Mengapa tingkat kemampuan inovasi di Indonesia masih tergolong rendah?

image

Global Innovation Index atau GII mencatat Indonesia sebagai peraih peringkat ke-85 dari 131 negara dalam hal ekonomi yang ditinjau dari segi kemampuan inovasi [1]. Peringkat ini tidak berubah dari tahun 2018 hingga tahun 2020. Pada tahun 2019, Indonesia menempati peringkat kedua terbawah di lingkup ASEAN [2]. Rendahnya kemampuan inovasi di Indonesia pastinya bukan tanpa alasan. Kalau menurut Anda, mengapa hal ini terjadi?

Referensi:

[1] Ini Peringkat Indonesia di Indeks Inovasi Global 2020
[2] Indeks Inovasi Indonesia Peringkat Kedua Terbawah di ASEAN

1 Like

Jawaban singkat dari pertanyaan tersebut adalah pendidikan di Indonesia masih kurang mendukung ekosistem inovasi untuk tumbuh. Inovasi di suatu negara dipengaruhi oleh dua aktor utama, yaitu Perguruan Tinggi dan Industri. Apabila ditarik lebih jauh lagi, sekarang hanya tersisa Perguruan Tinggi sebagai aktor utamanya. Hal ini terjadi karena penggerak utama Industri adalah alumni-alumni Perguruan Tinggi. Oleh karena itu, dalam tulisan ini saya akan fokus membahas tentang Perguruan Tinggi.

Pada tahun 2019, Reuters membuat daftar 100 Perguruan Tinggi paling inovatif di dunia. Selama lima tahun berturut-turut, Standford University selalu berada pada urutan pertama, disusul Massachusetts Institute of Technology (MIT) #2 dan Harvard University #3. Untuk ASEAN, dalam daftar Top 100 hanya diwakili oleh Singapura, yaitu National University of Singapore #56 dan Nanyang Technological University #67.

Item penilaian yang dilakukan oleh Reuters adalah berapa banyak paten yang dihasilkan oleh Perguruan Tinggi dan Commercial Impact Score (CIS). Commercial Impact Score mempunyai arti bahwa seberapa besar penelitian yang dilakukan oleh Perguruan Tinggi dapat mempengaruhi aktivitas R&D untuk kepentingan komersial (nilainya semakin besar semakin bagus).


Gambar. Jumlah Universitas Yang Masuk Daftar Top 100 berdasarkan Negara

Hal manarik dari penelitian yang dilakukan Reuters adalah keberadaan Stanford yang tetap menjadi Perguruan Tinggi yang lebih inovatif dibandingkan MIT. Padahal, jumlah paten MIT (sebanyak 1614 paten) lebih tinggi dibandingkan Stanford University (sebanyak 728 paten) dan nilai CSI MIT (169,2) juga lebih tinggi dibandingkan Stanford (75,2). Dalam salah satu penjelasan yang ditulis di web Reuters, capaian yang paling menonjol dari Stanford University adalah banyaknya dosen dan alumni yang mendirikan perusahaan.

Sejak didirikan pada tahun 1930, dosen dan alumni Stanford University telah mendirikan 39.900 perusahaan dengan pendapatan per tahun sebesar 2,7 Trilliun Dollar Amerika (sekitar 38.610 Triliun Rupiah) serta menciptakan 5,4 juta lapangan kerja. Apabila dianalogikan dengan sebuah negara, kekuatan ekonomi dosen dan alumni Stanford masuk kedalam 10 besar negara dengan ekonomi terbesar di dunia. Hal ini tidak mengherankan karena perusahaan-perusahaan yang didirikan oleh alumni Stanfrod sudah sangat mendunia, misalnya Google, Cisco, LinkedIn, eBay, Netflix, Hewlett-Packard, Electronic Arts, Logitech, Sun Microsystems, NVIDIA, Nike, Jazz Pharmaceuticals dan masih banyak lagi.

Bandingkan dengan MIT, menurut Forbes terdapat 30.000 perusahaan aktif yang didirikan oleh alumni dan dosen MIT. Perusahaan-perusahaan tersebut mempunyai pendapatan sebesar 1,9 Trilliun Dollar Amerika per tahun, serta menciptakan 4,6 juta lapangan kerja. Sebuah angka-angka yang sangat fantastis yang dihasilkan oleh sebuah Perguruan Tinggi.

Bagaimana dengan Perguruan Tinggi di Indonesia ?


Tidak ada satupun Perguruan Tinggi dari Indonesia yang masuk kedalam daftar Top 100. Hal ini dapat dijadikan indikasi bahwa inovasi Perguruan Tinggi di Indonesia masih sangat tertinggal jauh dibandingkan dengan negara-negara maju. Oleh karena itu, perlu adanya semangat dan usaha yang luar biasa dari seluruh civitas Perguruan Tinggi untuk mau berubah dan menjadi lebih baik.

Beberapa perubahan yang dapat dilakukan oleh Perguruan Tinggi antara lain: perubahan kurikulum dan proses belajar mengajar, pemberian fasilitas yang mendukung ekosistem inovasi Perguruan Tinggi, serta perubahan standar kualitas Perguruan Tinggi.

Perubahan Kurikulum dan Proses Belajar Mengajar

Perubahan kurikulum Perguruan Tinggi saat ini sudah dimulai dari Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan dengan adanya penerapan Kampus Merdeka. Hal ini sejalan dengan apa yang disampaikan oleh Philip H. Knight, Professor Stanford University,

“Multidisciplinary learning, management knowledge and leadership skills are highly relevant to an ever-increasing diversity of organizations that strive to solve systemic global problems… Many of these are management challenges at their core”.

Pembelajaran yang spesifik cocok diterapkan di era industrialisasi, tetapi tidak cocok diterapkan di era inovasi. Banyak penelitian yang membuktikan bahwa proses inovasi sangat ditentukan oleh seberapa luas pengetahuan yang dimiliki oleh seseorang.

Selain pengetahuan keilmuan (hard skill), soft skill juga mempunyai peranan yang sangat besar dalam proses inovasi. Disinilah peranan proses belajar mengajar menjadi penting. Dosen sebagai pengelola utama kelas harus bisa mendidik soft skill mahasiswanya. Kelas sudah tidak hanya menjadi tempat transfer knowledge antara dosen dan mahasiswa, tetapi sebagai tempat pengembangan diri mahasiswa, baik dari sisi hard skill maupun soft skill. Dewasa ini, peran transfer knowledge sudah tergantikan oleh Internet, setiap orang bisa mencari pengetahuan tentang apapun yang mereka butuhkan.

Fasilitas Yang Mendukung Ekosistem Inovasi Perguruan Tinggi.

Stanford pernah melakukan survey penelitian terhadap alumninya yang menjadi entrepreneur, 55 persen alumni menjawab bahwa mereka memang memilih Stanford karena entrepreneurial environment yang dimiliki oleh Stanford. Lingkungan yang ada di Stanfrod sangat mendukung tumbuhnya inovasi di kalangan civitasnya.

Salah satu yang terkenal adalah d.school yang dimiliki Stanford. Prinsip yang dicanangkan oleh d.school adalah “We believe everyone has the capacity to be creative… Everyone is Creative”.

d.school merupakan sebuah tempat seluruh civitas Stanford dapat saling berkolaborasi dari berbagai bidang ilmu yang ada di Stanford. Mereka menyebutnya dengan istilah radical collaboration. Disana, mahasiswa ditantang untuk menyelesaikan masalah-masalah yang ada di kehidupan nyata, sehingga mahasiswa ditantang untuk menyelesaikan masalah yang solusinya masih belum jelas dan tidak menentu. Dengan adanya d.school, Stanford memberikan fasilitas kepada mahasiswanya untuk berpikir kreatif dan melakukan hal-hal yang inovatif.

Perguruan Tinggi tidak hanya sekedar memotivasi mahasiswanya untuk kreatif dan inovatif, lalu mereka dibiarkan mencari sendiri caranya, tetapi Perguruan Tinggi juga dituntut untuk memberikan fasilitas, baik sarana prasarana maupun sistem pendidikan entrepreneurial, yang mendukung tumbuhnya kreativitas dan inovasi bagi mahasiswanya.






Gambar. Aktivitas d.school Stanford University

Selain itu, di Stanford, program link and match Perguruan Tinggi dengan Industri sudah terjalin dengan luar biasa. Hal ini sebagai imbas dari banyaknya alumni yang mendirikan perusahaan. Dengan dekatnya Perguruan Tinggi dan Industri, maka mahasiswa mendapatkan manfaat yang luar biasa, mulai dari pengetahuan melalui kuliah tamu hingga pendanaan dari venture capital. Kesempatan magang di perusahaan-pun menjadi terbuka lebar. Selain sangat bermanfaat bagi mahasiswa, link and match tersebut juga berguna bagi dosen Stanford itu sendiri, dimana terdapat 5000 penelitian yang didanai oleh sponsor.

Perubahan Standar Kualitas Perguruan Tinggi

Standar kualitas Perguruan Tinggi di Indonesia masih menggunakan cara tradisional, yaitu menggunakan sistem Akreditasi yang penilaiannya tidak menitikberatkan pada prestasi alumni di dunia nyata, terutama dari sisi inovasi. Terkadang model Akreditasi yang ada saat ini menjadi kontraproduktif, dimana Perguruan Tinggi menjadi lebih fokus pada item-item penilaian Akreditas daripada fungsi utama Perguruan Tinggi. Salah satu contoh, item penilaian IPK lulusan mengakibatkan Perguruan Tinggi menjadi lebih “royal” dalam memberikan nilai. Hal ini tidak mengherankan, karena tuntutan akreditasi menjadikan nilai mahasiswa saat ini meningkat drastis dibanding tahun 80-90an. Pertanyaannya, apakah nilai yang meningkat tersebut juga diiringi dengan peningkatan kualitas lulusannya ?

Pada dasarnya, kualitas Perguruan Tinggi tidak hanya dinilai dari seberapa tinggi nilai IPK lulusannya, seberapa cepat kelulusan mahasiswa atau penilaian-penilaian di atas kertas lainnya, tetapi ditentukan oleh kontribusi nyata Perguruan Tinggi pada sosial masyarakat dan negara. Seperti yang disampaikan oleh Bapak Wardiman Djojonegoro, Menteri Pendidikan 1993-1998, bahwa Perguruan Tinggi yang berkualitas adalah seberapa besar lulusan Perguruan Tinggi tersebut mempunyai dampak pada masyarakat.

Mencontoh Stanford, selama 40 tahun mereka telah menghasilkan 9000 inventions dan lebih dari 3000 technology licenses. Menurut penelitian yang dilakukan oleh Stanford, 90 persen perusahaan yang didirikan oleh alumni Stanford berjarak kurang dari 100 km (1 jam perjalanan darat) dan 1/4 perusahaan yang didirikan oleh alumni yang lulus setelah tahun 1990 berjarak dalam radius 48 km (20 miles). Di negara bagian California (domisili Stanford), terdapat 18.000 perusahaan yang didirikan oleh alumni Stanford, dimana perusahaan tersebut menghasilkan pendapat sebesar 1,27 Trilliun Dollar Amerika per tahun (sekitar 18.161 Triliun Rupiah) dan memberikan pekerjaan sebanyak 3 juta orang.

Data-data tersebut menunjukkan bahwa Stanford University tidak hanya berkontribusi dalam menciptakan lingkungan entrepreneurial yang luas, tetapi juga meningkatkan ekonomi masyarakat di sekitar kampus.

Oleh karena itu, perlu adanya sistem penilaian kualitas Perguruan Tinggi yang baru, sehingga Perguruan Tinggi di Indonesia berlomba-lomba untuk memberikan kontribusi pada lingkungannya.

3 Likes