Mengapa VOC memilih kota Batavia sebagai pusat perdagangan mereka ?

Pada tanggal 30 Mei 1619 VOC merebut pelabuhan Jakatra di pantai utara Pulau Jawa. Dengan demikian Kompeni memperoleh sebuah pelabuhan permanen dan mendapat galangan kapal, gudang-gudang pusat untuk kegiatan perdagangan, serta pusat pemerintahan dan administrasi. Mulai saat itu di Jakatra, yang kemudian dinamakan Batavia, berkedudukan pemerintah pusat VOC di Asia, yakni gubernur jenderal dan anggota Raad van Indië (Dewan Hindia), yang dalam dokumen-dokumen biasanya disebut Hoge Regering (Pemerintah Agung/Pusat). Lembaga-lembaga pemerintahan pusat dan rumah-rumah para pegawai Kompeni, dari yang berpangkat paling tinggi sampai yang paling rendah, semuanya terpusat dalam satu kompleks yang dijaga ketat, yaitu Kasteel (Benteng) Batavia. Benteng itu dibongkar pada masa Gubernur Jenderal H.W. Daendels (1808-1811).

Pada 4 Maret 1621, pemerintah Stad Batavia (kota Batavia) dibentuk. Jayakarta dibumiratakan dan dibangun benteng yang bagian depannya digali parit. Di bagian belakang dibangun gudang juga dikitari parit, pagar besi dan tiang-tiang yang kuat. Selama 8 tahun kota Batavia sudah meluas 3 kali lipat. Pembangunannya selesai pada tahun 1650. Kota Batavia sebenarnya terletak di selatan Kastil yang juga dikelilingi oleh tembok-tembok dan dipotong-potong oleh banyak parit.

Lalu, mengapa VOC memilih Kota Batavia sebagai pusat perdagangan mereka ?

Sebelum kedatangan VOC ke Nusantara, sebenarnya sudah terjadi suatu perdagangan internasional dengan sistem terbuka yaitu peraturan jual-bel, proses penawaran, penentuan harga, semuanya telah mengikuti pola atau sistem yang berlaku. Rempah-rempah tetap menempati sebagai prioritas komoditi utama tetapi tidak terpisah dengan perdagangan beras, lada, kain, dan komoditi lainnya.

Dalam jaringan transaksi dan transportasi komoditi-komoditi tersebut, dengan teknologi navigasi dari zaman itu maka dua basis pemusatan perdagangan dan pelayaran ternyata mempunyai fungsi yang sangat strategis sekali. Garis Malaka-Maluku memang secara struktural merupakan sistem yang berfungsi secara optimal. Tumbuhlah dalam sistem itu subsistem-subsistem dengan pusat-pusat kecil sebagai pendukung dan komplemennya.

Dalam usahanya VOC berusaha menduduki Maluku dahulu dan Malaka kemudian serta alternatif lain sebagai pengganti Malaka adalah Batavia. Dari semula VOC kesulitan menghadapi menerobos sistem perdagangan yang berlaku. Dengan kontrak-kontrak hendak diperoleh monopoli namun selama tidak ada dukungan kekuatan politik, tidak dapat berjalan pelaksanaannya. Di kalangan VOC sendiri banyak yang menentang penggunaan kekerasan (Kartodirdjo, 1987:73).

Usaha yang dilakukan VOC adalah mengalihkan kegiatan perdagangan komoditi di Asia (Haalhandel) yaitu perdagangan tidak hanya di komoditi rempah-rempah saja tetapi ke komoditi lain seperti beras, kain, dan lada. Selain itu VOC mencoba menarik perdagangan pribumi dan bangsa Asia ke pusat-pusat yang dikuasainya, seperti Batavia dan Ambon, dengan tujuan menarik pajak dam keuntungan lainnya.

Kemenangan Belanda atas Maluku dan Nusa Tenggara (1613) dan menjelang penyerahan Malaka (1614), membuat kekuasaan Inggris hanya memilki satu loji di Banten, sehingga hanya ada tiga kekuasaan yang perlu di hadapi yaitu Makassar, Aceh, dan Mataram. Ketiga kekuasaan itu juga leluasa menjalankan konsolidasinya dan ekspansinya, walaupun konfrontasi tidak dapat dihindari seperti serangan Batavia pada tahun 1627-1628. Banten yang basis terdekat dengan VOC di Batavia segera mengalami kemunduran yang disebabkan politk monopoli VOC.

Hubungan perdagangan antara Banten dan Malaka sebelumnya sangat baik, rempah-rempah dan lada diambil di Banten dan pakaian dijual di tempat itu oleh Portugis. Namun sewaktu Ambon dan Banda diblokade oleh Belanda, perdagangan rempah-rempah menyusut sekali sedangkan permintaan akan bahan pakaian sangat terbatas. Sedangkan perdagangan Indonesia bagain barat berpusat di Aceh, sedang monopoli rempahrempah yang semakin ketat memindahkan pusat pemasaran rempah-rempah di Makassar, perdagangan bahan pakaian dari Gujarat menyusut sekali karena rakyat mulai menenun sendiri (Kartodirdjo, 1987:77)

Penetrasi VOC dalam jaringan perdagangan Nusantara bagian pertama abad XVII menghadapi cukup banyak persaingan, baik pedagang dari dari Nusantara hingga pedagang luar Nusantara, seperti : Gujarat, Keling, Benggali, dan Cina. Komoditi yang mereka kuasai ternyata mempunyai nilai tukar tinggi di Indonesia maka haanhandel ternyata sangat menguntungkan, sering melebihi perdagangan rempah-rempahnya. Kedua jenis perdagangan tersebut terjalin erat satu sama lain sehingga politik monopoli VOC dalam rempah-rempah mau tidak mau diperluas mencakup komoditikomoditi dari perdagangan Asia (Kartodirdjo, 1987:78).

Persaingan yang cukup sengit dan ketat dalam aktivitas pelayaran dan perdagangan di Nusantara pada paruh pertama abad ke-17, membuat pemimpin VOC di Maluku berencana untuk menetapkan kebijakan yang besar dan cukup strategis bagi perkmbangan VOC. Kebijakan tersbut adalah memindahkan pusat dan markas dagang VOC, dari wilayah Timur menuju wilayah Barat. Rencana memindahkan pangkalan dan pusat dagang VOC dari Maluku menuju pulau Jawa, dan kemudian pilihan dijatuhkan ke wilayah Batavia, sebuah wilayah disebelah barat pesisir pantai utara Jawa.

Sebelum membuat keputusan pemindahan Markas besar VOC dari Maluku ke Batavia. Pasti Jan Pieterszoon Coen telah memikirkan secara matang apa yang akan dilakukannya. Karena ini tidak hanya berbicara tentang perdagangan atau pun keuntungan secara materi tetapi dia ingin mengembangkan emporium itu menjadi imperium. Di mana kekuasaan VOC tidak hanya sebatas perdagangan tetapi juga kekuasaan dan sebagai pelopor pertama kekuasaaan di atas kerajaan-kerajaan Nusantara yang sebelumnya telah berkuasa di Nusantara. Alasan pertama yang membuat Jan Pieterszoon Coen memilih Batavia adalah Maluku walaupun sebagai pusat produksi rempah-rempah tapi lambat laun komoditas yang populer seperti Cengkih dan Pala mengalami penurunan atau yang di sebut sebagai mono produksi sedangkan di Pulau Jawa Sendiri selain daerahnya subur sebagai pertanian.

Di Jawa terdapat komoditas beras yang tidak kalah pentingnya dengan komoditas Cengkih dan Pala. Tanaman yang bisa ditanam di Jawa tidak hanya beras tetapi juga berkembang yaitu teh, kopi dan gula. Pada periode-periode selanjutnya komoditi ini juga merupakan komoditi utama bagi perdagangan VOC. Beragam komoditas ini disebut multi comodity. Juga di Pulau Jawa banyak sekali pedagang-pedagang Islam yang melakukan perdagangan internasional di mana jika tumbuh suatu lokasi pertumbuhan kegiatan perdagangan di pelabuhan-pelabuhan maka dengan sendirinya terjadi transaksi perdagangan internasional.

Keadaan laut dan angin juga mendukung perpindahan Markas besar VOC tersebut. Kalau saya bisa jelaskan, keadaan laut di sekitar Laut Jawa adalah laut dangkal berbeda sekali dengan keadaan di Laut Arafuru yaitu laut dalam. Keadaan ini juga mempengaruhi pelayaran terutama keadaan kapal-kapal VOC dalam mengangkut barang komoditi di lautan Nusantara. Karena kapal-kapal tersebut bukan hanya sebagai alat pengangkut tetapi ada juga biaya perawatan dari kapal-kapal tersebut. Yang sebagian besar perawatan kapal-kapal VOC dilakukan di Pulau Onrust. Walaupun VOC memiliki faktorai di Banten sejak 1603 serta perdagangannya ramai tetapi kondisi temapat itu tidak menguntungkan. Pertama, keadaan keamanan sangat menyedihkan, banyak terjadi pencurian, perampok, dan pembunuhan.

Kedua, kehadiran Inggris dan Portugis di tempat itu menimbulkan hubungan politik yang kompleks sehingga sering terjadi bentrokan. Gubernur pertama VOC 1609 Pieter Both berusaha melaksanakan rencana konsentrasi pemerintahan VOC, dengan minta izin dari Pangeran Jakarta untuk membangun suatu benteng dengan yurisdiksi sendiri dan bebas dari bea cukai. Persetujuan dari Heren XVII tertunda-tunda saja oleh karena pertimbangan yang pokok sekali bahwa pendirian benteng di Jakarta itu tidak menimbulkan permusuhan dari pihak Banten (Kartodirdjo, 1987:156).

Pendirian emporium di Jakarta oleh VOC perlu diterangkan dengan latar belakang percaturan politik yang berkaitan dengan hubungan multilateral antara kerajaan-kerajaan dan badan-badan perdagangan asing. Antagonisme antara Banten dan Mataram selama bagian awal abad XVII sangat kuat sehingga tidak terjadi pendekatan maupun aliansi. Keadaan ini justru menguntungkan pihak VOC sebagai lawan mereka. Status Vasal bagi Jakarta terhadap Banten membuat Jakarta punya kewenangan sendiri untuk mengadakan kerjasama kontrak sendiri dengan kompeni atau badan perdagangan asing.

Dalam diri Pangeran Jakarta ada rasa iri atas kemajuan Banten sehingga dia mengizinkan untuk VOC mendirikan loji di wilayah Jakarta, supaya daerah dia menjadi ramai dan mendapatkan keuntungan. Makanya pedagang Inggris juga boleh mendirikan loji di sana. Untuk menjaga prinsip perdagangan terbuka, maka dia tidak menginginkan terjadinya persaingan dan dominasi antar pedagang asing, maka dia tidak mengizinkan VOC mendirikan Benteng. Padahal Jan Pieterszoon Coen berpikir jika membangun benteng maka tidak hanya melindungi perdagangannya tetapi juga menjadi basis politik untuk memepertahankan kedudukananya dalam menghadapi keadaan darurat atau krisis politik. Dengan adanya Inggris di Banten menyebabkan VOC harus mencari lokasi baru untuk kantor pusat. Karena di Banten sering terjadi insiden antara anak buah Kompeni dan orang Inggris.

Pada tahun 1617 dua kapal Inggris disita oleh VOC di Maluku dimana perdagangan rempahrempah ditutup bagi bangsa Inggris. Pendirian loji Inggris yang terletak di seberang menyebrang sungai Ciliwung merupakan “duri di mata” Kompeni (Kartodirdjo, 1987:158). Dari alasan-alasan inilah Jan Pieterszoon Coen telah berpikir jauh ke depan. Beliau ingin bukan hanya mendirikan emporium dalam hal perdagangan tetapi juga ingin memperkuat kedudukan Batavia.

Pendirian emporium yaitu dari hanya berupa loji lalu dia minta didirikan benteng dan lama-kelamaan menjadi Castil Batavia dan akhirnya menjadi Stad Batavia. Dari situlah Jan Pieterszoon Coen berpikir bukan hanya ingin menguasai perdagangan tetapi sebagai peletak dasar kekuasaan yang ada di Batavia. Perubahan dari emporium menjadi imperium yaitu bahwa kekuasaan VOC bukan hanya memonopoli perdagangan saja tetapi juga lama kelamaan ingin menguasai raja-raja di Nusantara.

Secara tidak langsung Jan Pieterszoon Coen seperti mendirikan Negara baru di wilayah Nusantara walaupun masih di bawah pemerintahan Kerajaan Belanda. Ini terbukti dengan pengahancuran sistem perdagangan pelabuhan-pelabuhan yang ada di Jawa dan Blokade terhadap pelabuhan yang ada di Banten maupun di Makassar. VOC datang ke Nusantara bukan hanya untuk sekedar berdagang tetapi memonopoli semua perdagangan di Nusantara dan lambat laun menguasai kerajaan-kerajaan yang ada di Nusantara.