Fetal Death (IUFD), dibanding kelompok usia yang lebih muda. Mereka berpendapat bahwa komplikasi medis lebih berpengaruh dibanding usia pada terjadinya komplikasi obstetri.

Serotinus

Serotinus atau kehamilan lewat bulan adalah suatu kondisi kehamilan dimana persalinan terjadi pada minggu ke 42 atau lebih. Pada studi yang dilakukan Roos et al didapatkan 8.94% kehamilan lewat bulan, dimana didapatkan peningkatan lebih dari 50% kehamilan lewat bulan pada ibu usia tua dan primipara. Kemudian, jika dibandingkan dengan wanita berat badan normal, risiko serotinus 60% lebih tinggi dibanding wanita dengan obesitas. Sementara merokok justru menurunkan risiko terjadinya serotinus.

Patofisiologi terjadinya serotinus diperkirakan berhubungan dengan adanya mekanisme down regulation pada reseptor-reseptor sitokin pro dan anti inflamasi yang mengakibatkan terlambatnya “pematangan serviks” dan berlanjut menjadi kehamilan lewat bulan.

Kelainan Letak

Kelainan letak atau malposisi janin merupakan salah satu penyebab utama terjadinya partus macet. Berdasarkan studi yang dilakukan Turcot et al disimpulkan bahwa Ibu usia ≥35 tahun paling kuat berhubungan dengan persalinan dengan tindakan (Operative delivery).

Hal ini didukung oleh penelitian Johnson et al yang menyebutkan rasio sectio caesaria pada ibu usia 40 sampai 45 tahun mencapai 50% dan angka ini mencapai 80% pada usia 50 sampai 63 tahun. Dimana, salah satu alasan yang mendasari tingginya angka persalinan dengan Caesar ialah malposisi janin.

Selain itu pada penelitian sebelumnya, didapatkan dari 60 ibu hamil usia tua yang melahirkan dengan seccio caesaria, 7 kasus dilakukan atas indikasi kelainan letak. Hal ini diduga akibat semakin memburuknya fungsi uterus seiring bertambahnya usia ibu yang menyebabkan uterus menjadi lebih tidak elastis untuk mengakomodir pergerakan janin seiring bertambahnya usia kehamilan.

Luaran Maternal

Partus dengan Tindakan

Berdasarkan kepustakaan, Ibu usia >35 tahun memiliki risiko lebih tinggi menghadapi penyulit dalam masa kehamilan dan persalinan. Berbagai penyulit kehamilan tersebut berdampak pada meningkatnya kebutuhan persalinan dengan tindakan. Ibu usia ≥35 tahun memiliki kecenderungan lebih tinggi untuk melahirkan dengan sectio caesaria serta persalinan dengan induksi dibanding ibu yang berusia lebih muda.

Hal ini ditunjukkan dengan meningkatnya rasio sectio caesaria pada ibu usia 40-45 tahun hingga mencapai 50%. Begitu pula pada ibu usia 50-63 tahun, yang rasionya meningkat menjadi 80%.

Usia ibu yang tua merupakan faktor risiko tunggal dilakukannya sectio caesaria, baik tindakan sectio secara langsung maupun yang didahului oleh persalinan spontan atau persalinan menggunakan induksi lainnya. Hal ini dikarenakan parturien yang lebih tua memiliki kecenderungan yang lebih tinggi untuk terjadinya persalinan non- progresif dan lebih sering membutuhkan oksitosin dalam dosis lebih tinggi, serta membutuhkan waktu lebih panjang untuk melahirkan pervaginam dibandingkan mereka yang berusia lebih muda.

Jolly et al mengatakan dalam studinya bahwa tingginya persalinan dengan induksi pada ibu usia tua mungkin dikarenakan para dokter obsgin memasang batas ambang yang rendah untuk melakukan intervensi pada ibu usia tua. Penjelasan lain adalah memburuknya fungsi miometrium seiring bertambahnya usia. Dimana mekanisme ini menjadi relevan seiring bertambahnya risiko yang terkait dengan pertambahan usia, seperti breech presentation dan perdarahan post partum, dimana atonia uteri menjadi sebab utama terjadinya perdarahan ini.

Partus Lama

Partus lama menurut WHO adalah persalinan yang berlangsung lebih dari 16 jam. Dimana lamanya persalinan berbeda tergantung berbagai faktor, antara lain ras, BMI, usia kehamilan, dan usia ibu.

Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Greenberg et al, ditemukan bahwa lamanya suatu persalinan atau kejadian partus lama meningkat seiring bertambahnya usia. Hal ini disertai dengan meningkatnya jumlah persalinan dengan tindakan, dimana salah satu predisposisi terjadinya persalinan dengan tindakan ialah partus lama.

Berbagai kepustakaan menyebutkan bahwa kejadian ini disebabkan oleh disfungsi uterus akibat proses penuaan, serta adanya malposisi janin, yakni breech presentation yang insidennya meningkat pada ibu usia tua.

Perdarahan Post Partum

Perdarahan post partum (PPP) adalah perdarahan masif (>500 ml setelah bayi lahir) yang berasal dari tempat implantasi plasenta, robekan pada jalan lahir dan jaringan sekitarnya. Perdarahan post partum merupakan satu dari tiga penyebab utama kematian ibu dan berdasarkan laporan Menteri Kesehatan tahun 1998, insidennya di Indonesia mencapai 40-60%.

PPP dipengaruhi oleh berbagai hal, antara lain usia ibu yang tua, partus lama, grandmultipara, eklampsia, ibu obesitas, kehamilan multipel, berat lahir >4000 gram, serta riwayat PPP pada kehamilan sebelumnya. Perdarahan antepartum akibat solusio plasenta dan plasenta previa juga berhubungan dengan peningkatan risiko perdarahan post partum.

Telah disebutkan bahwa kehamilan di usia tua meningkatkan berbagai risiko komplikasi dalam kehamilan maupun saat persalinan. Dan seiring dengan meningkatnya jumlah parturient berusia >35 tahun, maka risiko terjadinya PPP pun akan semakin meningkat.

Inersia Uteri

Inersia uteri adalah salah satu jenis kelainan kontraksi uterus pada saat persalinan. Inersia uteri adalah kontraksi uterus berupa his yang kekuatannya lemah, lama kontraksinya pendek, interval kontraksinya lama, serta perasaan sakit yang ringan.

Berbagai faktor yang berpengaruh terhadap kejadian inersia uteri antara lain panggul sempit ringan, malpresentasi letak kepala (posisi oksipitalis posterior), serviks yang kaku dan sukar membuka, keadaan fisik yang lemah, uterus hamil yang terlalu teregang, serta mioma uteri.

Donald et al menyebutkan bahwa tingginya angka stimulasi partus pada primitua terutama disebabkan terjadinya inersia uteri pada kala I, yang mungkin disebabkan ketakutan ibu dalam menghadapi persalinan pertama.

Kematian Maternal

Menurut Survey Demografi Kesehatan Indonesia (SDKI) 2007, AKI di Indonesia tercatat sebesar 228 per 100.000 kelahiran hidup, dimana angka ini masih tertinggi di Asia.

Seperti yang telah disebutkan oleh berbagai penelitian sebelumnya, peningkatan usia ibu berpengaruh terhadap peningkatan risiko komplikasi serta kejadian luaran perinatal yang tidak diinginkan.

Hal ini disebabkan ibu usia tua cenderung memiliki penyakit penyerta seperti hipertensi kronik, preeklampsia ringan ataupun sedang, dan diabetes gestasional. Selain itu adanya penyakit kronik pregestasional pada ibu turut menjadi salah satu faktor munculnya luaran perinatal yang tidak diinginkan, meskipun tentu saja terdapat beberapa komplikasi yang merupakan akibat tunggal dari usia ibu itu sendiri. Meningkatnya risiko komplikasi kehamilan yang terkait dengan usia ibu ini tentunya juga berkontribusi dalam meningkatnya kematian maternal.

Lama Rawat Inap

Komplikasi kehamilan meningkat seiring bertambahnya usia ibu. Meskipun usia bukan merupakan faktor tunggal dari terjadinya beberapa komplikasi seperti seperti munculnya luaran perinatal yang tidak diharapkan, komplikasi-komplikasi tersebut tetap menimbulkan morbiditas bahkan dapat meningkatkan risiko mortalitas pada ibu maupun janin.

Seiring dengan hal itu, lama ibu tinggal di rumah sakit pun menjadi semakin panjang. Berdasarkan studi yang dilakukan Strangers et al, disebutkan bahwa terdapat 4.1 juta rawat inap untuk neonatus yang terkait komplikasi pasca persalinan, seperti komplikasi tali pusat, riwayat persalinan Caesar, gangguan pada ritme jantung bayi, maupun masalah pada kavum amnion.

Dari data yang sama disebutkan bahwa persalinan pervaginam menyumbang 2/3 dari total seluruh rawat inap (66.5%), sementara sectio caesaria sebesar 33.5%.

Tingginya insiden sectio caesaria pada ibu usia >35 tahun diperkirakan menjadi salah satu faktor yang berkontribusi dalam lamanya rawat inap. Ibu yang dirawat inap karena persalinan pervaginam cenderung lebih singkat dan lebih murah dibanding rawat inap karena sectio caesaria. Insidensi rawat inap dilakukan dengan ditemukan sedikitnya 1 komplikasi baik pada persalinan pervaginam maupun pada sectio cesaria (91.3% pada persalinan pervaginam dan 99.9% pada sectio caesaria).

Diantara semua insiden rawat inap yang dilakukan karena sectio caesaria, komplikasi yang paling umum terjadi ialah akibat riwayat sectio caesaria, fetal distress dan gangguan selama persalinan, komplikasi tali pusat, malposisi/malpresentasi, laju jantung fetus yang abnormal, gangguan pada kavum amnion (seperti PPROM, dan korioamnionitis), preeklampsia, anemia, dan komplikasi terkait usia ibu. Seperti yang telah dijelaskan sebelumnya, komplikasi-komplikasi yang disebutkan diatas meningkat pada ibu usia tua.

Hb Ibu

Perdarahan obstetri adalah salah satu penyebab utama kematian ibu di Indonesia. Perdarahan yang terjadi selama kehamilan tentunya akan sangat berpengaruh terhadap hasil akhir persalinan. Luaran perinatal yang dipengaruhi antara lain kelahiran premature <37 minggu, IUFD, dan kelainan kongenital.

Berkaitan dengan perdarahan obstetri, dapat dijumpai penurunan kadar hemoglobin pada ibu hamil yang mengalaminya, yang diakibatkan oleh hilangnya banyak darah ibu serta bayi. Keadaan demikian dikhawatirkan dapat berpengaruh pada kondisi bayi yang dilahirkan. Untuk menilai secara cepat kondisi bayi yang dilahirkan, digunakan skor Apgar.

Seiring dengan pertambahan usia ibu, risiko komplikasi selama persalinan pun meningkat, termasuk risiko perdarahan obstetri. Namun, Jolly et al dalam studinya mengatakan bahwa tidak ditemukan peningkatan risiko anemia pada ibu usia tua.

Luaran Perinatal

Prematuritas

Persalinan prematur mengacu pada persalinan yang terjadi sebelum usia kehamilan 37 minggu, baik karena persalinan spontan dengan membran yang intak, akibat PPROM, maupun persalinan dengan induksi atas indikasi pada ibu maupun janin.

Berdasarkan berbagai penelitian, ibu dengan usia tua secara signifikan memiliki kecenderungan untuk melahirkan sebelum minggu ke 34 dan 37 serta memiliki kecenderungan insiden Kecil Massa Kehamilan (KMK). Dimana, risiko janin dilahirkan sebelum minggu ke 34 meningkat mencapai 70% pada ibu berusia tua. Sementara risiko janin dilahirkan sebelum minggu ke 37 dan janin dengan KMK meningkat mencapai 40% pada kelompok usia yang sama.

Hal ini dapat dikarenakan ibu yang berusia tua memiliki risiko 1.5x menderita preeklampsia, dimana salah satu komplikasi dari penyakit ini ialah prematuritas.

Selain itu, kehamilan multipel yang insidensinya meningkat pada ibu berusia tua seiring dengan adanya Assisted Reproductive Technology (ART) dapat juga menjadi salah satu faktor risiko persalinan prematur. Tingginya angkat infeksi traktus urinarius pada ibu >40 tahun juga menyumbangkan kejadian persalinan prematur pada ibu usia tua.

Asfiksia

Asfiksia pada neonatus merupakan keadaan gawat pada bayi dimana bayi gagal untuk bernafas secara spontan, teratur, serta disertai dengan hipoksia dan hiperkapneu. Hipoksia yang terjadi pada bayi asfiksia adalah faktor yang dapat menghambat adaptasi bayi baru lahir terhadap kehidupan ekstra-uterine, selain itu asfiksia dapat menyebabkan terjadinya depresi susunanan saraf pusat. Oleh karena itu, bila keadaan ini tidak ditanggulangi secara adekuat, dapat menimbulkan kematian.

Skor APGAR ialah penilaian yang dilakukan untuk mengetahui ada tidaknya kejadian asfiksia pada janin. Penilaian APGAR dilakukan pada menit ke-1 dan menit ke-5 setelah bayi lahir lengkap dan jalan nafasnya telah dibersihkan. Penilaian pada menit ke-1 dilakukan karena sebagian besar bayi memiliki nilai terendah pada 1 menit pertama, dan nilainya berhubungan langsung dengan manajeman. Sementara nilai APGAR pada 5 menit pertama kehidupan lebih dapat menggambarkan keadaan bayi daripada nilai tunggal menit ke 1 dan menit ke 5.

Tabel Skor Apgar
Skor Apgar

Asfiksia neonatorum dapat dibagi menjadi:

  1. Vigorous baby

    Skor Apgar 7-10. Dalam hal ini bayi dianggap sehat dan tidak memerlukan tindakan istimewa.

  2. Mild-moderate asphyxia (Asfiksia ringan-sedang)

    Skor Apgar 4-6. Pada pemeriksaan fisis akan terlihat frekuensi jantung lebih dari 100/menit, tonus otot kurang baik atau baik, sianosis, reflex iritabilitas tidak ada.

  3. Asfiksia berat

    Skor Apgar 0-3. Pada pemeriksaan fisis ditemukan frekuensi jantung kurang dari 100/menit, tonus otot buruk, sianosis berat dan kadang-kadang pucat, reflex iritabilitas tidak ada.

  4. Asfiksia berat dengan henti jantung

    Dimaksudkan dengan henti jantung ialah keadaan (1) bunyi jantung fetus menghilang tidak lebih dari 10 menit sebelum lahir lengkap. (2) bunyi jantung bayi menghilang post partum. Dalam hal ini pemeriksaan fisis lainnya sesuai dengan yang ditemukan pada asfiksia berat.

Penelitian yang dilakukan Awad et al menunjukkan data bahwa skor Apgar pada ibu kelompok usia ≥35 tahun sebesar 5.8%, sebagai manifestasi hipoksia berat pada bayi saat lahir akan memperlihatkan angka kematian yang lebih tinggi yaitu 1.8% dibanding kelompok usia 20-25 tahun.

Kelainan Kongenital

Kelainan kongenital dan persalinan prematur merupakan penyebab penting dari kematian anak, penyakit kronik, maupun kecacatan pada banyak negara. Insidensinya terjadi pada 1 dari 33 bayi dan menghasilkan 3.2 juta kecacatan terkait defek kelahiran setiap tahunnya.

Penyebab terjadinya kelainan kongenital pada bayi masih banyak yang belum diketahui. Namun umumnya dipengaruhi oleh faktor instrinsik, ekstrinsik, maupun gabungan keduanya. Faktor intrinsik ialah faktor genetik dan kromosom. Sementara faktor ekstrinsik ialah infeksi, usia ibu, radiasi, obat-obatan, nutrisi, maupun social ekonomi.

Kelainan kongenital parah yang paling sering terjadi ialah defek jantung, defek pada neural tube, serta Sindrom Down. Sindrom Down ditandai dengan kelebihan 1 kromosom pada kromosom No. 21 (trisomy 21). Telah diketahui bahwa Sindrom Down lebih sering ditemukan pada bayi yang dilahirkan oleh wanita yang mendekati masa menopause. Frekuensi kelahiran ini akan meningkat pada ibu yang berusia >30 tahun dan akan semakin meningkat pada ibu usia >40 tahun. Hal ini diduga akibat kegagalan pemisahan sel terutama pada fase awal miosis.

Berat Bayi Lahir Rendah

Berat badan lahir rendah (BBLR) merujuk pada bayi dengan berat kurang dari 2500 gram pada waktu lahir, dapat disebabkan oleh umur kehamilan kurang 37 minggu dengan berat badan sesuai (SMK), ataupun Kecil Masa Kehamilan (KMK). Jolly et al dalam penelitiannya menyebutkan, terdapat distribusi yang luas pada ibu dengan usia tua untuk melahirkan bayi dengan KMK. Selain itu, Joseph et al menyebutkan bahwa ibu berusia tua memiliki risiko 1.29x lebih tinggi untuk melahirkan bayi BBLR. Hal ini dapat dihubungkan dengan semakin buruknya perfusi plasenta atau aliran nutrisi transplasenta pada ibu berusia tua.

Kematian Perinatal

Kematian perinatal ialah jumlah bayi lahir mati (stillbirth) ditambah kematian bayi yang lahir hidup dalam 7 hari pertama setelah lahir. Seiring dengan meningkatnya usia ibu, berbagai komplikasi selama kehamilan dan persalinan pun meningkat. Hal ini juga berpengaruh terhadap luaran perinatal yang tidak diharapkan, dimana bayi-bayi yang lahir dari ibu berusia tua memiliki risiko mortalitas dan morbitis yang lebih tinggi.

Berbagai faktor berkontribusi terhadap kematian perinatal. Partus macet menyebabkan 22% kematian perinatal akibat asfiksia di Pakistan. Fretts dan Usher dalam studinya menyebutkan bahwa rasio stillbirth mencapa 1:440 kelahiran pada ibu usia >35 tahun dibanding pada ibu usia <35 tahun yang hanya 1:1000 kelahiran.

Hal serupa juga disebutkan Bahtiyar et al, risiko stillbirth meningkat 1.45x pada ibu usia 35-39 tahun, dan meningkat 1.45x pada wanita usia ≥40 tahun. Hal serupa juga disebutkan Bahtiyar et al, risiko stillbirth meningkat 1.45x pada ibu usia 35-39 tahun, dan meningkat 1.45x pada wanita usia ≥40 tahun.

Prematuriras juga menjadi salah satu faktor penyebab. Hal ini dikarenakan, bayi prematur memiliki risiko lebih tinggi terjadinya gangguan perkembangan neurologis, akibat usia kehamilan yang tidak proporsional. Selain itu Salem et al dalam studinya mengenai luaran perianatal pada ibu nuliparitas berusia tua menyebutkan bahwa terdapat hubungan linear yang signifikan antara ibu usia tua dengan luaran perinatal yang tidak diinginkan, termasuk didalamnya kematian perinatal.

Pasupathy et al dalam studinya menambahkan bahwa ibu usia >40 tahun berhubungan dengan meningkatknya kejadian kematian perinatal akibat anoksia intrapartum. Cnatingius et al melaporkan, ibu usia tua memiliki risiko 2.2x lipat terhadap kematian perinatal serta 2.8x terhadap risiko kematian neonatal dini.

Intra Uterine Fetal Death

Ibu multipara berusia 40 tahun memiliki rasio komplikasi antepartum lebih tinggi, dibanding ibu yang berusia lebih muda, dimana termasuk didalamnya risiko Intrauterine Fetal Death (IUFD). Selain itu, Odibo et al melaporkan dalam studinya bahwa peningkatan risiko IUFD dimulai pada usia 35 tahun dan menjadi semakin signifikan pada usia >40 tahun.

Makrosomia

Makrosomia ialah berat badan bayi waktu lahir >4000 gram. Beberapa faktor yang mempengaruhi terjadinya makrosomia antara lain ibu obese, multiparitas, diabetes mellitus, serotinus, dan adanya riwayat melahirkan bayi makrosomia.

Jolly et al menyebutkan dalam penelitiannya, bahwa terdapat peningkatan kecenderungan ibu usia tua untuk melahirkan bayi dengan Besar Masa Kehamilan (BMK). Hal ini dapat dikarenakan oleh efek genetik dari masing-masing individu maupun perbedaan lingkungan fetus pada ibu usia tua dibanding dengan usia muda.

Perbedaan- perbedaan ini dapat juga dikarenakan oleh perubahan dalam metabolisme maternal, yang terkait dengan penambahan usia. Bayi makrosomia cenderung lahir dari ibu obese non-diabetes, jika dibandingkan dengan ibu dengan diabetes gestasional.

Meskipun ibu obese non-diabetes juga memiliki toleransi terhadap glukosa, peningkatan resisten insulin dalam tubuh mereka dapat menyebabkan pertubasi lain dalam peningkatan avaibilitas metabolisme nutrisi menuju janin. Lebih jauh, Pedersen menjelaskan hipotesisnya bahwa, peningkatan aliran nutrisi melalui plasenta dapat menyebabkan hiperinsulinisme pada fetus dan mengkaselerasi pertubuhan janin.